Inilah Batik!

Membatik dengan canting.

Koran Sulindo – Batik bukan semata-mata motif atau gambar atau desain yang tampak. Yang dimaksud batik juga mencakup dan tak bisa dilepaskan dari alat dan bahannya.

Alatnya berupa canting dan stempel (cap), plus alat pemanas lilin (malam)—yang  umumnya dipakai sampai sekarang berupa kompor kecil. Bahan utamanya lilin (malam) dan pewarna, plus media kreasinya (sejauh ini media yang digunakan umumnya berupa kain dan kayu).

Suka atau tidak, bila tak menggunakan alat dan bahan tersebut, suatu media yang “bermotif batik” tak bisa dilabeli atau dimasukkan ke dalam kategori batik. Kain yang motif batiknya dicetak dengan menggunakan mesin cetak dan tak menggunakan lilin, misalnya, tak bisa dan tak boleh disebut batik.

Amy D. Wirabudi

Meski sampai sekarang belum diketahui dari mana sebenarnya teknik mencetak dengan lilin itu berasal dan sejak kapan, batik telah ada dan mengakar di Bumi Nusantara Indonesia sejak berabad-abad silam. Seorang Belanda bernama G.P. Rouffaer dalam buku dan artikelnya yang diterbitkan pada awal abad ke-20 dan dikutip banyak ahli mengungkapkan, teknik membatik kemungkinan diperkenalkan dari India atau Sri Lanka pada abad ke-6 atau ke-7.

Sementara itu di Jawa, ungkap Rouffaer lagi, batik dan cara membatik telah menjadi obyek studi dan memiliki nilai-nilai filosofis sejak awal abad ke-18. Artinya, batik di Jawa khususnya telah ada jauh sebelum itu.

Menurut Rouffaer pula, pola gringsing sudah dikenal sejak abad ke-12 di Kediri, Jawa Timur. Pola seperti ini hanya bisa dibentuk dengan menggunakan alat canting. Itu sebabnya, Rouffaer berpandangan, canting ditemukan di Jawa pada abad yang sama.

Arca atau patung Prajnaparamita yang ditemukan di Jawa Timur dan diperkirakan dibuat pada abad ke-13 pun memperlihatkan detail ukiran kain menyerupai pola batik. Polanya berupa sulur tumbuhan dan kembang-kembang rumit, yang mirip dengan pola batik tradisional masyarakat Jawa. Itu artinya pola batik yang rumit yang hanya dapat dibuat dengan canting di Jawa sudah ada sejak abad ke-13 atau malah pada abad sebelumnya.

Hampir semua ahli sejarah batik menyepakati, kata batik sendiri berasal dari gabungan dua kata dalam bahasa Jawa: amba, yang bermakna ‘menulis’ dan titik, yang bermakna ‘titik’. Dalam karyanya yang tersohor di seluruh dunia dan terbit pertama kali di London pada tahun 1817, History of Java, Sir Thomas Stamford Raffles juga menyinggung tentang batik. Buku itu ditulis Raffles semasa menjadi Gubernur Inggris di Jawa.

Bahkan, ada yang mengatakan, Raffles pulalah yang memperkenalkan teknik cap menggunakan stempel atau cap dari bahan kayu ke masyarakat Jawa pada awal abad ke-19 itu. Teknik dengan cap ini diketahui Raffles dari India (daerah jajahan Inggris juga) dan sedang populer pada masa tersebut.

Teknik cap ini kemudian diketahui berkembang di luar Jawa, terutama di Sumatera. Pada suatu masa tertentu di abad itu, teknik membatik dengan cap ini menjadi sangat populer di Palembang, Aceh, dan Jambi.

Di Palembang masih bisa ditemukan alat cap atau stempel kuno berbahan kayu.  Belakangan bahan stempel dari kayu itu digantikan dengan stempel atau alat cap yang dibuat dari tembaga.

