Koran Sulindo – Seni itu berhubungan dengan hal psikologis. Jadi yang berkaitan dengan penciptaan karya seni itu berarti kita bicara tentang psikologi penciptanya. Artinya, penciptaan seni rupa itu berkaitan dengan psikologi bentuk, warna, garis, kekuatan imajiner, kecerdasan dasar, kekuatan intuitif itu tergambar. Komposisi juga berada pada situasi hati, perasaan, maupun kondisi yang melingkupi perupa.
Itulah pendapat Astuti Kusumo, sosok perempuan yang terjun sebagai perupa secara otodidak, tanpa pernah mengenyam pendidikan formal tentang seni rupa di ISI atau UNY, misalnya. Toh demikian, jiwa seni yang mengalir di tubuhnya itu sudah ada saat ia masih di kandungan ibunya. Ayahnya, KRT Kastur Cokronegoro fasih memainkan instrumen gamelan, sementara ibunya, R.Ngt. Widiastuti adalah guru gambar di SMP 9 Yogya.
Tak heran bila ketika Astuti masih duduk di Sekolah Dasar, setiap kali ada lomba menggambar atau melukis untuk anak-anak, Astuti kecil relatif cukup sering menyabet gelar juara. Pada lomba menggambar Sirkit Piala Affandi yang diadakan di tiga kota yaitu Jogja, Solo dan Surabaya misalnya, Astuti meraih juara II. Berikutnya, lomba melukis pada rangkaian HUT Dewi Sartika, kembali Astuti meraih jenjang tertinggi, juara I. Tercatat karyanya pernah mengikuti kompetitisi pameran keliling Asia. Bahkan karyanya pernah membuatnya meraih silver medal dalam rangka Children Art Competition di Shankar India.
Toh punya segudang prestasi berkat bakat melukis, namun Astuti tak pernah untuk masuk ke sekolah seni seperti SMSR atau masuk ISI. Ia justru selepas SMA melanjutkan kuliah di UPN dan mengambil jurusan Ekonomi, yang pada akhirnya membawa dirinya kerja di sebuah bank swasta dengan kedudukan sebagai manajer.
Bekerja di bank, ternyata tak membuat Astuti tenteram, karena kata hatinya selalu berbisik untuk terus melukis. Maka ia rela meninggalkan pekerjaannya sebagai manajer. Ia pun kembali melukis. “Tapi karena saya harus menghidupi anak, saya kemudian membuka warung bakmi di jalan Wonosari. Warung itu sekaligus untuk men-display lukisan-lukisan saya,” ujar Astuti yang kini single parent ini.
Warung bakmi ‘Yu Genuk’ ini juga tak bertahan lama. Astuti kemudian ‘berkelana’ di dunia seni rupa. Ia banyak bergaul dengan para seniman, berdiskusi dan mendengarkan secara seksama ketika ada perbincangan tentang dunia seni rupa, sering menghadiri pameran lukisan. Di situlah ia menyerap pengetahuan-pengetahuan tentang seni rupa.
Agaknya inilah yang membawa Astuti menjadi mantap terjun sebagai perupa, terlebih ia sudah punya bakat. Maka mulailah ia turut berpameran ketika ada teman perupa yang mengajaknya pameran bersama. Rasa percaya dirinya yang semakin besar inilah yang kemudian Astuti melangkah untuk menggelar pameran tunggal di Bentara Budaya Yogya (BBY), bertepatan dengan peringatan Hari Kartini 21 April hingga 28 April 2017. Dalam pamerannya yang dibuka oleh Gusti Kanjeng Bendoro Raden Ayu Adipati Paku Alam, banyak pula dihadiri oleh seniman-seniman ternama di Yogya. Ada Djoko Pekik, Klowor, Djaduk Ferianto, misalnya. Hadir pula budayawan Sindhunata.
“Seratan Luru Raos”, demikian tema pameran lukisan tunggal yang diangkat oleh Astuti. Dijelaskan Astuti bahwa luru, secara etimologi berarti memburu. Tetapi dalam bahasa Jawa, kontekstual menjadi belajar atau memburu ilmu. Jika dijadikan secara diglosif maka arti pada bahasa pustakanya hampir sama dengan kata ngudi. Namun kata “ngudi” agak kurang dinamis jika dibandingkan dengan luru. Sedangkan Raos dalam bahasa Jawa lebih dalam dari sekedar kata “rasa”. “Raos itu merasakan dengan atma. Jadi tidak sekedar merasakan indera, tetapi juga secara empati,” ujar Astuti.
