Koran Sulindo – Sekali lagi, ini kisah tentang keteguhan integritas di tengah kebersahajaan para politisi Indonesia di masa lalu.
Tersebutlah nama Lintong Mulia Sitorus, yang pernah menjabat Sekretaris Jenderal Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan salah seorang kepercayaan Sutan Sjahrir– Perdana Menteri RI di masa-masa awal kemerdekaan. Sebagai politisi, kehidupan pribadi Lintong Sitorus sangat sederhana. Sepanjang hidupnya, ia tak pernah punya rumah. Di Jakarta, ia dan keluarganya selalu mengontrak rumah, dan selalu rumah kontrakannya di lokasi yang terpelosok di sudut-sudut kota.
Meski kehidupan sehari-harinya sederhana, bahkan sering kekurangan, Lintong Sitorus adalah seorang politsi cum intelektual yang tangguh. Ia menulis dan menerjemahkan beberapa buku tentang politik. Salah satu buku karangannya yang cukup terkenal berjudul Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Meski tidak tebal, buku ini merupakan suatu buku sejarah yang bagus sekali menggambarkan sejarah pergerakan nasional hingga tercapainya kemerdekaan Indonesia.
Suatu kali, seperti diceritakan Sabam Sirait (politisi senior PDI Perjuangan), Lintong Sitorus mendapat undangan khusus dari Presiden Yugoslavia, Josip Broz Tito, untuk berkunjung ke negaranya. Rupanya, di kalangan negara-negara sosialis Eropa Timur, nama Lintong Sitorus lumayan terkenal. Bisa jadi, karena garis politiknya yang “sosialis kiri”.
Lintong Sitorus bermaksud memenuhi undangan Presiden Tito tersebut. Maka, dia pun mempersiapkan diri, salah satunya dengan mempersiapkan setelan jas lengkap dengan dasinya, yang tidak ia miliki. Pinjaman jas ia dapatkan dari seorang rekannya, tapi tanpa dasi. Maka, Lintong pun datang kepada sahabatnya, T.B. Simatupang untuk meminjam dasi. Singkat kata, jadilah Lintong Sitorus berangkat ke Yugoslavia, dengan jas dan dasi pinjaman.
Beberapa minggu kemudian, Lintong Sitorus kembali ke Tanah Air, dan segera ke rumah Simatupang untuk mengembalikan dasi pinjaman. Tapi, malah Simatupang bilang: “Ah sudahlah. Ambil saja dasi itu untuk kamu. Biar kapan-kapan bisa kamu pakai lagi.”
Kisah tentang kesederhaan para politisi Indonesia dimasa awal kemerdekaan sampai di tahun 1950-an, adalah hal lazim. Mohammad Natsir, yang pernah menjabat berbagai jabatan penting di pemerintahan— anggota parlemen, menteri di kabinet, hingga perdana menteri— kerap menghadiri acara-acara dinas dan kenegaraan dengan jas yang tambal-sulam.
Saat Mr. Sartono wafat, medio Oktober 1968, ia hanya meninggalkan warisan seperangkat mebel tua dan sejumlah album foto tentang pengabdiannya di parlemen. Padahal, tokoh yang digelari “Bapak Parlemen Indonesia” ini memimpin parlemen Indonesia selama sepuluh tahun (1949-1959). Sejak awal kemerdekaan, ia juga telah menjadi anggota parlemen yang terhormat.
“Siapa takut hidup melarat, ia gampang lupa daratan”. Ucapan yang kerap dilontarkan Prawoto Mangkusasmito, salah seorang politisi Masjumi yang terkemuka yang pernah menjadi Ketua Badan Pekerja Komisi Nasional Pusat, (BP KNP), seakan menggambarkan semangat zaman di masa itu. Ditengah berbagai keterbatasan—suasana politik dan keamanan yang masih penuh gejolak, serta keuangan negara yang masih minim—tidak membuat para politisi di masa itu tidak kehilangan integritas dan kompetensi. Perdebatan di parlemen begitu keras, dan kerap sangat ideologis. Tapi, begitu kepentingan negara-bangsa menjadi acuan, kompromi pun dilakukan untuk menghasilkan kebijakan yang pro-rakyat. Sekalipun menghadapi perang dengan Belanda, semua hasil perundingan dengan pihak sekutu dibawa ke KNP lantas disepakati, meski melalui perdebatan sengit.
Di masa demokrasi parlementer yang ditandai dengan jatuh-bangunnya kabinet, partai-partai melalui lembaga legislatif—baik DPR Sementara maupun parlemen hasil pemilu 1955—sangat produktif dalam pembuatan undang-undang, yaitu rata-rata 29 dan 48 undang-undang per tahun. Dalam soal akuntabilitas politik, kedua parlemen itu kinerja juga pantas dipuji.
Sungguh, semua kisah itu merupakan teladan yang sangat menginspirasi!
Lantas, mengapa kisah-kisah seperti itu tak lagi pernah kita dengar dalam dunia politik Indonesia kini? Di zaman yang serba kecukupan ini, kebajikan menjelma kefasikan. Yang kita sekarang saksikan setiap hari adalah tayangan hampir semua perilaku tidak terpuji dari para politisi: korupsi, pamer kekayaan, dan perilaku yang melecehkan akal sehat publik lainnya.
Yang kerap disalahkan sebagai penyebab “fasik politik” ini adalah sistem politik yang berubah: yang mengutamakan kefasikan daripada kebajikan. Tuntutan zaman now berbeda jauh dari kebutuhan zaman old, begitu dalihnya. Kita semua seakan lupa bahwa ruh dari politik (sebagai sistem ataupun perilaku) adalah integritas. Itulah yang hilang dalam politik Indonesia hari ini. [Imran Hasibuan]