Bung Karno memang bukan berasal dari keluarga santri. Ayahnya, Raden Sukemi Sosrodihardjo, walau secara formal beragama Islam, lebih mendalami kepercayaan teosofi Jawa atau Kejawen. Adapun ibunya, Idayu, bukan penganut Islam, tapi seorang pemeluk Hindu-Bali.
Kendati begitu, Bung Karno menekuni ajaran Islam. Bahkan, Putra sangFajar memberi banyak perhatian terhadap kondisi umat Islam, terutama pada masa kolonial Belanda. Ia ingin umat Islam di Tanah Air mengalami kemajuan, dengan meninggalkan sikap taklid dan berani melakukan ijtihad.
Bung Karno juga menyerang fenomena takhayul, bidah dan anti-rasionalisme yang banyak dijalankan umat Islam pada masa penjajahan Belanda. Menurut Bung Karno, Islam telah disalah-tafsirkan. Ia mencurigai banyaknya hadis palsu yang beredar, yang kemudian dijadikan pedoman oleh umat Islam dan para ulama. terutama karena. Karena itu, kepada sahabat yang ia anggap juga sebagai gurunya, A. Hassan (tokoh Persatuan Islam), Bung Karno pernah meminta untuk dikirimkan buku kumpulan hadis yang diriwatkanoleh Bukhari, yang telah teruji sebagai kumpulan hadis sahih.
Upaya mempelajari Islam secara lebih mendalam dilakukan Bung Karno ketika ditahan oleh Belanda di Penjara Sukamiskin, Bandung. Pada masa itu, ia banyak membaca buku-buku yang diterbitkan Persatuan Islam. Sejarah mencatat,pada masa dipenjara itulah periode paling penting dalam berkembangnya pemikiran Islam Bung Karno. Selanjutnya, ia semakin intensif mempelajari Islam ketika dibuang ke Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Pada masa pembuangan tersebut, Bung Karno rutin berkorepondensi dengan A. Hassan, yang kelak surat-menyurat di antara keduanya dimasukkan Bung Karno dalam buku Dibawah Bendera Revolusi, pada bab “Surat-Surat Islam dari Endeh”.Awal perjumpaan Bung kanro dengan A. Hassan terjadi di Bandung, ketika keduanya sama-sama bertemu di percetakan Drukerij Economy. Ketika itu, Bung Karno sedang mencetak majalah judul Fikiran Ra’jat, sementara A. Hassan sedang mencetak majalah-majalah dan buku-buku yang diterbitkan Persatuan Islam. Sejak itu, keduanya sering bertemu. Ketika Bung Karno dipenjara di Sukamiskin, A. Hassan sering menjenguk.
Ketika dibuang ke Ende, Bung Karno juga meminta A. Hassan untuk mengirimkan buku. Buku-buku yang dikirimkan A. Hassan untuk Bung Karno antara lain Pengajaran Shalat, Utusan Wahabi, Al-Muctar,DebatTalqien, Al-Burhan lengkap, sertaSoal-Jawab danAl-Jawahir. Semua buku itu adalah karya A. Hassan. Inilah periode ketika Bung Karno semakin terbuka wawasannya tentang agama yang ia yakini.
“Di Endeh sendiri tak ada seorang pun yang bisa saya tanyai, karena semuanya memang kurang pengetahuan (seperti biasa) dan… kolot bin kolot. Semuanya hanya mentaqlied saja zonder tahu sendiri apa-apa yang pokok; ada satu-dua yang berpengetahuan sedikit, di Endeh ada seorang sayyid yang sedikit terpelajar, tetapi tak dapat memuaskan saya, karena pengetahuannya tak keluar sedikit pun dari kitab fiqih, dependent, unfree, taqlid. Quran dan Api Islam seakan-akan mati, karena kitab fiqih itulah yang mereka jadikan pedoman hidup, bukan kalam Ilahi sendiri. Ya, kalau difikirkan dalam-dalam, maka kitab fiqih-kitab fiqih itulah yang seakan-akan ikut menjadi algojo Ruh dan Semangat Islam,” demikian antara lain petikan salah satu surat yang dikirimkan Bung Karno ke A. Hassan.
Bung Karno juga mengatakan, pada masa di Ende-lah dirinya mulai memikirkan secara intens dasar-dasar kebangsaan, yang kelak bernama Pancasila. []