Ilustrasi

Koran Sulindo – Hujan deras dan gerimis datang bergantian Jumat siang itu. Ribuan orang menyemut; konon, hingga 300 ribu orang, dalam Aksi Bela Islam III pada 2 Desember 2016 itu. Di panggung tak jauh dari Istana Presiden Jakarta, terdengar suara orang berpidato dan takbir bersahutan.

Aksi itu konon demonstrasi massa terbesar di Indonesia sejak berakhirnya kekuasaan diktator Soeharto pada 1998.

Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan hampir semua pimpinan tinggi pemerintah tiba-tiba keluar dari panggung istana, berjalan menembus kerumunan, dan naik panggung.

Presiden Jokowi berpidato. Tak lama, hanya sekitar 5 menit, lalu langsung balik kanan masuk istana lagi. Meninggalkan Ketua Front Pembela Islam Rizieq Syihab terpana sejenak.

Presiden konon memilih mengabaikan peringatan para petinggi keamanan dan pergi ke kerumunan, tampil sepanggung di samping Rizieq.

Langkah Jokowi dipuji karena mendinginkan ketegangan yang telah berlangsung selama berminggu-minggu akibat pernyataan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang dianggap menista agama. Namun para pengkritik khawatir keputusannya itu memberi legitimasi kepada Islam politik aliran garis keras.

“Pemerintahannya dan polisi telah memainkan permainan yang berbahaya. Akibatnya, Islam politik telah dikooptasi oleh kelompok garis keras dan Muslim yang progresif telah dipinggirkan,” kata analis di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta, Tobias Basuki, seperti dikutip Reuters.

Aksi massa berbendera agama itu sering didaulat sebagai kebangkitan Islam politik. Dengan mayoritas penduduknya muslim, Islam mau tak mau adalah bendera yang selalu ada dalam percaturan politik di Indonesia.

Tapi benarkan Islam politik dan politik Islam bangkit sejak aksi 411, 212, dan semua unjuk rasa bertajuk nomor cantik itu?

Islam politik ternyata tak berumur panjang. Sebelum aksi 212 itu polisi menangkapi tokoh-tokoh yang dianggap di belakang aksi itu pada dinihari; dan pemerintah merebut panggung pada siang harinya.

Pada aksi 313 pekan lalu, pola yang sama diterapkan pemerintah, dan unjuk rasa kehilangan gema. Islam politik nampaknya mati di tengah jalan.

Namun politik Islam adalah sisi yang lain. Bicara Islam secara kaffah, maka harus menyinggung masalah politik; bicara politik pasti tidak bisa lepas dari pandangan politik Islam.

Jika dikaitkan dengan pemikiran politik islam dengan sistem politik dan kepartaian di Indonesia, dari zaman Soekarno hingga Soeharto, Islam menghadapi jalan buntu. Dua orang presiden itu memandang partai politik yang berlandaskan Islam sebagai pesaing potensial, karena itu mereka menjinakkan partai islam. Islam ditempatkan di luar. Minoritas yang dicurigai anti pancasila.

Setelah reformasi 1998, bangkitlah partai-partai politik Islam seperti PKS, PBB, PAN, PKB, PBR, dan PPP. Selain itu juga tumbuhgerakan-gerakan sosial Islam yang datang dari kampus dan masjid-masjid, seperti Lembaga Dakwah Kampus (LDK), FPI, Hizbuttahrir, dan KAMMI. Di titik ekstrim, kembali lahir gerakan-gerakan jihad seperti Majelis Mujahidin Indonesia dan Laskar Jihad.

Namun Pemilu 1999 memberi pukulan pahit pada euphoria politik Islam itu. Partai politik yang berideologi Islam terpuruk dalam jumlah suara. Masyarakat Indonesia masih berpihak pada ideologi nasionalis. Partai Islam dan ideologi Islam dinilai belum cocok menjadi ideologi di Indonesia.

Pemilu 2004, 2009, dan 2014 bahkan partai Islam pelan-pelan tergusur dari percaturan politik. Karena Parlementary Treshold, hanya tersisa 4 partai islam yang lolos ke DPR, yaitu PPP, PKB, PAN, dan PKS; dengan perolehan kursi jauh lebih kecil dibanding partai nasionalis.

Islam politik dan Politik Islam pelan-pelan, pemilu demi pemilu setelah reformasi, makin terjauhkan dari politik formal. Namun karena mayoritas penduduk beragama Islam, tentu mempunyai implikasi politik. Kekuatan politik apa pun, lebih-lebih partai politik, akan sangat memperhitungkan realitas demografi itu. Massa Islam tetaplah gadis cantik yang diperebutkan kekuatan-kekuatan politik pada 2019 nanti.

Namun lemahnya kekuatan politik islam secara kelembagaan jelas menjadi ancaman bagi hidup mereka. Wacana perampingan partai dalam upaya penguatan sistem presidensial di Indonesia makin menambah problem serius bagi partai Islam, mengingat basis mereka terdistribusi ke beberapa partai. Jika ini terus dibiarkan masa depan partai Islam tergerus oleh sistem pemilu yang menghendaki perampingan ekstrem di parlemen. Politik Islam hanya akan bisa bersuara di jalanan dan melakukan aksi-aksi simbolik semata. [Didit Sidarta]