Ilustrasi gulat zaman dulu. (Istimewa)

Jika olahraga adalah cermin dari peradaban, maka gulat adalah pantulannya yang paling awal. Dengan jejak sejarah yang melintasi ribuan tahun, gulat tidak hanya tercatat sebagai salah satu cabang olahraga tertua di dunia, tetapi juga sebagai bagian tak terpisahkan dari perjalanan budaya, politik, dan spiritual umat manusia.

Dari relief kuno di tanah Sumeria hingga arena Olimpiade modern, gulat telah menjadi medium ekspresi kekuatan, disiplin, dan kehormatan.

Gulat dalam Peradaban Kuno

Menurut catatan resmi United World Wrestling, perkembangan awal gulat dapat ditelusuri hingga ke bangsa Sumeria, sekitar 5.000 tahun lalu. Bukti-bukti historis ditemukan dalam bentuk huruf paku, pahatan, dan relief rendah yang menggambarkan kompetisi gulat yang diiringi musik dan dipandu oleh wasit—menunjukkan bahwa sejak awal, gulat sudah memiliki bentuk struktural dan kompetitif.

Salah satu sumber tekstual tertua, Epik Gilgamesh, juga mencatat momen pergulatan antara tokoh utama Gilgamesh dan Enkidu, yang menjadi simbol persahabatan dan pengakuan kekuatan satu sama lain. Ini memperlihatkan bahwa gulat bukan sekadar olahraga, tetapi bagian dari narasi budaya yang lebih dalam.

Sementara itu, di Mesir Kuno, warisan gulat diabadikan dalam lukisan-lukisan dinding di makam Beni-Hassan, yang menggambarkan lebih dari 400 pasang pegulat dalam berbagai teknik dan posisi. Temuan ini membuktikan adanya sistem pelatihan, peraturan, serta kemungkinan eksistensi korporasi pegulat yang memiliki aturan dan kode etik tersendiri.

Yunani Kuno

Di Yunani Kuno, gulat mencapai puncaknya sebagai cabang olahraga yang dianggap suci dan filosofis. Para atlet bergulat dalam keadaan telanjang, tubuh mereka diolesi minyak zaitun dan ditaburi pasir halus untuk melindungi kulit dari sinar matahari atau cuaca dingin. Seusai bertanding, mereka membersihkan diri dengan alat bernama strigil dan mandi sebagai bagian dari ritual kebersihan dan kehormatan.

Gaya gulat yang dipraktikkan menyerupai gulat gaya bebas masa kini, dengan pemenang ditentukan oleh kemampuan menjatuhkan lawan ke permukaan tanah—baik pada punggung, pinggul, lutut, atau siku. Pada tahun 708 SM, gulat resmi menjadi bagian dari Pentathlon Olimpiade Kuno, bersama dengan cakram, lembing, lompat jauh, dan lari cepat.

Salah satu tokoh legendaris gulat pada masa ini adalah Milon dari Croton, yang juga murid dari filsuf Pythagoras. Ia menjadi juara Olimpiade sebanyak enam kali antara tahun 540 hingga 516 SM, serta mencatat rekor kemenangan dalam berbagai ajang seperti Isthmic Games, Nemean Games, dan Pythic Games. Legenda menyebutkan bahwa Milon meninggal tragis ketika mencoba membelah pohon dan jari-jarinya terjebak, lalu dimangsa oleh singa.

Dari Romawi ke Abad Pertengahan

Masa Romawi Kuno menjadi fase transisi penting bagi gulat. Mereka mengadopsi dan mengembangkan olahraga ini dari warisan Yunani dan Etruria. Gulat menjadi latihan utama bagi prajurit, bangsawan muda, dan penggembala. Sejarawan Cassius Dio mencatat bahwa palestra—tempat latihan fisik—adalah akar dari kekuatan militer Romawi.

Namun, pada tahun 393 M, Kaisar Theodosius I melarang semua permainan yang dianggap pagan, termasuk Olimpiade. Larangan ini membuat nilai-nilai atletik, termasuk gulat, tenggelam dalam Abad Pertengahan. Meskipun begitu, gulat tetap bertahan secara laten.

Di kalangan elit dan kesatria Eropa, terutama selama Renaissance, gulat masih dipraktikkan di istana dan kastil. Seniman seperti Caravaggio, Poussin, Rembrandt, hingga penulis seperti Rousseau, Rabelais, dan Montaigne mempopulerkan gulat sebagai simbol kejantanan dan filsafat fisik.

Menariknya, buku cetak pertama tentang gulat diterbitkan pada tahun 1500, dan pada tahun 1512, Albrecht Dürer merilis manual gulat berwarna, menjadi salah satu karya paling awal tentang teknik-teknik gulat dalam dunia seni dan olahraga.