Menurut pengakuannya, kehidupan dengan perjalanan pahit getir yang ia rasakan ternyata banyak memberikan dan melahirkan kepekaan bathin, imajinasi, perenungan dan ide-ide dalam berkarya yang kesemuanya memang diharapkan sebagai titik tertinggi dari raos terhadap diri sendiri, juga raos terhadap proses maupun produk sosial yang saat ini selalu bergejolak.
Melalui raosku, Astuti ingin membaca dunia sosial melalui nilai-nilai luhur dan tradisi. Ia mencoba membaca sosok wanita melalui raos dengan keindahan dan semangat juangnya seperti gunung-gunung yang merupakan angannya, yaitu tercapainya titik yang tertinggi, juga sebagai instrumen dalam rangka mengintropeksi diri. Dalam hal ini gunung ibarat hati, ketinggian gunung tak ada yang bisa menandingi. “Di kala Sang Ego sedang melanda manusia, seperti kemarahan luapan emosi atau apapun bentuk perilaku negatif, akan menghancurkan manusia itu sendiri,” ungkapnya.
Lebih lanjut Astuti mengungkapkan, beberapa makhluk adalah jiwanya, juga raosku sendiri yang kadang tidak stabil, kadang juga belum pernah dijumpai. Warna kesempurnaan pun sedang dicari melalui instrumen raosku. Aku, tegas Astuti, tetap luru raos lewat kawruh dan luru kawruh tentang dunia melalui raosku. Saat kutemui sosok wanita, yaitu ibuku, menurut Astuti, kucoba raosku membaca raos ibu karena aku pun juga seorang ibu yang harus memberi raos kepada anak-anakku.
“Dan dengan lukisan ini pula ingin kubeberkan raos: raos angan, raos sedih, raos gembira maupun raos kegelisahan. Semoga raosku bisa kubaca sendiri sebagai refleksi atas hidupku. Kucoba juga temui Gusti melalui raos. Mudah-mudahan momentum 21 April ini, menjadi tonggak penting berbagi pengalaman dalam berproses dengan ketekunan dan keteguhan,” tuturnya.
Sementara itu, Kuss Indarto selaku kurator menjelaskan, ada sekian banyak karya yang membopong tema perihal perempuan dengan upaya kemandirian dan kekuatannya untuk tidak menjadi subordinat laki-laki. Sebut misalnya karya bertajuk “Bring the Spirit” yang sebagian besar bernuansa biru. Di tengah dominasi biru itu Astuti sengaja menorehkan warna yang berbeda, yakni warna cerah, pada sesosok perempuan tengah menunggang kuda. Ada citra heroisme di sana: perempuan di atas kuda tengah bersiap menghela busur untuk melepaskan anak panah menuju sasaran. Bangunan narasi heroik ini terasa kuat karena di sekeliling perempuan tersebut ada sekian banyak citra manusia yang tampak gelap dan dalam berbagai posisi serta ekspresi terpinggirkan. Mereka, sosok-sosok tersebut, seperti menengadahkan kepala, menatap nanar, dan menanamkan banyak harapan pada srikandi yang tengah memanah itu.
“Apakah itu gambaran obsesif dari senimannya yang sekarang ini (selama bertahun-tahun) menjadi single parent, harus mandiri dari ketergantungan pihak lain, dan ada sekian banyak kepala menaruh harapan pada pencapaiannya? Bisa jadi,” kata Kuss.
Lebih lanjut Kuss juga mengatakan, Astuti yang mengkreasi banyak karya berwujud gunung ini pantas untuk diapresiasi lebih jauh. Setidaknya, menurut Kuss, ada sepuluhan karya lukis Astuti Kusumo yang menggambarkan gunung. Bagi orang Jawa seperti Astuti, citra gunung memiliki makna yang mendalam,” tuturnya.
Kuss kemudian memberikan contoh, Kerajaan Mataram Hindhu dulu hidup di sekitar gunung Merapi, membangun peradaban dan kebudayaannya bersama gunung. Ketika terdesak, mereka lari ke arah timur, dan lalu berdiam di kawasan pegunungan Tenggerlah. Atau sebagian lagi berpindah ke pulau Bali dan menjadikan gunung Agung sebagai bagian penting dari perikehidupan spiritualnya. Demikian pula dengan kerajaan Mataram Islam, posisi gunung Merapi menduduki garis penting dalam laku spiritual para pendirinya, dan diyakini sebagai satu kesatuan alam yang tak bisa diceraikan sebagaimana posisi laut atau segara kidul di sisi selatan. [YUK]