Korang Sulindo – Untuk menjamin ketersediaan pasokan gas bagi dunia industri di dalam negeri, pemerintah akhirnya mengizinkan industri langsung melakukan impor gas. Langkah ini juga sekaligus untuk mendongkrak daya saing industri Tanah Air di era kompetisi global.
Demikian dikatakan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto seusai rapat terbatas tentang harga gas untuk industri yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Kantor Presiden Jakarta, Selasa (25/1). “Sudah diizinkan untuk dilakukan impor gas. Ya nanti akan dibahas bagaimana mekanismenya,” tutur Airlangga.
Dalam rapat terbatas tersebut, lanjutnya, dibahas terutama mengenai regulasi impor gas bagi sektor-sektor tertentu yang diperbolehkan melakukan impor gas secara langsung.”Tergantung nanti sektor apa yang diberikan, apakah ini sektor atau perwilayahan, nanti akan dibahas,” kata Airlangga lagi.
Ditambahkan Airlangga, dari beberapa sektor yang belum terakomodasi harga gas baru tiga yang sudah diizinkan untuk melakukan impor gas, yakni industri baja, petrokimia, dan pupuk. “Sekarang ini sektornya yang baru diberikan adalah baja, petrokimia, dan pupuk. Ini kan karena menggunakan formula, maka masing-masing harus detail, perusahaan per perusahaan. Nah, ini yang harus ditindaklanjuti, perusahaan per perusahaannya,” ujarnya.
Tahun lalu, sewaktu menjadi Pelaksana Tugas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Luhut Binsar Panjaitan mengatakan harga harga gas di Indonesia lebih mahal dibandingkan dengan di negara-negara tetangga seperti Singapura. Padahal, Singapura impor gas dari Indonesia.
Presiden pun telah menerbitkan Perpres Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi agar harga gas di dalam negeri bisa ditekan di bawah US$ 6 per million metric british thermal unit (MMbtu). Namun, menurut ekonom Faisal Basri dalam blog-nya pada 2 September 2016 lampau, perpres itu menimbulkan banyak masalah baru.
Dalam pandangan Faisal Basri, permasalahan harga gas itu disebabkan banyaknya pemburu rente gas atau trader bermodal kertas. Faisal memperkirakan ada 60 trader gas atau calo gas yang berbisnis tanpa memiliki infrastruktur gas bumi. “Bertahun-tahun praktik bisnis gas tidak sehat tanpa penyelesaian yang menohok ke akar masalah. Salah satu akar masalah utama adalah bisnis gas dijadikan bancakan oleh para pemburu rente,” tulis Faisal.
Ia juga menduga mahalnya harga gas di Indonesia karena perusahaan pemasok gas tak langsung menjual ke pembeli utama. Ipernah terjadi di anak usaha Pertamina, PT Pertamina Gas (Pertagas). Dalam laporan BPH Migas tahun 2014, Pertagas hanya menjual langsung gas ke dua pengguna akhir, yaitu PT Pupuk Sriwijaya (Persero) dan pabrik keramik PT Arwana AK. Sisanya dijual kepada 19 trader. “Contoh gamblang yang membuat harga gas sangat mahal adalah yang dialami oleh pengguna akhir PT Torabika. Gas yang dibeli oleh PT Torabika berasal dari sumber gas Bekasi. Trader pertama memasok ke trader kedua dengan harga US$ 9 per MMBtu,” kata Faisal Basri.
Kemudian, trader kedua mengalirkan gasnya ke trader ketiga seharga US$ 11,75 per MMBtu, dengan menggunakan pipa open access 24 inchi milik Pertagas, dengan toll fee sebesar US$ 0,22 per MMBtu. Dengan demikian, trader kedua memperoleh margin US$ 2,53 per MMBtu tanpa bersusah-payah membangun infrastruktur pipa.
Trader ketiga lalu menyalurkan gas ke trader keempat dengan harga US$ 12,25 per MMBtu. Dengan demikian, trader ketiga memperoleh margin US$ 0,5 per MMBtu. Trader keempat kemudian langsung mengirimkan gasnya ke PT Torabika dengan harga US$ 14,50 per MMBtu. Trader keempat pun sudah untung US$ 2,25 per MMBtu.
Jadi, harga dari trader pertama sampai ke pembeli akhir terkerek dari US$ 9 per MMBtu menjadi US$ 14,5 per MMbtu atau menggelembung sebesar US$ 5,5 per MMBtu. “Alangkah baiknya pemerintah menertibkan praktik bisnis gas yang amat tidak sehat sebelum mendirikan holding migas. Kalau dipaksakan, sangat boleh jadi praktik pemburuan rente bakal melebar dan membesar. Perusahaan yang betul-betul sehat akan terseret menjadi obyek bancakan baru,” tulis Faisal.
Adakah kebijakan impor langsung itu bagian dari penertiban bisnis gas di Tanah Air? Lalu bagaimana dengan nasib industri gas di Tanah Air? Selain itu, apakah kebijakan tersebut tidak akan menurunkan minat investasi dalam industri gas? [RAF]