Istano Basa Pagaruyung : Simbol Budaya Minangkabau

Istano Baso Pagaruyung (Foto: Wikipedia)

Koran Sulindo – Berabad-abad yang lalu, Indonesia terdiri dari banyak kerajaan yang tersebar di berbagai wilayah tanah air, masing-masing dengan daerah kekuasaannya sendiri.

Salah satu peninggalan kerajaan yang masih berdiri kokoh dan menjadi saksi bisu kejayaan masa lalu adalah Istano Basa Pagaruyung, yang terletak di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.

Istano Basa Pagaruyung, juga dikenal sebagai Istana Besar Kerajaan Pagaruyung, merupakan salah satu objek wisata budaya dan sejarah yang paling terkenal di Indonesia.

Istana ini merupakan bangunan rumah gadang yang dilengkapi dengan berbagai peralatan dan benda-benda koleksi, menawarkan pengalaman unik bagi para pengunjung yang ingin merasakan langsung warisan budaya Minangkabau.

Menurut ensiklopedia Universitas Stekom, Istano Basa Pagaruyung awalnya didirikan oleh Raja Adityawarman dan terletak di atas Bukit Batu Patah. Namun, pada tahun 1804, istana ini dibakar habis saat Perang Padri.

Hampir dua abad kemudian, pada tahun 1976, replika Istana Pagaruyung dibangun kembali di Kabupaten Tanah Datar. Gagasan untuk membangun kembali istana ini sebenarnya sudah muncul sejak tahun 1968 oleh Gubernur Sumatera Barat saat itu, Harun Zain.

Ia merasa perlunya sebuah warisan yang dapat mempersatukan orang Minang, terutama setelah peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Pembangunan kembali Istano Basa Pagaruyung juga memiliki tujuan penting lainnya, yaitu untuk membangkitkan kebanggaan masyarakat Minang akan tradisi dan budaya mereka.

Pada tahun yang sama, Istana Pagaruyung dinyatakan sebagai situs cagar budaya dan dibuka sebagai objek wisata untuk umum, sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor 2 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tanah Datar.

Namun, pada 27 Februari 2007, Istano Basa Pagaruyung mengalami kebakaran hebat yang diakibatkan oleh sambaran petir di puncak istana. Kebakaran ini menghanguskan sebagian besar dokumen serta kain-kain hiasan, dan hanya sekitar 15 persen barang-barang berharga yang berhasil diselamatkan.

Setelah itu, istana ini kembali dibangun dan diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono pada Oktober 2013.

Meskipun kini sudah dilengkapi dengan struktur beton modern, Istano Basa Pagaruyung dibangun dengan tetap mempertahankan teknik tradisional dan penggunaan material kayu.

Keunikan Istana Pagaruyung terletak pada desainnya yang berbeda dari rumah gadang lainnya, karena istana ini dihiasi dengan 60 ukiran yang menjelaskan filosofi dan budaya Minangkabau. Ciri khas istana ini dapat dilihat dari ornamen ukiran bunga-bunga dan dedaunan yang menghiasi setiap sudut bangunan.

Istano Basa Pagaruyung terdiri dari tiga lantai, dengan 72 tonggak penyangga, 11 gonjong atap, dan tanduk yang terbuat dari 26 ton serat ijuk. Istana ini juga memiliki lebih dari 100 replika furnitur dan artefak antik Minang.

Ruangan di dalam istana memiliki anjung atau penaikan lantai di sisi kanan dan kirinya. Keberadaan anjung ini menunjukkan identitas Istana Pagaruyung sebagai Rumah Gadang Koto Piliang, yang menganut sistem pemerintahan aristokrat, di mana posisi duduk seseorang ditentukan berdasarkan statusnya.

Istano Basa Pagaruyung juga berfungsi sebagai museum khusus, karena dahulunya merupakan kediaman Raja Alam dan pusat pemerintahan dari sistem konfederasi yang dipimpin oleh tiga pemimpin, yang dikenal dengan sebutan Rajo Tigo Selo.

Sesuai dengan penggunaannya di masa lalu, lantai dua Istana Pagaruyung adalah kamar tidur raja, sementara lantai tiga digunakan sebagai tempat semedi sekaligus lokasi untuk memantau keadaan ketika terjadi perang.

Dengan sejarah panjang dan keindahan arsitektur yang dimilikinya, Istano Basa Pagaruyung tidak hanya menjadi saksi bisu kejayaan masa lalu, tetapi juga menjadi simbol kebanggaan budaya Minangkabau yang masih hidup hingga saat ini. [UN]