Ilustrasi

Koran Sulindo – Persis setahun lalu di Jakarta, dalam peluncuran buku ”Megawati Soekarno Putri, Menangis dan Tertawa bersama Rakyat”, saya berkesempatan bertemu muka dengan Mbak Mega dan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Ini kesempatan langka, karena saya tidak tinggal di Indonesia. Dan saat itu, posisi Ahok sedang panas-panasnya, masih spekulasi apakah dia akan digadang lagi oleh partai politik (PDIP) untuk nyalon gubernur.Tak kurang, PDIP gerah karena Ahok dianggap melakukan deparpolisasi dengan menerima dukungan Teman Ahok untuk menjadi calon independen.

Ahok mengundang saya dan teman-teman penulis buku untuk makan siang di Balai Kota. Tapi, sampai saya kembali ke Swedia, kesempatan itu tidak ada. Ahok sangat sibuk, bersamaan dengan ditangkapnya anggota DPRD Mohamad Sanusi oleh KPK dalam kasus reklamasi.

Tapi bukan itu yang ingin saya ceritakan. Saya teringat catatan kecil yang ditulis Mega untuk saya di bukunya. ”Meskipun jauh di mata selalu dekat di hati! Di manapun Anda berada, berjuanglah untuk INDONESIA RAYA tercinta!”

Saya termangu membaca tulisan tangan dari Putri Bung Karno itu. Indonesia Raya tidak hanya lagu kebangsaan, tapi juga slogan yang paling sering dilontarkan Ketua Umum PDIP, yang juga Presiden ke-5 RI ini. Dan hari-hari ini, hakekatnya menjadi begitu penting. ”Di manapun Anda berada, berjuanglah untuk Indonesia Raya tercinta.”

Saya kira itulah yang dilakukan begitu banyak warga Indonesia di seluruh belahan dunia, hari-hari ini. Mereka sedang memperjuangkan Indonesia Raya.  Dengan kesadaran masing-masing, mereka menolak pemecah-belahan warga bangsa atas nama SARA dan kepentingan politik golongan.

Jadi salah besar, jika ada orang yang percaya bahwa apa yang terjadi sekarang adalah tentang Ahok. Tidak! Ini adalah tentang bangsa (kita) yang sengaja dicabik-cabik untuk nafsu berkuasa.

Bahwa kesadaran dan perlawanan banyak anak bangsa saat ini diluar dugaan, saya kira ini berkah. Betapa hiruk-pikuk politik di dalam negeri mampu membangkitkan energi terpendam untuk bersuara.

Lagu-lagu kebangsaan dan perjuangan yang dulu hanya menjadi nyanyian wajib di sekolah-sekolah, kini mampu mengobarkan semangat banyak anak bangsa di dalam dan luar negeri. Pikiran saya sendiri tak mampu memahami apa yang terjadi ketika dalam perjalanan ke tempat kerja belum lama ini, saya memilih mematikan radio yang mengumandangkan lagu-lagu hits pop dan mendendangkan Indonesia Pusaka, Tanah Airku, dan Rayuan Pulau Kelapa. What’s wrong with me, ketika air mata membasahi pipi!

Saya yakin, tidak hanya saya, yang sesugukan mendengar lagu-lagu yang ”wajib” kita nyanyikan di upacara tiap Senin di jaman sekolah dulu. Ketika kami berdiskusi untuk menggalang aksi lilin, begitu banyak permintaan dari peserta untuk menyanyikan lagi ini dan itu. Dan dilakukan dengan spontan.

Semangat memperjuangkan Indonesia Raya yang kini tengah ditunjukkan WNI di berbagai kota di belahan dunia dan di dalam negeri, tak patut dikatakan sebagai rekayasa. Saya melihat dari dekat, bagaimana mereka mengelompokkan diri, bergotong-royong dan berinisiatif secara swasembada.

Dan fenomena mengharukan ini bukan karena kekecewaan atas kekalahan Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta lalu. Ini bukan soal the bad loser. Ahok dalam hiruk-pikuk ini hanya simbol nyata. Warga bangsa–yang kini bisa terhubung dan berkomunikasi begitu mudah—tidak lagi bisa melihat perlakuan semena-mena.

Kini lilin sudah menyala di berbagai pelosok tanah air dan dunia, tidak hanya Jakarta. Kita melihat mereka seperti jamur di musim hujan.

Kita hanya bisa berharap, energi positif yang ditunjukkan banyak orang akhir-akhir ini bisa menjadi penguat rasa kebangsaan kita. Di tengah-tengah menguatnya identitas keagamaan dan praktek intoleransi yang meraja-lela di dalam negeri, harapan kita bertumpu pada semakin banyaknya lilin yang dinyalakan untuk menerangi Indonesia sebagai bangsa ber-Bhineka Tunggal Ika. [Sen Tjiauw Gustafsson- Kontributor Koran Sulindo di Swedia]