ITE

Ilustrasi/elsam.or.id

Koran Sulindo – Wacana revisi Undang Undang (UU) tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) kini ramai diperbincangkan. Usulan revisi tersebut terutama muncul dari kelompok masyarakat sipil yang menilai beberapa pasal di dalam UU tersebut “karet” sehingga kerap menelan “korban” khususnya dari masyarakat kecil dan aktivis.

Salah satu diskusi yang menarik untuk diikuti mengenai wacana revisi UU ITE itu pernah ditayangkan program talk show “Mata Najwa”. Menariknya lantaran pihak-pihak yang menolak revisi tersebut berasal dari anggota DPR dan ahli yang mewakili pemerintah

Wacana ini awalnya muncul ketika Presiden Joko Widodo meminta Kepolisian RI untuk berhati-hati menggunakan UU ITE. Anggota Polri diminta tidak asal dalam menerjemahkan pasal-pasal yang menimbulkan multitafsir. Karena itu, Kapolri Listyo Sigit Prabowo diminta untuk membuat pedoman interpretasi resmi terhadap pasal-pasal yang ada di UU ITE.

Jokowi juga prihatin atas saling lapor antar-masyarakat dengan menggunakan UU ITE. Karena itu, apabila UU ITE dinilai tidak bisa memberi rasa keadilan kepada masyarakat, maka pemerintah dan DPR perlu merevisi UU ITE, terutama menghapus pasal-pasal karet yang berpotensi multitafsir.

Meski Presiden Jokowi memiliki penilaian demikian terhadap beberapa pasal di UU ITE, tak lalu DPR dan ahli yang mewakili pemerintah sepakat dengan usulan tersebut. DPR, misalnya, berkeyakinan pasal-pasal dalam UU ITE tidak ada yang karet atau multitafsir. Buktinya Mahkamah Konsitusi (MK) menolak beberapa kali uji materi terhadap pasal-pasal yang dinilai karet.

Komisi I DPR beralasan kalau pun ada penafsiran yang keliru dalam penerapannya, bukan berarti pasal-pasal dalam UU ITE karet alias multitafsir.  Seperti DPR, ahli dari pemerintah yang juga guru besar Universitas Airlangga Surabaya Henry Subiakto berpendapat serupa. Tidak ada yang karet terkait dengan pasal-pasal dalam UU ITE. Kekeliruan penerapan pasal-pasal tersebut bukan karena UU-nya melainkan penerapan oleh penegak hukum.

Lantas bagaimana tanggapan kelompok masyarakat sipil atas pasal-pasal yang dinilai karet dalam UU ITE? Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) sejak UU ITE direvisi pertama kali pada 2016 telah mengusulkan agar aturan tersebut ditinjau ulang. Apalagi sudah banyak menelan korban.

Safenet mencatat saling lapor menggunakan UU ITE merupakan sisa-sisa dari sengketa pilpres marak terjadi di 2019. Data Polri menunjukkan dalam tiga tahun terakhir jumlah kasus terkait internet yang ditangani Polri terus bertambah mulai dari 1.338 kasus pada 2017; lalu 2.552 kasus di 2018; dan 3.005 kasus (sampai Oktober 2019).

Peningkatan kriminalisasi warga terkait aktivitasnya di internet selama 2019  menjadi salah satu catatan yang terus berulang dari tahun ke tahun. Pengulangan lain adalah pembungkaman suara-suara kritis warga yang berekspresi dan berpendapat melalui internet, terutama di media sosial. Aktivis dan jurnalis menjadi kelompok paling banyak menjadi korban, selain munculnya korban-korban baru terutama di kalangan akademisi.

Dari laporan yang masuk, Safenet menyebut terdapat 24 kasus pemidanaan yang menggunakan UU ITE. Kendati jumlahnya menurun dibanding tahun 2018, jurnalis dan media masih menjadi korban terbanyak dari kriminalisasi menggunakan UU ITE. Bahkan dalam dua tahun terakhir, jumlah media dan jurnalis yang dipidanakan cenderung lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Lalu, dari aspek pasal pemidanaan, Pasal 27 ayat 3 UU ITE paling banyak digunakan untuk melaporkan yaitu sebanyak 10 kasus. Disusul Pasal 28 ayat 2 (kebencian) sebanyak 8 kasus dan lain sebagainya. Menurut Safenet, laporan tersebut tidak sekadar catatan pelanggaran hak-hakdigital yang terjadi selama 2019 melainkan bagaimana dampaknya terhadap demokrasi.

Berdasarkan fakta tersebut, beberapa pasal dalam UU ITE sangat multitafsir sehingga menelan korban yang beragam latar belakang. Atas itu pula hak-hak demokratis rakyat terutama kebebasan berpendapat (lisan/tulisan) menjadi terancam. Barangkali karena ini pula indeks demokrasi menjadi turun bukan? [Kristian Ginting]