Inggit Garnasih dan Sukarno.
Inggit Garnasih dan Sukarno.

Koran Sulindo – Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, sering kali perhatian hanya tertuju pada para tokoh utama yang tampak di garis depan. Namun, di balik setiap pahlawan, ada sosok pendukung yang memainkan peran penting, meski jarang disebut.

Salah satu tokoh yang keberadaannya mendampingi dan menguatkan perjuangan Bung Karno adalah Inggit Garnasih, istri pertamanya. Sosok Inggit bukan sekadar pendamping; ia adalah perempuan kuat yang siap menghadapi segala tantangan demi mendukung perjuangan sang proklamator.

Kisah hidupnya penuh dengan pengorbanan dan loyalitas terhadap bangsa, membuatnya layak dikenang sebagai salah satu “Srikandi Indonesia.” Artikel ini akan mengungkap lebih jauh tentang peran dan dedikasi Inggit Garnasih dalam perjuangan Sukarno dan kemerdekaan Indonesia.

Inggit Garnasih merupakan salah satu tokoh perempuan Indonesia yang memiliki peran besar dalam pergerakan nasional, meskipun kisahnya sering terabaikan dalam sejarah.

Sebagai istri pertama Sukarno, ia bukan hanya seorang pendamping, tetapi juga menjadi kekuatan di belakang layar yang mendukung perjuangan sang proklamator. Lahir di Desa Kamasan, Banjaran, Bandung, Jawa Barat pada 17 Februari 1888, Inggit bukan berasal dari keluarga aristokrat, melainkan anak dari seorang petani sederhana bernama Ardjipan dan Amsi.

Meski hanya menempuh pendidikan setingkat Madrasah Ibtidaiyah, kecerdasan dan ketekunannya membuatnya mampu memahami lingkungan pergerakan dan menjadi pendukung setia bagi Sukarno.

Melansir laman kemdikbud, nama asli Inggit adalah Garnasih, singkatan dari “Hegar” yang berarti segar dan “Asih” yang berarti kasih sayang. Panggilan Inggit berasal dari julukan para pemuda yang menganggap senyumnya ibarat uang seringgit, yang saat itu bernilai tinggi.

Meski pernikahan pertamanya pada tahun 1900 dengan seorang Kopral Residen Belanda, yaitu Nata Atmadja berakhir dengan perceraian pada 1904, Inggit kemudian menikah dengan H. Sanusi pada tahun 1916, seorang saudagar kaya sekaligus tokoh Sarekat Islam (SI) Bandung. Di sinilah Inggit mulai terlibat dalam arus pergerakan, terutama sebagai penanggung jawab dapur umum bagi para pemuda pergerakan nasional.

Pendamping Setia di Masa Perjuangan

Pada tahun 1921, kehidupan Inggit berubah ketika Sukarno, yang saat itu masih seorang mahasiswa THS (sekarang ITB), tinggal di rumahnya. Sukarno, yang kemudian bercerai dari Siti Oetari, tertarik pada Inggit, dan pada 1923, keduanya menikah.

Inggit yang berusia 35 tahun saat itu, rela meninggalkan H. Sanusi untuk mendampingi Sukarno yang dipandangnya akan membawa perubahan besar bagi bangsa. Sebagai istri Sukarno, Inggit berperan besar dalam mendukung kegiatan politik suaminya, baik dengan menjadi penerjemah bahasa Sunda saat Sukarno berpidato maupun dengan menyelipkan uang sebagai bekal perjalanannya.

Inggit bukan sekadar pendamping, ia adalah “Srikandi Indonesia,” julukan yang Sukarno sematkan padanya di Kongres Indonesia Raya tahun 1931. Sukarno menyadari dan mengapresiasi keteguhan hati Inggit yang setia dalam suka dan duka.

Peneliti Solichin Salam menggambarkan Inggit sebagai “kamerad” sejati, seorang teman seperjuangan yang loyal sekaligus ibu yang penuh kasih.

Tahan Banting di Masa Pengasingan

Selama 20 tahun mendampingi Sukarno, Inggit kerap menghadapi situasi sulit, terutama ketika Sukarno dipenjara dan diasingkan oleh pemerintah kolonial. Inggit memenuhi kebutuhan hidupnya dengan berjualan bedak, lulur, rokok lintingan, dan bahkan menjadi agen sabun, cangkul, serta parang.

Ketika Sukarno dipenjara di Sukamiskin, Inggit bahkan rela berjalan kaki ke penjara untuk mengirimkan bekal dan pesan terselubung melalui makanan atau tanda di Al-Quran.

Inggit setia mendampingi Sukarno saat diasingkan di Ende pada 1934-1938 dan kemudian di Bengkulu hingga 1942. Di sana, Inggit terus bekerja keras untuk menyokong kebutuhan hidupnya dan Sukarno.

Namun, pada 1942, Sukarno meminta izin untuk menikahi Fatmawati. Inggit, yang tidak menyetujui permintaan tersebut, memilih berpisah dan kembali ke Bandung.

Akhir Hidup dan Penghormatan Terakhir

Inggit Garnasih meninggal pada 13 April 1984 dalam usia 96 tahun di Bandung. Kisah hidupnya yang penuh keteguhan, kesederhanaan, dan ketulusan telah menginspirasi banyak orang.

Ramadhan Karta Hadimadja dalam novelnya, Soekarno: Kuantar ke Gerbang, menggambarkan Inggit sebagai perempuan tangguh di balik kesuksesan Sukarno. Kisah hidup Inggit Garnasih adalah teladan dari keteguhan, pengorbanan, dan cinta kepada tanah air yang tulus.

Meski berada di balik layar, perannya dalam mendampingi Sukarno dan mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia tak tergantikan. Dedikasinya yang tanpa pamrih menginspirasi kita bahwa perjuangan bukan hanya soal berani tampil di depan, tetapi juga tentang kekuatan hati yang setia di samping, menguatkan di setiap langkah. Inggit Garnasih bukan sekadar istri seorang pemimpin; ia adalah Srikandi sejati yang pantas dikenang sebagai pahlawan dalam sejarah kemerdekaan bangsa ini. [UN]