Ilustrasi Jakarta tenggelam. (Foto: opini.id)

Koran Sulindo – Belakangan ini dunia maya riuh dengan narasi wilayah Jakarta bagian utara bakal tenggelam. Hal itu sontak menjadi perbincangan di media sosial, khususnya twitter dan facebook, termasuk juga di media-media nasional.

Narasi ini secara sengaja atau tidak, tentu harus menjadi peringatan bagi setiap warga negara untuk sadar akan menjaga lingkungan.

Bila mengacu pada laporan terbaru tentang kondisi lingkungan secara global saat ini yang dikeluarkan oleh IPCC, suatu panel antar pemerintah tentang perubahan iklim, tampak kondisi kerusakan lingkungan semakin lama makin meningkat.

Dalam laporan itu, suhu bumi saat ini sudah bertambah 1,5℃ lebih panas, bahkan bisa mencapai 2℃ bila tidak ada upaya berarti untuk mencegahnya. Akibatnya cuaca semakin ekstrim, anomali cuaca semakin sering terjadi.

Salju di kutub utara secara perlahan semakin cepat mencair dan kemungkinan bisa menghilang di tahun 2050. Permukaan air laut akan semakin naik 2-3 meter dan bisa jadi lebih, yang pastinya mengkhawatirkan bagi kota-kota yang berada di pesisir, sebagaimana Jakarta yang disinggung di awal tulisan ini.

Untuk semua yang terjadi di atas, manusia lah pihak yang secara otomatis dipersalahkan. Saat ini memang kita ada dalam masa antroposen, di mana aktivitas manusia memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap geologi dan ekosistem di planet bumi, termasuk dan tidak terbatas pada perubahan iklim yang antropogenik.

Meski istilah yang merujuk pada lapisan geologi baru yang terbentuk pada litosfer itu belum sepenuhnya resmi, namun tidak bisa dipungkiri beberapa jejak pengaruh aktivitas manusia sudah terekam oleh bumi.

Ada beberapa peristiwa lingkungan yang bisa menjadi titik tolak berubahnya wajah bumi akibat pengaruh aktivitas manusia. Misalnya, yang fenomenal adalah percobaan bom atom yang menghancurkan, mengkontaminasi hingga memicu mutasi genetik.

Peristiwa revolusi industri di abad ke-18 yang menginisiasi eksploitasi sumber daya alam untuk pabrik-pabrik, berakibat meningkatnya polusi udara, air dan pemakaian bahan bakar fosil.

Jadi rangkaian tulisan di atas bisa juga dikaitkan dengan peristiwa Februari 2007. Ketika itu tak ada bayangan bahwa Ibu Kota akan terendam dengan sangat parah.

Baru pada malam harinya situasi berubah. Sejarah Hari Ini (Sahrini) mencatat, malam itu sebagian besar wilayah Jakarta mulai tenggelam.

Selain sistem drainase yang buruk, banjir dipicu oleh derasnya hujan ditambah banyaknya volume air 13 sungai yang melintasi Jakarta yang berasal dari Bogor-Puncak-Cianjur. Itu masih ditambah lagi air laut yang sedang pasang.

Akumulasi dari semua itu mengakibatkan hampir 60 persen wilayah DKI Jakarta terendam banjir dengan kedalaman mencapai hingga 5 meter di beberapa titik lokasi banjir.

Lebih dari separuh dari wilayah Ibu Kota terendam banjir. Seluruh aktivitas di kawasan yang tergenang banjir itu juga lumpuh. Jaringan telepon dan Internet terganggu. Listrik di sejumlah kawasan yang terendam juga padam.

Puluhan ribu warga di Jakarta dan daerah sekitarnya terpaksa mengungsi di posko-posko terdekat. Mereka tidak bisa keluar untuk menyelamatkan diri karena perahu tim penolong tidak kunjung datang. [WIS]

(Tulisan ini pernah dimuat pada 21 Agustus 2021)

Baca juga: