Indonesia Sesak Napas

Koran Sulindo – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mencoba meniupkan angin segar. Dalam rapat kerja dengan anggota Komisi XI DPR di Gedung DPR, Jakarta, 25 Agustus 2016 lalu, ia mengatakan Indonesia tidak sedang mengalami krisis ekonomi. Karena, ekonomi Indonesia masih tumbuh kurang-lebih 5%, walaumemang melambat dari tahun-tahun sebelumnya.

“Lima persen masih bagus untuk kondisi sekarang,” ungkap Sri Mulyani. Namun, tambahnya, memang ada beberapa sektor yang perlu mendapatkan perhatian khusus, antara lain sektor pertambangan dan perkebunan, yang mengalami kontraksi cukup signifikan.”Kita akui, itu kronis yang bisa menimbulkan krisis kepercayaan, makanya kita harus adjust,” katanya.

Itulah soalnya: krisis kepercayaan! Pernyataan dan optimisme Sri Mulyani itu bisa saja dianggap angin lalu, bukan angin segar, kalau banyak warga masyarakat dalam realitas keseharian kesulitan menggapai harga-harga kebutuhan hidup yang terus naik, sementara daya beli terus merosot dan mungkin akan terus merosot dalam beberapa bulan ke depan. Misalnya karena dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/PMK.07/2016 tentang Penundaan Penyaluran Sebagian Dana Alokasi Umum Tahun Anggaran 2016, yang diteken Sri Mulyani pada 16 Agustus 2016.

Penyaluran Dana Alokasi Umum (DAU) yang ditunda pada tahun ini mencapai Rp19,4 triliun, yang mencakup 169 pemerintah daerah. Padahal, banyak pemerintah daerah yang menggunakan DAU untuk pembayaran gaji aparatnya. Lalu, pemerintah juga akan mencukur dana transfer ke daerah (dana perimbangan) sebesar Rp 70,13 triliundan dana desa sebesar sebesar Rp 2,81 triliun.

Sementara itu, dari “dunia atas” dikabarkan utang luar negeri Indonesia pada akhir kuartal II 2016 tercatat sebesar US$ 323,8 miliar atau Rp 4.273 triliun (dengan estimasi kurs Rp 13.197 per US$ 1). Utang luar negeri Indonesia ini meningkat 6,2% secara tahunan (year on year).

Begitu pula dengan debt service ratio(DSR)pada kuartal II 2016. Menurut data Bank Indonesia, rasio utang luar negeri Indonesia terhadap produk domestik bruto pada akhir kuartal II 2016 tercatat 36,8%, sementara pada akhir kuartal I 2016 sebesar 36,6%, walau memang batas aman DSR yang dipatok Bank Indonesia adalah 51,1%.

Wajar jika pemerintah berutang. Sekarang ini hampir tak ada negara yang tak memiliki utang. Yang penting, utang pemerintah dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan produktif serta demi membuat bangsa dan negara lebih sejahtera. Juga asalkan pendapatan negara terus meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun.

Masalahnya, sampai akhir semester pertama 2016, realisasi pendapatan negara dan hibah hanya mencapai Rp634,7 triliun atau sebesar 35,5% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) Tahun Anggaran 2016 yang sebesar Rp1.786,2 triliun. Akan halnya realisasi belanja negara mencapai Rp865,4 triliun atau sebesar 41,5% dari pagu APBNP Tahun 2016 yang sebesar Rp2.082,9 triliun. Berdasarkan realisasi pendapatan dan belanja negara tersebut, realisasi defisit APBN mencapai sebesar Rp230,7 triliun atau 1,83 persen terhadap produk domestik bruto.

Realisasi pendapatan negara yang bersumber dari penerimaan perpajakan sampai dengan Juni 2016 mencapai sekitar Rp522,0 triliun, sedikit lebih rendah dibandingkan periode yang sama di 2015 yang mencapai sekitar Rp535,1 triliun.Begitu pula dengan realisasi pendapatan negara melalui penerimaan negara bukan pajak (PNBP), yang sampai Juni 2016 hanya Rp112,1 triliun, lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun 2015 yang mencapai sebesar Rp132,4 triliun.

Yang juga menjadi masalah adalah buruknya pengelolaan anggaran pemerintah. Ini terbukti dari opini Wajar dengan Pengecualian (WDP) yang diberikan Badan Pemeriksa Keuangan untuk Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2015. Opini tersebut mengindikasikan adanya potensi kebocoran yang relatif besar pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Belitan-belitan ekonomi itu saja sudah membuat Indonesia sesak napas. Padahal, masih banyak soal lain di luar ekonomi yang juga sangat memprihatinkan. Karena itu, pemerintah sebagai penyelenggara harus berkerja cerdas agar dapat menemukan “obat” yang tepat sekaligus meminimalkan datangnya “penyakit” baru, bukan sekadar berslogan “kerja, kerja, kerja” dan membangun optimisme berlebihan.[]