Koran Sulindo – Islam dan keindonesiaan merupakan kesatuan erat yang sudah dibuktikan dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Betapa sangat besar kontribusi nilai-nilai islami dan umat Islam bagi kemerdekaan negara ini dan juga dalam proses perjalanannya. Umat Islam sebagai mayoritas yang ada di negara ini juga telah membuktikan toleransinya yang tinggi terhadap umat-umat dari agama lain, hidup berdampingan, bahu-membahu membangun peradaban di negeri yang berlimpah sumber daya alamnya ini.
Ada memang riak-riak kecil, gesekan-gesekan, bahkan konflik terbuka dengan antar-umat beragama yang memakan korban jiwa. Namun, pada akhirnya, semua kembali damai dan kembali rukun di bawah kibaran Merah-Putih.
Ajaran Islam pun tidak pernah mempermasalahkan ikatan kebangsaan. Beberapa hadis Nabi Muhammad S.A.W. menyebutkan bagaimana perasaan Rasulullah terhadap Makkah sebagai kota kelahirannya dan Madinah sebagai kota yang menjadi kediamannya kemudian setelah hijrah. Allah S.W.T. dalam Alquran juga secara eksplisit menyatakan Dia memang menjadikan umat manusia bersuku-suku, berbangsa-bangsa, agar saling mengenal, saling menolong.
Jadi, perbedaan dan keragaman yang ada di republik ini bagi umat Islam sudah semestinyalah dinilai sebagai bukti nyata yang paling dekat dalam kehidupan keseharian dari firman Allah S.W.T tersebut. Sepanjang sesuai dengan nilai-nilai keislaman dan dalam koridor hukum yang berlaku di negara ini, perbedaan dan keragaman itu bukanlah untuk dipertentangkan satu sama lain atau dijadikan pemantik perseteruan.
Jauh sebelum Indonesia mencapai kemerdekaannya, banyak ulama di Nusantara berpandangan, nasionalisme yang dimajukan oleh Islam bukanlah nasionalisme yang sempit, apalagi berbahaya. Hadji Omar Said Tjokroaminoto dalam suatu kesempatan di tahun 1924 pernah mengatakan, Islam sepertujuh bagian rambut pun tak menghalangi dan merintangi kejadian dan kemajuan nasionalisme “yang sejati”, tetapi malah justru memajukan nasionalisme.
Ulama terkemuka yang bernaung di bawah organisasi Persatuan Islam (Persis) dan merupakan sahabat Bung Karno, A. Hassan, juga pernah mengungkapkan, kebangsaan itu sama dengan ‘ashobiyah, yaitu rasa persatuan suku yang sangat mengikat sebelum persatuan Arab di bawah Nabi Muhammad dan terutama diterapkan pada masa jahiliyah.
Terkait hukum Islam atau syariah, Bung Karno dalam tulisannya yang diberi tajuk “Me-‘Muda’-kan Pengertian Islam” mengatakan, “… hukum yang baik haruslah seperti karet dan kekaretan ini adalah teristimewa sekali pada hukum-hukum Islam. Hukum Islam itu cocok dengan semua kemajuan….”
Elastisitas hukum atau syariat Islam dipuji Bung Karno. Hukum yang digambarkannya seperti karet itu, menurut beliau, bisa membuat Islam cocok dengan semua kemajuan. “Islam tidak akan dapat hidup seribu empat ratus tahun kalau hukum-hukumya tidak seperti karet…. Zaman beredar, kebutuhan manusia berubah—panta rei!—maka pengertian tentang hukum-hukum itu adalah berubah pula,” kata Bung Karno.
Memang, sejak masa muda sampai akhir hayatnya, Bung Karno bukan sekadar politisi, tapi juga pemikir dengan wawasan yang sangat luas. Minatnya juga lintas disiplin. Tak dapat dinafikan pula, ia adalah seorang tokoh utama nasionalis di negeri ini yang sangat tertarik pada gerakan pembaruan pemikiran keislaman, yang ia sebut sebagai rethinking of Islam, yang pada awal abad ke-20 merupakan kecenderungan baru pada wilayah perkembangan Islam, yakni di Turki (termasuk Iran), Mesir, Palestina, Arab Saudi, dan India.
Sejarah juga mencatat, bagaimana Bung Karno pada masa mudanya mencoba merumuskan cara menjadikan nilai-nilai Islam hidup kembali di Indonesia sebagai kekuatan pembebas umat dari keterbelakangan. Menurut Bung Karno, kekuatan itu bisa terwujud jika ajaran Islam telah berfungsi sebagai landasan etos kerja. Betapa cemerlang pemikirannya! [Purwadi]