Beberapa waktu kemudian, ternyata Iskaq tidak diadili melainkan dibebaskan. Mula-mula dengan pengawalan polisi tetapi kemudian dibebaskan sama sekali. Iskaq dilarang untuk tinggal di Bandung (verbanning). Sedangkan Sukarno, Maskun, Gatot Mangkupraja, dan Supriadinata diajukan ke pengadilan yang ditangani Landraad Bandung. Kemudian diketahui, untuk mengadili Iskaq yang advokat itu, harus ada izin dari pengadilan tinggi di Jakarta.
Adapun Iskaq, selain terus aktif berjuang di pergerakan, juga tetap menjalankan profesi advokatnya dengan ulet. Tak heran Iskaq adalah sebenar-benar bendahara, ia juga membantu ekonomi teman-teman seperjuangan seperti Soekarno yang sebagian besar wajktunya dihabiskan untuk partai sehingga tak mempunyai waktu mencari uang.
Landraad Bandung menjatuhkan hukuman, bagi Sukarno: 4 tahun, Gatot Mangkupraja: 2 tahun, Maskun: 1 tahun 6 bulan, dan Supriadinata: 1 tahun 3 bulan. Keputusan tersebut mendapat protes dari bebagai pihak.
Di Belanda, Perhimpunan Indonesia mengadakan rapat untuk mengajukan protes dengan pembicara utamanya Syahrir, Nazir Datuk Pamuncak, dan Abdoel Majid. Juga protes datang dari kaum sosialis-demokrat Belanda, antara lain dari J.E.Stokvis.
Organisasi-organisasi di Indonesia melancarkan tantangan terhadap keputusan pengadilan Bandung itu antara lain PPPI, PPPKI, dan Budi Utomo.
Di samping protes dari organisasi berbentuk rapat umum, juga berupa tulisan-tulisan di surat kabar yang mengkritik tindakan-tindakan Pemerintah terhadap para pemimpin Pergerakan Nasional.
Baca juga Nasionalisme-Radikal dan Masa Pasang PNI
Sesudah keluar keputusan Pengadilan Bandung yang menetapkan bahwa PNI bersifat perhimpunan yang tujuannya menjalankan kejahatan menurut KUHP Hindia Belanda pasal 169, maka jelaslah bahwa PNI dan seluruh anggotanya ditempatkan dalam posisi sulit. Sartono dan Anwari mengeluarkan seruan kepada segenap anggota PNI untuk menghentikan kegiatan politiknya sehubungan dengan penangkapan terhadap pimpinan PNI di beberapa daerah. Ditegaskan pula bahwa pimpinan harian PNI untuk sementara berada di tangan Sartono dan Anwari.
Pada Sabtu 25 April 1931 diselenggarakan Konperensi Luar Biasa di Gedung Permufakatan Nasional, Gang Kanari, Jakarta. Konperensi tersebut mengeluarkan suatu pernyataan pembubaran PNI, yang ditanda-tangani Pengurus Pusat dan Daerah.
Kelompok dalam PNI yang tidak setuju dengan pembubaran PNI hanya atas tuduhan fitnah dari Pemerintah kolonial, lalu melepaskan diri. Kelompok yang dikenal dengan “Golongan Merdeka” itu kemudian menjelma menjadi Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) di bawah pimpinan Syahrir, bekas pimpinan Perhimpunan Indonesia, lalu kemudian diketuai Bung Hatta. Bung Hatta dan Syahrir mengutamakan pendidikan kader. PNI di bawah pimpinan Hatta dan Syahrir sering mengadakan kursus untuk menempa tenaga-tenaga muda yang tangguh dalam perjuangan nasional di berbagai tempat di Jawa dan Sumatera.
Berita penangkapan dan pengadilan itu cepat meluas di dalam dan luar negeri, menambah kekayaan dan kepopuleran Pergerakan Nasional Indonesia. Pembelaan Sukarno di hadapan Pengadilan Negeri Bandung juga disebarkan oleh pers. Bahkan SDAP menterjemahkannya ke dalam bahasa Belanda dan menyebarluaskannya di Belanda/Eropa dengan judul Indonesia klaag.
