Hampir setiap hari kita disuguhi dengan berita-berita kekerasan seksual yang mana mayoritas korban merupakan perempuan dan anak. Tetapi Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) masih juga belum disahkan oleh DPR dan pemerintah. Urgensi kehadiran RUU TPKS rupanya belum menjadikannya prioritas, padahal angka kasus semakin meningkat.
Kasus perkosaan yang dilakukan oleh Herry Wirawan seorang pimpinan serta guru di pondok pesantren di Bandung, Jawa Barat adalah contoh nyata. Para korban yang juga merupakan anak di bawah umur jumlahnya mencapai belasan orang, bahkan beberapa santri sampai ada yang hamil. Perbuatan asusila ini terjadi dalam rentang tahun 2016-2021. Beberapa hari kemudian kabar pemerkosaan serta penyekapan terhadap seorang santriwati menyeruak, korban diperkosa serta disekap sejak tanggal 2 hingga 5 Januari 2021 dengan tersangka seorang pelajar.
Kasus-kasus tersebut hanya sebagian kecil yang terungkap pada publik. Ruang aman bagi perempuan seakan tak ada di jalan, sekolah bahkan di rumah yang seharusnya menjadi tempat teraman bagi perempuan dan anak. Penegakan hukum pun seakan tak berpihak, kasus-kasus perkosaan ataupun kekerasan seksual lainnya seakan dipandang sebelah mata. Kasus perkosaan dan penyekapan pada anak SMP di Pekanbaru bahkan berakhir damai setelah orang tua tersangka yang merupakan anggota DPRD memberikan uang 80 juta rupiah sebagai langkah damai. Akhirnya orang tua korban mencabut laporan tersebut di kepolisian. Padahal dalam aturannya kasus ini masuk dalam delik biasa yang berarti polisi sebagai penegak hukum harus memproses kasus tersebut meskipun tidak ada pelaporan dari pihak korban.
Rentetan kasus tersebut membuat masyarakat mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan RUU TPKS. Selama RUU terebut tidak disahkan maka selama itu juga tidak ada yang menjamin perlindungan terhadap hak-hak korban. Dalam perkembangannya RUU ini akan disahkan sebagai RUU alternatif pada tanggal 18 Januari 2021, hal ini sebutkan oleh Puan Maharani dalam pidato Paripurna Pembukaan Masa Sidang III 2021-2022.
Sulitnya pengesahan RUU TPKS
RUU TPKS merupakan produk hukum yang akan menjadi jalan keluar atas upaya penghapusan segala bentuk kekerasan seksual. Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2001-2010 mencatat adanya 15 jenis kekerasan seksual, yang berkembang dari semula 10 jenis, 11 jenis dan 14 jenis kekerasan seksual.
Dalam naskah akademiknya Komnas Perempuan menulis bahwa penyusunan draf RUU Penghapusan Kekerasan seksual dilakukan sejak tahun 2014 dan disusun melalui berbagai rangkaian diskusi, dialog dan penyelarasan dengan berbagai fakta dan teori. Data pola kekerasan seksual dikembangkan kemudian dipertajam untuk mencari sistem dan pemulihan yang tepat untuk diusulkan dalam RUU Penghapusan Kekerasan seksual.
Dinamika dalam menemukenali embrio substansi pengaturan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di Komnas Perempuan dimulai sejak tahun 2010. Kemudian pada tahun 2014, RUU Penghapusan Kekerasan seksual diusulkan dalam Prolegnas melalui berbagai dialog baik dengan Pemerintah, DPR RI, maupun DPD RI. Namun, baru tahun 2016 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masuk dalam daftar Penambahan Prolegnas 2015-2019, sebagai hasil rapat bersama antara DPR RI, DPD RI dan Pemerintah pada Januari 2016.
Pembahasan RUU ini mengalami banyak jalan terjal salah satunya adalah tentangan dari fraksi partai PKS (Partai Keadilan Sejahtera) yang konsisten dari awal hingga sekarang menjadi pihak kontra. Dilansir dari CNN Indonesia, Anggota Komisi VIII dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera Iqbal Romzi, misalnya, pada rapat 23 Januari 2018 mempertanyakan pidana terhadap kekerasan seksual berupa perkosaan dalam perkawinan. Ia mengaitkannya dengan dalil agama bahwa istri wajib melayani suami. Hal yang ditakutkan lainnya menurut Iqbal adalah RUU ini akan menjadi pembuka masuknya LGBT dan menjadi UU yang liberal.
Dalam perjalanannya RUU TPKS ini dapat dikatakan sebagai RUU kontroversial, meski begitu yang menjadi poin penting adalah urgensinya dalam melindungi, bukan hanya perempuan tetapi segenap masyarakat Indonesia. Akan tetapi jalan yang ditempuh begitu terjal, benturan ideologis yang tak pernah hilang dari tubuh DPR menjadikan RUU TPKS sulit rampung. Korban selalu bertambah sementara tidak ada jaminan bagi korban serta aturan hukum yang adil. Tetapi pemerintah lebih memilih meloloskan UU Cipta Kerja, Minerba maupun revisi UU KPK yang urgensinya tidak sebesar RUU TPKS.
[Nova Shyntia]