Ilustrasi: Banjir Jakarta 2020/BNPB.go.id

Koran Sulindo – Banjir merupakan bencana alam yang paling sering terjadi di seluruh dunia. Tercatat salah satu banjir yang paling banyak menelan korban terjadi di Pakistan tahun 2010, dengan korban meninggal mencapai setidaknya 1.600 orang dan jumlah penduduk yang terdampak hingga 14 juta orang.

Walaupun secara global kejadian dengan intensitas curah hujan tinggi meningkat dalam beberapa dekade belakangan ini, akademisi tidak dapat menyimpulkan bahwa kejadian tersebut diakibatkan fenomena perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia.

Di Jakarta, salah satu banjir terbesar dalam sejarah ibu kota terjadi pada tahun 2007 yang menewaskan 79 orang, dan menyebabkan setidaknya setengah juta orang dievakuasi, belum lagi kerugian finansial yang mencapai Rp8.8 triliun.

Dalam dua bulan terakhir, Jakarta dilanda musibah banjir enam kali dengan dua banjir besar pada tanggal 1 Januari dan 25 Februari 2020.

Curah hujan yang di atas rata-rata pun didaulat menjadi penyebabnya. Terlebih lagi, Jakarta dibangun di daerah delta sehingga wajar rasanya jika banjir jadi langganan di musim hujan.

Banjir adalah fenomena hidrologi, tapi kerugian akibat banjir adalah hal yang dapat dihindari.

Risiko Banjir = Bahaya x Paparan x Kerentanan

Di kalangan akademisi, risiko suatu bencana-dalam hal ini banjir-dipahami sebagai kombinasi bahaya (hazards), paparan (exposure) dan kerentanan (vulnerability).

Bahaya adalah besarnya/skala faktor penyebab banjir, di antaranya curah hujan dan kemampuan tanah menyerap air. Paparan adalah jumlah orang dan aset yang terpapar risiko banjir di suatu daerah. Sedangkan kerentanan merujuk kepada seberapa rentan suatu populasi atau daerah jika terkena musibah banjir.

Penyebab/sumber bahaya umumnya adalah fenomena alam, sedangkan tingkat paparan dan kerentanan lebih bersifat antropogenis, yaitu bergantung pada aktivitas manusia.

Contohnya, komunitas yang mampu membeli pompa sendiri untuk menyedot genangan air di daerahnya dan mengalirkannya ke laut seperti di Pluit, Jakarta Utara, memiliki kerentanan lebih rendah dibanding komunitas yang tidak memiliki kemampuan demikian.

Dengan memahami risiko banjir sebagai besaran-besaran yang berhubungan antara ketiga hal tersebut, maka banjir yang terjadi di daerah yang tak berpenduduk tidak disikapi sebagai suatu musibah.

Bahkan, secara alamiah, nutrisi yang dibawa oleh banjir berfungsi untuk menjaga keanekaragaman hayati di daerah dataran banjir atau floodplain.

Menuju Kota yang Resilient

Akademisi, bermula dari bidang ilmu psikologi hingga kini ekologi juga ekonomi, mulai menggunakan konsep resilience (ketahanan) untuk menggambarkan suatu sistem yang tahan akan guncangan sosio-ekonomi dan lingkungan, termasuk banjir. Resilience adalah kemampuan suatu kota untuk menyerap dan pulih dari gangguan (shocks) dan bersiap untuk gangguan di masa depan.

Pada manajemen risiko banjir, konsep resilience diadopsi untuk berpindah dari paradigma lama yang bertujuan untuk menciptakan sistem pertahanan banjir anti gagal (a fail-safe system) menuju sistem yang aman jika terjadi kegagalan (a safe-fail system). Sehingga banjir mungkin saja terjadi, tetapi dalam batas aman yang sudah diperhitungkan dan dapat diantisipasi.

Untuk kasus Jakarta, selama ini bukan kotanya yang dibangun untuk tahan (resilient) terhadap banjir – baik secara struktural maupun non-struktural, tetapi warganya yang harus tahan terhadap musibah banjir. Berkali-kali warga harus menerima kenyataan bahwa tempat tinggalnya direndam air.

Ada warga yang sudah menjadi langganan banjir sehingga membangun sistem peringatan dini lokal, contohnya saling memberi laporan rutin ketinggian muka air di sungai untuk menunjukkan skala banjir yang mungkin terjadi. Ada juga warga yang tidak lagi menaruh barang elektronik di lantai dasar rumah agar tidak terendam air.

Warga secara tidak langsung dituntut untuk lebih siap dan “belajar” dari banjir sebelumnya, sementara pemerintah terlihat lebih banyak melakukan upaya reaktif menghadapi banjir dengan upaya evakuasi, ketimbang preventif di musim kering.

Tentu elemen penting dari kota yang tahan banjir adalah warga yang paham risiko banjir, dan berpartisipasi aktif dalam mendukung pemerintah membangun kota tersebut.

Namun, sangat disayangkan jika hanya warga yang dituntut untuk bersifat adaptif untuk menjamin keselamatannya dan mengurangi kerugian material dan imaterial akibat banjir.

Kombinasi Pendekatan Struktural dan Non-struktural

Dengan memahami risiko banjir sebagai besaran bahaya, paparan dan kerentanan, maka pemerintah dapat mengurangi kerugian akibat banjir ibu kota.

Memperketat izin pembangunan di daerah rawan banjir dan memberikan perhatian lebih kepada rumah tangga ataupun komunitas dengan kerentanan yang tinggi menjadi langkah yang bisa ditempuh.

Pendekatan struktural, misal pembuatan sodetan dan pengembalian dimensi ruang sungai, baik dengan normalisasi atau naturalisasi, masih diperlukan.

Namun, pendekatan non-struktural, seperti dilarangnya pembangunan di daerah rawan banjir, menyediakan lahan untuk air di hulu (Room for the River di Belanda), rumah “ramah” air, juga sangat penting dilakukan.

Yang harus dicermati adalah bahwa pendekatan struktural, utamanya dengan pembuatan tanggul, memberikan keamanan semu atau false sense of security karena justru akan meningkatkan risiko banjir. Warga dan investor terlena dengan ada perlindungan tanggul sehingga meningkatkan paparan terhadap banjir.

Jika terjadi luapan, baik karena curah hujan melebihi kapasitas tanggul atau karena gagal tanggul atau dam failure, seperti pada banjir tahun 2013, jumlah kerugian akibat banjir akan sangat tinggi.

Mengutip pernyataan Gilbert White, pionir di bidang studi sosio-ekologi bencana, “banjir adalah kehendak Tuhan tetapi kerugian akibat banjir adalah karena ulah manusia”. [Thanti Octavianti, Research Fellow in Cities, Water and Resilience, University of the West of England]. Tulisan ini disalin dari theconversation.com.