Pada awal abad ke-19, gulat profesional mulai berkembang di Prancis, sekitar tahun 1830. Para pegulat independen yang tidak masuk dalam lingkaran elit mulai membentuk kelompok keliling untuk menunjukkan kebolehan mereka.

Diiringi dengan pertunjukan sirkus dan atraksi pasar malam, para pegulat menggunakan nama panggung seperti “Edward si Pemakan Baja” atau “Bonnet si Lembu Alpen”, dan menantang penonton untuk menjatuhkan mereka demi hadiah uang.

Pada tahun 1848, pemain sandiwara Jean Exbroyat menciptakan kelompok sirkus pegulat modern pertama dan menetapkan aturan tidak boleh melakukan pegangan di bawah pinggang. Gaya ini kemudian dikenal sebagai “gulat tangan datar”, yang menjadi cikal bakal gulat Yunani-Romawi modern.

Setelah Exbroyat wafat, kelompoknya dipimpin oleh Rossinol-Rollin, seorang pengacara dari Lyon yang dikenal cakap dalam mempromosikan, menyusun pertandingan, dan memberi penghargaan kepada pegulat.

Popularitas gulat profesional meledak di Austria-Hungaria, Italia, Denmark, dan Rusia. Juara-juara seperti Paul Pons (Prancis), Kara Ahmed (Turki), Nikola Petrov (Bulgaria), dan Ivan Poddoubni (Rusia) menjadi ikon olahraga di Eropa.

Namun, pada awal abad ke-20, gulat profesional mengalami penurunan akibat pengaturan pertandingan, kecurangan, dan manipulasi identitas peserta. Bangkitnya amatirisme Olimpiade membuka jalan bagi pembentukan klub dan sekolah gulat formal yang lebih terstruktur.

Gulat dalam Olimpiade Modern

Pada Olimpiade Athena 1896, gulat kembali masuk dalam daftar resmi meski belum memiliki kategori berat badan. Carl Schumann dari Jerman, bukan pegulat profesional, menjadi juara sekaligus peraih medali di lompat kuda dan senam. Pada tahun 1900, gulat absen dari Olimpiade Paris, namun tetap populer di panggung pertunjukan seperti Folies Bergères dan Casino de Paris.

Olimpiade St. Louis 1904 menandai debut gulat gaya bebas, namun hanya dipertandingkan oleh atlet Amerika. Barulah pada London 1908, kedua gaya Yunani-Romawi dan gaya bebas dipertandingkan secara bersamaan.

Sementara di Stockholm 1912, pertandingan gulat mencetak sejarah ketika Alfred Asikainen (Finlandia) dan Martin Klein (Rusia) bergulat selama 11 jam 40 menit, pertandingan terlama dalam sejarah Olimpiade.

Dominasi Eropa Utara mewarnai gulat Yunani-Romawi, sementara Inggris dan AS menguasai gaya bebas. Pada tahun 1928, Ibrahim Mustafa dari Mesir menjadi atlet Afrika pertama yang meraih emas di Olimpiade. Disusul oleh Shohachi Ishii dari Jepang yang merebut emas untuk Asia di Helsinki 1952.

Legenda Sepanjang Masa

Beberapa pegulat mencatat prestasi luar biasa dengan meraih tiga medali emas Olimpiade:

Carl Westergren (Swedia) – Yunani-Romawi 1920, 1924, 1932

Ivar Johansson (Swedia) – Yunani-Romawi dan gaya bebas 1932, gaya bebas 1936

Alexandre Medved (Rusia) – Gaya bebas 1964, 1968, 1972

Alexander Karelin (Rusia) – Yunani-Romawi 1988, 1992, 1996

Karelin mencoba meraih emas keempat di Sydney 2000, tetapi dikalahkan oleh Rulon Gardner dari Amerika. Pada Kejuaraan Dunia 2002 di Moskow, FILA (kini UWW) menganugerahkan gelar “Pegulat Terbaik Abad Ini” kepada Medved dan Karelin.

Era Kesetaraan

Seratus tahun sejak gulat gaya bebas masuk Olimpiade, sejarah mencatat momen penting lainnya: pada Olimpiade Athena 2004, gulat wanita resmi menjadi cabang Olimpiade. Ini adalah hasil dari upaya panjang IOC dan FILA/UWW untuk mendorong kesetaraan gender dalam olahraga, setelah sejak akhir 1980-an gulat wanita mulai dikembangkan di berbagai negara.

Dengan akar sejarah yang mendalam dan lintas benua, gulat bukan sekadar olahraga. Ia adalah simbol ketahanan budaya, pencapaian fisik, dan pencerminan nilai-nilai manusia dari masa ke masa.

Dari Sumeria hingga Olimpiade, dari arena sirkus hingga gelanggang emas, gulat terus bertahan sebagai salah satu warisan olahraga tertua dan paling luhur dalam peradaban manusia. [UN]