Koran Sulindo—Menteri Keuangan (Menkeu)Sri Mulyani mengatakan, biaya pengujian Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) hingga penerbitan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) mulai Januari 2017 dinaikkan. Kenaikan tersebut berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif Atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tertanggal 6 Desember 2016.
Menkeu mengakui, sebelum pengambilan keputusan ada proses panjang yang ditempuh.
“Usulan tarif datang dari Kementerian/Lembaga (K/L) yang dalam hal ini adalah Polri. Selanjutnya dari internal Kemenkeu akan membahas segala unsur pembentuk tarif tersebut, sampai dengan dampak yang bisa ditimbulkan,” ujar Sri Mulyani usai Sidang Kabinet Paripurna di Istana Bogor, Bogor, Rabu (4/1/2017).
Menkeu menjelaskan, K/L biasanya menyampaikan usulan dalam hal ini Polri. Apa yang dianggap sebagai tarif yang wajar atau tidak. Bahkan beberapa kali rapat diselenggarakan oleh Kemenkeu dan Polri.
“Kita lihat apakah justifikasinya sesuai atau tidak. Kemudian kita membuat keputusan. Saya yang tandatangan,” ujar mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.
Menkeu melanjutkan, kenaikan tarif pada komponen PNBP memang disesuaikan dengan pelayanan yang diberikan oleh Kementerian/Lembaga terkait. Ada komitmen peningkatan pelayanan yang diberikan sehingga bisa menjadi pertimbangan kenaikan tarif.
“Kalau pelayanan lebih baik, dari sisi investasi teknologi, bisnis proses, ketertiban itu semua menjadi alasan bahwa tarif bisa disesuaikan,” ujar Sri Mulyani.
Perlu Sosialisasi
Terpisah, Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Mulfachri Harahap mengkritisi pernyataan Kapolri Jenderal Tito Karnavian tentang tujuan kenaikan biaya pengurusan STNK dan BPKB hingga tiga kali lipat. Kapolri beranggapan hal itu guna memberikan sistem pelayanan yang lebih baik. Menurut Mulfachri memberikan pelayanan optimal kepada masyarakat merupakan kewajiban Polri.
“Saya kira bukan soal jaminan kualitas pelayanan membaik dengan naiknya harga, tapi kewajiban sebagai polisi negara harus memberikan layanan optimal,” kata Mulfachri saat dihubungi wartawan, Rabu (4/1/2017).
Namun Mulfachri menilai wajar, jika kenaikan biaya pengurusan surat-surat kendaraan itu karena harga komponen keperluan pengurusannya seperti kertas dan tinta naik. Sejatinya, Polri perlu melakukan sosialisasi ke masyarakat tentang kenaikan biaya pengurusan STNK dan BPKB itu. Tujuannya, agar masyarakat tidak kaget ketika kebijakan itu diterapkan mulai 6 Januari nanti.
“Test water apakah masyarakat siap, sebelum diterapkan,” tuturnya.
Sementara Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian menegaskan bahwa kenaikan biaya tersebut bukan dari Polri. Akan tetapi, berdasarkan kebijakan dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
“Kenaikan ini bukan dari Polri, tolong dipahami. Kenaikan itu karena temuan BPK,” kata Tito di Rupatama Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (4/1/2017).
Tito menjelaskan, terkait temuan BPK, pertama BPK menyatakan bahwa harga material untuk STNK dan BPKB sudah naik dan sejak lima tahun lalu belum ada kenaikan. Kemudian, kata dia, bila dibandingkan negara lain, kenaikan biaya pengurusan STNK dan BPKB ini masih terbilang rendah.
“Sehingga perlu dinaikkan karena daya beli masyarakat juga meningkat. Ini kan bisa menambah penghasilan negara,” katanya.
Seperti diketahui, selama ini tidak sedikit pelat-pelat nomor kendaraan yang hanya dengan satu, dua, dan tiga digit nomor sampai ada tidaknya huruf di belakang nomor. Sehingga, per Januari ini akan ditertibkan dengan biaya pembuatan, misalnya NRKB satu angka dengan huruf di belakang Rp 15 juta, sedangkan yang tanpa huruf di belakang dikenakan biaya pembuatan Rp 20 juta.
“Penghasilan negara bukan pajak ini akan digunakan untuk membayar harga kenaikan bahan menutupi harga kenaikan bahan dan untuk memberikan pelayanan sistem yang lebih baik yaitu sistem online. SIM, STNK, dan BPKB online jadi orang tidak perlu pulang kampung ini bisa menghemat,” ujarnya.
Belum Tepat
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menyebut kenaikan pengurusan STNK dan BPKP belum tepat. Terlebih, pemerintah melalui PP Nomor 60 Tahun 2016 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak telah menaikkan tarif beberapa produk pelayanan di sektor kepolisian, seperti STNK, BPKB, dan sebagainya.
Menurutnya, STNK dan BPKB bukan produk jasa komersial, tetapi pelayanan publik yang harus disediakan birokrasi. Alasan inflasi akan tepat jika produk tersebut merupakan produk ekonomi komersial yang berbasis cost production dan benefit. “Atau setidaknya produk yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN),” ujarnya.
Tulus melanjutkan, kenaikan tarif tersebut kurang relevan tanpa proses reformasi di sisi pelayanannya. Sebab, sampai detik ini, proses pelayanan penerbitan STNK dan BPKB masih sering dikeluhkan publik karena waktunya yang lama. Bahkan, alasan stok blankonya masih kosong, sehingga diharapkan harus ada jaminan untuk meningkatkan pelayanan ke depannya.
Menurut dia, kenaikan ini seharusnya paralel dengan reformasi pelayanan angkutan umum di seluruh Indonesia. “Ini dengan asumsi jika kenaikan itu sebagai bentuk pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan mendorong migrasi ke angkutan umum,” ujarnya. (CHA)