Koran Sulindo – Istighotsah Kubro yang diselenggarakan Nahdlatul Ulama Jawa Timur adalah keberpihakan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Istighotsah Kubro itu dihadiri sekitar 1 juta orang.
“Kita sama-sama tahu bahwa ulama, kiai dan santri yang punya andil besar bagi kemerdekaan Indonesia,” kata Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur, KH Marzuki Mustamar, dalam sambutan pada kegiatan yang diselenggarakan di Gelora Delta Sidoarjo itu, Minggu (28/10/2018), seperti dikutip nu.or.id.
Menurut Kiai Marzuki, saat tentara belum ada, Pangeran Diponegoro melawan penjajah; sebelum Indonesia diproklamirkan, Hadratus Syaikh KH M Hasyim Asy’ari telah mendirikan pasukan yang terdiri dari para santri. Dan itu pula yang menyemangati Arek-arek Suroboyo sehingga meletuslah perang 10 Nopember 1945.
“Dengan demikian, Indonesia adalah warisan para kiai. Kita wajib membela NKRI karena ini jasa para ulama, menjaga negeri adalah menyelamatkan Indonesia,” katanya.
Sebelumnya, KH Marzuki mengajak sejuta orang yang hadir pada Istighotsah Kubra itu membacakan Shalawat Asyghil bersama-sama. Melalui shalawat itu, Kiai Marzuki mengajak umat Islam untuk memohon kepada Allah, berkat syafaat Nabi Muhammad agar orang yang berbuat zalim kepada Islam, negara Indonesia, kalangan Ahlussunah wal Jamaah NU, mendapatkan kezaliman dari orang yang zalim juga.
Kiai Marzuki mengajak kepada para jamaah agar permohonan itu juga berlaku kepada umat Islam di seluruh dunia yang saat ini tengah dizalimi orang zalim seperti di Yaman, Suriah, Irak dan negara-negara lain.
“Mugo-mugo mereka tukaran sak karepe. Mugo-mugo mereka tukaran sak karepe. Mugo-mugo mereka tukaran sak karepe, (Semoga orang-orang zalim bermusuhan dengan orang zalim juga semau-maunya mereka),” kata Kiai Marzuki, yang diamini jamaah.
Sedangkan Mustasyar PBNU yang juga calon wakil presiden, KH Ma’ruf Amin mengatakan santri memiliki karakter himayatud din (menjaga agama) dan himayatud daulah (menjaga negara). Karena itulah, jika ada pihak yang mengganggu agama dan negara Indonesia akan berhadapan dengan para santri.
“Jika santri dulu, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari mengusir penjajah, sekarang mengusir sepratis, bughat (pembangkang), wajib diperangi. Juga kalangan radikalisme dan teroris yang akan menghancurkan NKRI. NKRI adalah harga mati!” kata Ma’ruf.
Para santri tidak akan membiarkan orang yang akan menyingkirkan agama dan negara Indonesia.
“Itulah kenapa Jokowi memilih santri,” katanya.
Menurut Kiai Ma’ruf, bisa saja Jokowi memilih politisi, ekonom, atau kalangan lain, tapi dia memilih santri. Sementara dirinya, menerima pinangan jadi cawapres atas persetujuan para kiai.
Penerimaan dia menjadi cawapres digunjing orang terkait usia. Padahal menurut organisasi kesehatan dunia (WHO), orang disebut tua kalau sudah berusia 80 tahun.
“Saya ini baru berusia 57, tapi kebalik,” katanya disambut tepuk tangan dan tawa ratusan ribu jamaah yang memenuhi lapangan dan luber hingga keluar.
Kalaupun disebut tua, Kiai Ma’ruf mengaku sdang menanam pohon. Ia bisa saja tidak akan menikmati buahnya. Bukan untuk diri saya, tetapi untuk generasi setelah saya, bersama Pak Jokowi,” kata Ma’ruf.
Ma’ruf juga mengajak jamaah menyadari tantangan santri saat ini.
“Dulu kita berhadapan dengan penjajah dan saat ini yang menjadi tantangan bagi santri zaman now adalah separatisme dan radikalisme. Separatisme adalah bughat, sedangkan gerakan radikal dan teror akan mengancam keberadaan NKRI,” kata Ma’ruf.
Bagi Kiai Ma’ruf Amin, hari santri yang telah ditetapkan pemerintah sebagai tantangan agar bisa membaca kitab mu’tabar.
“Juga membaca huruf-huruf Allah yang termaktub dalam tatanan bangsa dan negara,” kata Kiai Ma’ruf.
Sumpah Pemuda Nafas Santri
Sementara itu A’wan Syuriyah PWNU Jawa Timur, Babun Suharto, mengatakan Sumpah Pemuda yang diucapkan 90 tahun yang lalu tak pernah kadaluarsa untuk selalu diingat dan diterapkan dalam kehidupan bangsa Indonesia. Sebab, tidak ada jaminan bahwa rakyat Indonesia akan terus bertanah satu, berbahasa satu dan berbangsa satu, yaitu Indonesia.
“Penting, persatuan terus dipupuk, karena tanpa persatuan Indonesia hanyalah pulau kecil yang tiada arti,” kata Babun.
Rektor IAIN Jember itu mengingatkan, dewasa ini kekokohan persatuan Indonesia benar-benar diuji karena begitu banyak persoalan dan issu yang berpotensi memecah belah bangsa, sengaja diembuskan oleh pihak-pihak tertentu untuk meruntuhkan Indonesia.
“Buktinya banyak aliran radikal yang berbasis primordial, bermunculan. Begitu politik aliran, sepertinya menjadi amunisi untuk saling menyerang lawan. Ini berbahaya,” katanya.
Datang Sejak Subuh
Kegiatan tersebut diawali dengan jalan santai santri yang dibuka Presiden Joko Widodo mengambil start dari Pendopo Kabupaten Sidoarjo menuju lokasi istighotsah di Gelora Delta. Dalam istighotsah yang dipimpin para kiai sepuh Jawa Timur itu berlangsung Ikrar Warga NU dan Ikrar Santri.
Sembari menunggu dimulainya istighotsah kubro, jamaah yang telah berada di dalam Gelora Delta Sidoarjo membacakan shalawat. Mereka terlihat khidmat menirukan bacaan kalimat thayyibah yang dipimpin imam lewat pengeras suara.
“Rasanya demikian khidmat mengikuti bacaan shalawat bersama ribuan jamaah,” kata Ifdholul Maghfur, Ahad (28/10).
Warga Sidoarjo ini sengaja datang sejak sebelum Shubuh untuk memastikan bisa masuk ke Gelora Delta. “Kalau datang setelah shalat Shubuh khawatir tidak bisa berada di dalam Gelora Delta,” katanya.
Pengakuan serupa disampaikan Siti Fatimah. “Saya bersama rombongan alhamdulillah bisa memasuki Gelora Delta agak awal dan bisa melaksanakan shalat Shubuh berjamaah di dalam,” kata warga dari Probolinggo ini.
Ketersediaan tempat wudhu dan toilet juga cukup membantu jamaah sehingga bisa mengikuti rangkaian istighotsah kubro lebih khidmat. “Meskipun harus antri, tapi air yang ada dirasa cukup, sehingga segalanya lancar,” kata Manshur, jamaah dari Magetan.
Panitia menyediakan puluhan toilet di sekitar Gelora Delta dan sejumlah tempat wudhu. Demikian pula suplai air untuk tandon juga telah disiapkan panitia. “Ini berdasar pengalaman istighotsah tahun lalu yang memang mengalami sedikit masalah terkait toilet,” kata Suherman. [DAS]