Ilustrasi: Tambang Batu Bara di Provinsi Kalimantan Timur/kaltimprov.go.id

Koran Sulindo – Meski tak hingar-bingar seperti penangkapan koruptor, kegiatan pencegahan korupsi yang dilakukan KPK di sektor sumber daya alam (SDA) berjalan sangat progresif dalam empat tahun terakhir. Jika dikalkulasikan, kekayaan negara yang diselamatkan dari pencegahan korupsi di sektor ini, jauh lebih besar dibandingkan kegiatan penindakan.

Ini jelas membantah banyak pendapat: KPK hanya melakukan penindakan tanpa pencegahan.

Pencegahan korupsi di sektor SDA dilakukan KPK lewat Gerakan Nasional Penyelamatan SDA (GNP-SDA), yang dimulai sejak 2015, melibatkan 27 kementerian/lembaga serta 34 pemerintah provinsi. Gerakan ini merupakan upaya bersama dalam memperbaiki tata kelola SDA yang carut-marut, eksploitatif dan rawan praktik korupsi.

Tanpa disadari, pembangunan ekonomi nasional terjebak pada belenggu sektor ekstraktif, yang hanya berbasis pemanfaatan kekayaan hutan, lahan dan kelautan, seperti pertambangan, perkebunan sawit dan perikanan. Pondasinya rapuh karena tak dikelola dengan baik. Indonesia jadi bukti, negara yang SDA melimpah, tapi tidak memiliki tata kelola kelembagaan yang kuat. Walhasil, tingkat korupsi cenderung marak. Dampaknya, terjadi penurunan efisiensi perekonomian dan enggannya investor berinvestasi.

Parahnya, korupsi SDA itu menjadi ‘virus’ yang terus mengerogoti demokrasi. Faktanya, banyak kasus korupsi berawal dari suap perizinan SDA, dimana praktik lancung itu marak terjadi dalam pemilihan kepala daerah. Dana haram mengalir ke politisi-politisi di level pusat, seperti kasus korupsi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang melibatkan politisi di DPR dan menteri aktif.

Akibat maraknya korupsi di sektor ini, selain mendegradasi sistem demokrasi dan politik, juga berdampak pada kerugian keuangan negara. Faktanya, lihat penerimaan pajak. Pada 2014, total penerimaan pajak sektor SDA (pertambangan, perkebunan sawit, kehutanan, perikanan dan kelautan) hanya Rp43,34 triliun (DJP, 2014). Bandingkan dengan total produk domestik bruto (PDB) sektor tersebut yang mencapai Rp1.188,2 triliun (BPS, 2014), maka nisbah bagi hasil antara penerimaan pajak dan PDB (tax ratio) hanya 3,64 persen, yang idealnya 14-16 persen (Saputra, 2014).

Rendahnya penerimaan pajak menghambat distribusi pendapatan, ujungnya memperluas ketimpangan ekonomi. Parahnya, tata kelola SDA pun terkooptasi kepentingan segelintir kelompok. Siapa mereka? Para korporasi besar yang menguasai izin SDA secara masif dan kebanyakan dikendalikan di negara suaka pajak (tax haven country). Faktanya, ada satu grup usaha di sektor perkebunan sawit yang menguasai lahan seluas 750 ribu hektare. Bandingkan petani sawit yang rata-rata hanya menguasai 2 hektare (KPK, 2019). Itu terjadi karena adanya korupsi di sektor perizinan.

GNP-SDA membenahi buruknya tata kelola itu. Empat tahun terakhir, telah banyak perbaikan yang dilakukan KPK. Paling signifikan, GNP-SDA mampu meningkatkan penerimaan negara, yang mencapai Rp33,37 trilun (2015-2017), terdiri dari peningkatan penerimaan pajak sebesar Rp13,95 triliun dan PNBP sebesar Rp19,42 triliun (KPK, 2019).  Keberhasilan ini dampak dari program penataan perizinan, membangun sistem informasi penatausahaan dan penerimaan negara, pertukaran data dan sinergi antara kementerian/lembaga serta membangun database penerima manfaat utama (beneficial ownership) dari pengelolaan SDA oleh korporasi.

Lewat GNP-SDA, dilakukan penataan perizinan. Semua izin SDA di-review. Hasilnya, ditemukan banyak izin bermasalah, seperti di sektor pertambangan minerba, yang mencapai 4.000 izin (KPK, 2019). KPK merekomendasikan agar izin itu dicabut jika tidak memenuhi prosedur. Di sektor kelautan dan perikanan serta perkebunan sawit, dilakukan moratorium perizinan dan review terhadap izin yang sudah diterbitkan. Ini bertujuan agar tidak ada lagi korporasi yang mengelola SDA tanpa izin, semuanya harus mematuhi peraturan terutama terhadap kewajiban keuangan negara dan lingkungan.

Sekarang, rezim kepemimpinan di KPK akan bertukar. Tantangan semakin berat, terutama dengan upaya memperlemah pemberantasan korupsi, salah satunya lewat revisi Undang-Undang KPK yang sudah disahkan. Meski demikian, GNP-SDA telah mencatat tinta sejarah. Tak terhingga, berapa banyak kegiatan taktis langsung ke lapangan, memperbaiki sistem, menangkap pelaku kejahatan yang bandel meski sudah diberikan peringatan dan perbaikan regulasi serta kelembagaan. Semua itu dilakukan berdasarkan kajian empiris yang secara tekun dan sistematis dibangun KPK dan menjadi modal besar bagi keberlanjutan pemberantasan korupsi di sektor SDA ke depan.

Akhirnya, GNP-SDA dalam periode kepemimpinan Agus Rahardjo sudah melakukan itu. Apa yang sudah dilakukan dengan baik harus diperkuat. SDA bukan saja untuk generasi sekarang, tapi antar generasi. Marilah kita bersama mengelolanya dengan baik, bebas dari korupsi. [Wiko Saputra, Peneliti Kebijakan Ekonomi di AURIGA Nusantara]