Dengan kehadiran teknik cap ini, batik pun digolongkan menjadi dua jenis. Yang dibuat dengan menggunakan canting disebut sebagai batik tulis, sementara yang menggunakan stempel disebut sebagai batik cap.

Namun, baik yang ditulis maupun yang distempel, keduanya tetap menggunakan lilin atau malam. Pada masa dulu, lilin itu dibuat dari bahan yang ada di sarang lebah; dari lemak hewan, atau; dari minyak nabati. Belakangan, bahan lilin yang digunakan umumnya berasal dari bagian minyak Bumi.

Fungsi malam atau lilin untuk menutupi (menemboki) motif yang telah dibuat. Karena motif itu beragam dan rumit, malam atau lilin pun oleh masyarakat Jawa dibuat bermacam jenis menurut fungsinya.

Pada gilirannya, adanya bermacam jenis lilin inilah yang membedakan batik yang dibuat orang Indonesia dengan bangsa lain. Setidaknya ada tiga jenis malam yang digunakan untuk membatik oleh masyarakat Jawa, yakni malam tembokan atau popokan; malam klowong, dan; malam tutupan atau biron.

Karena itu, wajar dan sudah sepatutnya pula bila United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organisation (UNESCO) pada 2 Oktober 2009 lampau menetapkan batik sebagai bagian dari Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) dari Indonesia. Tanggal 2 Oktober kemudian ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia sebagai Hari Batik Nasional, sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2009.PADA awalnya, menurut sejarawan Prof. Dr. Taufik Abdullah dalam pengantar buku Mbak Mase: Pengusaha Batik di Laweyan Solo Abad 20 yang ditulis oleh Soedarmono, batik di Jawa berkembang di tengah rakyat kebanyakan, di luar keraton. Batik baru ditekuni kalangan bangsawan keraton setelah keraton di Jawa mengalami krisis kekuasaan politik dan ekonomi, karena dominasi Perkumpulan Dagang Hindia Belanda (VOC).

Keraton dipaksa menjadi kekuatan kultural yang bercorak agraris, yang telah semakin terputus dari dinamika pasar dan pemikiran keagamaan. “Inilah zaman ketika Jawa mengalami apa yang disebut oleh seorang ilmuwan Belanda sebagai ‘periode Bizantium’, ketika perhatian utama keraton tertuju pada penghalusan kebudayaan, cultural refinement, bukan lagi pada kegairahan politik dan ekonomi,” tulis Taufik Abdullah.

Dalam sebuah seminar pada rangkaian acara Festival Batik Nusantara di Solo, Jawa Tengah, Juli 2007 silam, pakar kebudayaan Jawa dari Institut Seni Indonesia-Solo, Dr. Dharsono, juga mengungkapkan hal yang sama. Ia mengatakan, pada masa itulah—terutama setelah Mataram dibagi menjadi dua kerajaan, Surakarta dan Yogyakarta (1755), dan setelah Perang Diponegoro—batik “mulai” masuk keraton.

“Jadi, batik itu muncul dari kalangan rakyat dan saudagar batik dulu, baru ke keraton. Namun, kemudian, pada abad ke-18, sekitar tahun 1769, susuhunan di Surakarta mengeluarkan suatu keputusan formal, pranatan, yang melarang pemakaian batik bercorak jilamprang oleh siapa pun kecuali oleh susuhunan sendiri dan putra-putrinya. Dan, di Yogyakarta, pada tahun 1785, Sultan Yogyakarta mencanangkan pola parang rusak bagi keperluannya pribadi. Kemudian, pada tahun 1792 dan 1798, lewat pejabat keraton dikeluarkan pembatasan-pembatasan selanjutnya atas pola-pola yang dipakai untuk keperluan tertentu di lingkungan keraton, yaitu menunjuk beberapa corak,” kata Dharsono pada seminar tersebut. [Amy D. Wirabudi, Pemerhati Wastra dan Fashion]