Kharisma Soekarno dan PNI makin berkembang di hati bangsa Indonesia. Belanda tidak dapat menutup mata dan hatinya terhadap kenyataan ini. Gubernur Jenderal Jhr. Mr. A.C.D. De Graff (1926-1931) menyadari begitu banyaknya protes dari dalam dan luar negeri, mau menutup muka Belanda dan mukanya sendiri dengan keputusan untuk memberi grasi kepada Sukarno. Hukuman Sukarno 4 tahun diubah menjadi dua tahun.
Karena tak boleh lagi di Bandung, Iskaq pindah ke Sulawesi pada 1930. Ia membuka kantor advokat di Manado. Di sana Iskaq mendapat berita Sartono dan kawan-kawannya telah membubarkan PNI, dan sebagai gantinya ialah mendirikan partai baru bernama Partai Indonesia, disingkat Partindo.
Sebagai seorang senior dan tokoh Pergerakan Nasional, Iskaq dipilih oleh teman-temannya menjadi Ketua Partindo di Manado.
Pada 1933, setelah Ketua Partindo, Sukarno ditangkap pada 31 Juli, Pemerintah kolonial Hindia Belanda mengeluarkan larangan berapat pada Partindo. Akibatnya, kongres PPPKI yang direncanakan di Solo pada Desember 1933 ditunda dengan alasan kehadiran anggota-anggota Partindo dalam Kongres itu.
Pemerintah kolonial kemudian sekali lagi menangkapi pimpinan Partindo seperti: Sukarno, Amir Syarifuddin, Budiarto, Nyonoprawito, dan Yusuf Yahya. Perlakuan yang sama dikenakan juga kepada pimpinan PNI (baru) yakni Bung Hatta dan Syahrir. Dua terakhir ini ditangkap di Jakarta pada 25 Februari 1934. Minggu pertama bulan Jnuari 1935, mereka dibuang ke Boven Digul, dan seterusnya ke Bandaneira.
Dengan ditangkapnya pimpinan Partindo dan PNI (Pendidikan Nasional Indonesia), maka gerakan nasionalis radikal menjadi lumpuh pada 1934.
Residen Solo
Setelah proklamasi kemerdekaan, Ishaq juga menjadi Residen Banyumas. Pada masa akhir penjajahan Jepang, dia dan Komandan TKR setempat, Soedirman merampas persenjataan Jepang. Setelah itu Ishaq diperintah Presiden Soekarno menjadi residen di Solo. Saat itu di kota kerajaan itu berkembang gerakan anti swapraja yang ditujukan terhadap Susuhunan dan Mangkunegoro. Kedua raja Jawa yang masih muda itu dicurigai bersimpati pada Belanda dan tidak mendukung sepenuhnya Republik Indonesia.
Ringkas cerita, setelah episode revolusi itu Iskaq terlibat dalam delegasi perundingan Renvile, hakim negara dalam pemerintahan Soekarno-Hatta, menjadi Menteri dalam negeri dan menteri perekonomian dalam masa kabinet parlementer, namun selalu juga berjuang untuk PNI. Perintis kemerdekaan yang lahir pada 1896 ini, lima tahun lebih tua dari Soekarno, sempat hendak menyatukan kembali PNI yang terbelah dua pada 1966. Niatnya gagal. Pada saat itulah juga Orde Jenderal Soeharto membabat PNI hingga ke daerah-daerah. PNI keok pada Pemilu pertama Orde Baru pada 1971, dan dipaksa berfusi dengan partai-partai nasionalis lain pada 10 Januari 1973.
Iskaq menolak masuk Partai Demokrasi Perjuangan hasil fusi itu, dan pelan-pelan keluar dari dunia politik dan aktif di dunia pendidikan dengan membesarkan Universitas 17 Agustus1 1945 yang sudah didirikannya pada 1952. [Didit Sidarta]
(Tulisan ini pernah dimuat pada tanggal 27 Agustus 2016)