Jakarta Harus Jadi Tolak Ukur Toleransi

Koran Sulindo – Tingginya pelanggaran kemerdekaan beragama dan berkeyakinan di DKI Jakarta menunjukkan warga ibukota butuh institusi penyaluran aspirasi yang berlandaskan nilai-nilai kebangsaan. Bukan cuma semata-mata nilai-nilai keagamaan.

DKI Jakarta menduduki peringkat pertama daerah yang menjadi wilayah terpanas pelanggaran kemerdekaan beragama dan berkeyakinan disusul Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, NTB, Sulawesi Selatan, Banten, Sumatera Utara, DI Yogyakarta, dan Maluku Utara.

“Setelah 10 tahun Jawa Barat menjadi wilayah terpanas untuk pelanggaran KBB, untuk pertama kalinya Jakarta sekarang justru merangsek ke depan,” kata Farahdina Al Anshori, Wakil Ketua DPW Partai Nasdem DKI dalam Peluncuran Laporan Kemerdekaan Beragama/Berkeyakinan (KBB) dan Politisasi Agama 2017 di Hotel Sultan, Jakarta, (8/8).

Menurut Farahdina, kondisi ini menuntut lembaga demokrasi, termasuk partai politik agar lebih gencar menyemai nilai religi dan kebangsaan di masyarakat. Karena dalam agama dan kepercayaan apapun jelas tak ada penolakan kemerdekaan beragama dan berkeyakinan.

“Meski DKI Jakarta adalah wilayah terpanas di tahun 2017, namun daerah ini juga menjadi daerah yang paling banyak melakukan praktik yang mendukung kemerdekaan beragama dan berkeyakinan. Namun porsi terbesar masih diambil oleh aktor negara seperti kepolisian,” kata Farahdina.

Menurutnya, pada titik ini partai politik harus mengambil bagian untuk melakukan restorasi Jakarta agar menjadi wilayah dengan tingkat toleransi dan nilai kebangsaan tinggi. Sebagai ibu kota, Jakarta seharus menjadi tolak ukur seluruh negeri menjalankan kehidupan kebangsaan yang religius dan berlandaskan Pancasila.

Menurut hasil survei yang dilakukan Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan ada beberapa hal yang berpotensi menghambat pelaksanaan Pemilu 2019 di antaranya Politisasi isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) dan politik identitas.

Dari hasil survei tersebut 46 persen responden yang menilai kebebasan masyarakat dari diskriminasi di Indonesia masih buruk.

Sementara 56 persen responden menilai partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan masih buruk atau sangat buruk.

Sementara itu menurut LIPI, kondisi kebebasan sipil di Indonesia dilihat dari aspek kebebasan berpendapat, kebebasan berkumpul, dan kebebasan berkeyakinan atau beribadah telah dinilai baik oleh ahli. [SAE/TGU]