Lahir di Ciamis, Jawa Barat, Rabu 30 Mei 1899, Iwa Kusuma Sumanti adalah putra sulung dari keluarga  Raden Wiramantri seorang kepala sekolah rendah yang kemudian menjadi penilik.

Ia memulai pendidikannya dari Eerste Klasse School di Ciamis, dan melanjutkan ke Hollandsch Inlandsche School atau HIS.

Saat berumur 16 tahun, Iwa melanjutkan ke sekolah calon amtenar atau OSVIA di Bandung. Sekolah ini hanya dijalaninya setahun dan pindah ke Sekolah Menengah Hukum atau Recht School di Batavia.

Ia tamat lima tahun berikutnya  dan bekerja di kantor Pengadilan Negeri di Bandung, lantas ke Surabaya, dan ke Jakarta. Tahun 1922, ia memutuskan untuk berangkat ke Leiden di Belanda untuk belajar hukum.

Lulus dari Universitas Leiden, bersama Semaoen, Iwa ditugaskan Perhimpunan Indonesia untuk pergi ke Moskow. Mereka mendapat tugas untuk mempelajari program Front Persatuan khususnya sampai di mana peran negara dalam program itu.

Selain sempat menulis sebuah buku tentang petani di Indonesia berjudul The Peasant Movement in Indonesia perjalanannya itu memberinya berkah lain. Ia kecantol Anna Ivanova, seorang gadis Ukraina yang tinggal di Moskow yang kemudian dinikahinya pada bulan Januari 1926.

Anna inilah yang berperan besar bagi Iwa di Moskow dari mengenalkan kehidupan masyarakat Rusia dan termasuk membantunya  belajar bahasa dan sastra Rusia. Dengan gajinya yang tak seberapa sebagai pembantu dokter, Anna menjadi penopang utama kehidupan Iwa di Moskow.

Dari Ivanova, ia dikaruniai seorang anak perempuan yang dinamai Sumira Dingli yang diambil dari nama Iwa di Rusia. Sayang, ketika tahun 1927 harus kembali ke Tanah Air, sang istri dan anaknya tak bisa dibawa serta. Tanpa alasan yang kuat, pemerintah tak mengizinkan warganya ke luar negeri.

Tanpa harapan kapan bertemu kembali dengan istri dan anaknya di Rusia, Iwa akhirnya menikah lagi dengan Kuraesin Argawinata, seorang putri kerabatnya yang tinggal di rumah pamannya, Abdul Manap. Pernikahan ini membuahkan enam orang anak, lima putri dan seorang putra.

Membangun kehidupan mapan di tanah air, bukan berarti Iwa melupakan begitu saja Anna dan putronya Sumira Dingli. Ketika menjabat sebagai rektor rektor Universitas Padjajaran, ia sempat menghubungi Anna dari China. Musim dingin dan Anna yang sedang sakit parah membuatnya melarang Iwa pergi ke Moskow.

Tiga tahun kemudian ketika Iwa menjabat Menteri Pendidikan Perguruan Tinggi Ilmu Pengetahuan ia akhirnya sampai ke Rusia. Sayang Anna tak bisa menjumpai lagi karena sudah meninggal.

“Saat inilah kesempatan saya untuk bertemu dengan anak saya Mira dan keluarganya. Bersama mereka saya pergi ke kuburan Anna.  Anna telah melakukan tugasnya sebagai seorang ibu yang berbudi luhur,” tulis Iwa dalam otobiografinya, Sang Pejuang dalam Gejolak Sejarah.[TGU]