Ilustrasi: Kapal Hai Fa yang melakukan penangkapan ikan ilegal ternyata telah keluar dari perairan Indonesia tanpa izin/Setkab.go.id

Koran Sulindo – Satuan Tugas 115 IUU Fishing mengumumkan tiga orang tersangka dalam kasus kejahatan perikanan di Ambon, Maluku.

Menteri Kelautan dan Perikanan sekaligus Komandan Satgas 115 IUU Fishing, Susi Pudjiastuti, mengatakan ketiga tersangka tersebut adalah AA yang menjabat Direktur PT BIP, THW Direktur PT TMN, dan H Direktur PT JM.

Ketiganya terlibat dalam kasus penggunaan tenaga kerja asing tanpa izin dari Pemerintah Indonesia.

“Penetapan status tersangka itu dilakukan berdasarkan pengembangan kasus tindak pidana perikanan yang terjadi di Ambon, Agustus 2016,” kata Susi.

Dari hasil penyelidikan di lapangan, ketiga perusahaan yang dipimpin ketiga tersangka di atas, terbukti telah mempekerjakan sebanyak 1.055 pekerja asing yang tidak berizin resmi tenaga kerja asing (TKA). Mereka bekerja untuk 46 kapal perikanan eks-Thailand.

Akibat aktivitas ilegal itu negara diperkirakan menelan kerugian hingga miliaran rupiah. Jumlah perkiraan itu muncul, karena 1.055 pekerja asing tersebut tidak mengikuti aturan sesuai dengan lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2012 tentang PNBP yang berlaku pada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

“Sesuai dengan peraturan tersebut, perusahaan pengguna tenaga kerja asing wajib membayar PNBP setiap bulannya yang besarnya mencapai USD100,” katanya.

Selain itu, sesuai peraturan di atas, perusahaan seharusnya berkewajiban memiliki program pendampingan tenaga kerja asing untuk terciptanya proses alih teknologi. Dengan demikian, ke depannya pembatasan jangka waktu kerja tenaga kerja asing bisa dilaksanakan.

Karena terbukti melakukan tindak pidana perikanan, ketiga tersangka diancam kurungan penjara minimal setahun dan maksimal 4 (empat) tahun dengan denda minimal Rp100 juta dan maksimal Rp400 juta. Ancaman tersebut sesuai pasal 185 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Avona di Papua Barat

Selain di Maluku, tindak pidana perikanan juga terjadi di Kabupaten Kaimana, Provinsi Papua Barat. Di Kaimana, kejahatan perikanan dilakukan oleh perusahaan Avona yang mengoperasikan kapal asal Tiongkok dengan tonase raksasa MV Hai Fa. Kapal tersebut saat ini sudah tidak ada, karena dinyatakan sudah melarikan diri kembali ke negeri asalnya di Tiongkok.

Insiden tersebut, bagi Susi, sudah mencoreng kedaulatan Indonesia di mata internasional. Karena itu, Satgas 115 langsung mengurus kasus tersebut.

Pada pekan ini sudah ditetapkan tersangka kepada MS, Syahbandar Kaimana yang sudah menerbitkan surat izin operasi.

“Selain MS, kita juga sudah tetapkan tersangka kepada AM yang tidak lain adalah pemohon penerbitan izin,” katanya.

MS ditetapkan menjadi tersangka karena memalsukan dokumen atau surat berupa Gross Akta balik nama kapal milik PT AML. Dalam proses tersebut, AM berperan menjadi pemohon penerbitan izin yang kemudian akan memberikan bantuan berupa sarana.

Saat ini, Satgas 115 sudah mengumpulkan barang bukti berupa 15 unit kapal milik PT AML, 15 bendel dokumen kapal, Gros Akta kapal, dan minut akta.

Selain terlibat dalam kasus pemalsuan dokumen dan pelanggaran aturan pelayaran, PT AML juga terlibat dalam kejahatan karantina dan atau perikanan. Untuk kasus tersebut, Satgas 115 telah menetapkan pimpinan PT AML Cabang Kaimana, M sebagai tersangka. M adalah penanggungjawab PT AML di Avona.

“Saudara M ditetapkan menjadi tersangka karena setiap media pembawa ikan wajib dilengkapi dengan Sertifikat Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Paasar 31 Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan,” kata Susi. [Mongabai.co.id/KKP/DAS]