Ilustrasi/YMA

Koran Sulindo – Direktur Indonesia Public Institute (IPI), Karyono Wibowo menilai pemilu saat ini terasa tidak damai. Ada sejumlah ancaman berupa radikalisme, intoleransi dan terorisme.

“Harapan kami pemilu ini damai, aman, penuh kegembiraan tanpa ada gerakan yang bisa menggangu pemilu dan menimbulkan keretakan sosial,” kata Karyono, di dalam diskusi Pemilu Damai Tanpa Radikalisme, Intoleransi dan Terorisme di Lentera Cafe, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (16/2/2019).

Dikatakannya, salah satu bentuk ancaman pada pemilu saat ini berupa politik identitas yang mengedepankan suku, agama, ras dan antar golongan. Bahkan, selama memasuki masa kampanye, kata dia, ruang publik telah diisi ujaran kebencian dan hoax. Menurutnya gerakan terorisme dan Khilafah Islamiyah masih menumpang yang sering kali dilihat dari bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang bersembunyi di balik kelompok opisisi.

“HTI masif melalui pemilu, kelompok ideologi khilafah untuk memaksakan keyakinan atau ideologi, di Indonesia ada dua ancaman besar, fundamentalisme khilafah, kedua, ancaman fundamentalisme pasar perwujudan dr kapitalisme global,” katanya.

Karyono berharap jangan sampai terjadi transaksi oleh kelompok khilafah dan kelompok radikalisme, hanya karena ingin mendapatkan suara. Dirinya berharap para elit politik yang mengedepankan pemilu damai.

“Sangat berbahaya dengan kelompok itu ada dua hal, bukan sekedar uang tapi ruang. Uang tentu saja untuk operasional, tapi tidak sekedar itu ada komitmen yang mereka bangun, ruang di posisi pemerintahan, mengembangkan usaha dan ruang menyebarkan menyiarkan ideologi mereka. Mending transaksi dengan tukang parkir atau preman,” kata Karyono.

Senada dengan Karyono, Ketua Progres 98 Faizal Assegaf mencontohkan, radikalisme muncul saat pemilu DKI Jakarta pada 2016 lalu, yaitu pada aksi 212 menuntut tindakan hukum terhadap Basuki Tjahaja Purnama (BTP) yang ditunggangi pihak Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

“Di sana ada perwakilan HTI dan PKS dan lain-lain minta saya rancang aksi jelang pilkada DKI terhadap tuntutan masalah keadilan terkait kasus Pak Ahok,” ucapnya.

Menuru Faizal, aksi serupa muncul lagi pada Pemilu 2019. Sejumlah massa melawan Presiden Joko Widodo. Aksi itu disebutnya karena oposisi yakin kalah maka membuat serangkaian hoax untuk menciptakan kekacauan.

“Pemenangnya sudah mutlak Pak Jokowi. Ini pintu masuk peradaban luar biasa,” katanya.

Meski demikian, ia mengiginkan pemilu berjalan damai. Kemudian mengandung solidaritas yang tinggi. “Yang ada bangun solidarisme, menangkan rakyat karena radikalisme bukan saja bakar rumah ibadah ciptakan huru hara kegaduhan,” ucapnya.

Faizal menganjurkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Polri untuk melakukan pakta integritas dalam Pilpres ini.

“Berani tidak mereka mengatakan pemilu super damai? KPU belum membukanya ruang ini, HTI akan menolak pemerintahan hasil demokrasi lewat instrumen oposisi,” kata Faizal.

Sementara itu pengamat Intelijen, Stanislaus Riyanta mengatakan sejak Undang-Undang Ormas disahkan, kelompok-kelompok ini kalang-kabut. Mereka membutuhkan tempat untuk eksis tapi tidak membawa nama organisasi HTI. Salah satunya di acara pesta demokrasi nanti.

“Penumpang gelap harus diwaspadai, harus dibebaskan dari pemenang, bisa saja menumpang di kelompok Jokowi. Suasana perang sudah beredar di YouTube. Ini ancaman bentuk teror duduki KPU. Jangan sampai pesta demokrasi jadi bencana demokrasi, konflik identitas sangat sulit lama pulih, akan menjadi bencana sosial,” kata Stanislaus. [YMA]