Sulindomedia – Indonesia perlu mengembangkan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) untuk mencukupi kebutuhan energi masa depan. Mengingat data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyebutkan, cadangan minyak Indonesia akan habis dalam 12 tahun ke depan. Adapun cadangan batu bara proven hanya mampu bertahan hingga 22 tahun. Juga gas akan habis dalam 36 tahun mendatang.
Demikian diungkapkan Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional, Prof Dr Djarot S Wisnubroto, dalam peringatan Hari Pendidikan Tinggi Teknik Ke-70 di Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogya, Selasa (16/2/2016).
“Sulit bagi Indonesia untuk mencapai target 23 persen pada tahun 2025 apabila hanya mengandalkan pada energi terbarukan saja. Karenanya, perlu pengembangan PLTN guna mencukupi kebutuhan energi masa depan,” katanya.
Menurut Djarot, pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) tidak pernah beranjak dari apa yang dilakukan 10 tahun lalu. Diungkapkan, pemanfaatan tenaga air baru berkisar 10,10% dari sumber dayanya, panas bumi 4,8%, dan biomassa 3,3%. “Sedangkan surya, angin, dan samudra masih sangat kecil,” ujarnya.
Djarot lantas merujuk Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014, yang mencanangkan target 115 Gwe tahun 2025. Ini berarti, katanya, perlu pembangunan pembangkit rata-rata 6,2 Gwe per tahun.
Namun, melihat kemampuan PLN dan pihak swasta lain, Djarot memprediksi akan terdapat sekitar 26 persen kebutuhan yang tidak terpenuhi di tahun 2025. “Karena itu perlu mempertimbangkan pembangunan PLTN yang memiliki karakteristik berdaya besar 1.000-1.400 MW per unit,” tutur Djarot.
Diakui Djarot, terkait dengan pembangunan PLTN, masih adanya kesangsian dari sebagian masyarakat terhadap kemampuan Indonesia dalam mengelola teknologi yang berisiko. Namun, lanjut Djarot, jangan lupa, Indonesia selama 40 tahun telah memiliki infrastruktur yang memadai unuk membangun PLTN. Ini didukung pula dengan peraturan perundangan yang relatif memadai, adanya organisasi promosi-litbang Batan dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) yang independen serta sumber daya manusia yang memadai.
Djarot juga menegaskan, Indonesia lebih siap dibandingkan dengan Viet Nam, negara pertama yang akan punya PLTN di Asia Tenggara, yang mengkaji program nuklir sejak tahun 1995. Untuk mendukung pengembangan PLTN, Indonesia sekarang ini memiliki potensi uranium hingga 70 ribu ton di sejumlah wilayah, antara lain di Bangka-Belitung, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Barat.
Dijelaskan, uranium bersifat unik, yakni bisa dikatakan sebagai bahan bakar tidak habis pakai. Inilah yang menyebabkan negara yang mengoperasikan PLTN tidak menghasilkan sendiri uranium tetap bisa beroperasi. “Mereka tetap punya sisa uranium dan bahan nuklir baru plutonium,” katanya.
Dekan Fakultas Teknik UGM, Prof Ir Panut Mulyono, MEng, PhD mendorong pemerintah untuk mempercepat dan mempertimbangkan penggunaan energi nuklir untuk pembangkit listrik. Ini penting mengingat peningkatan kebutuhan energi nasional yang semakin besar seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi. “Selain itu, dapat mengurangi emisi karbon karena penggunaan energi nuklir tidak menghasilkan karbondioksida,” ungkapnya.
Sebelumnya, pada Kamis lalu (11/2/2016), di Gedung University Club Universitas Gadjah Mada diselenggarakan “Seminar Optimalisasi Alokasi Gas Keperluan Domestik untuk Pengembangan Industri Nasional’. Yang menjadi pembicara antara lain ekonom Hendri Saparini, PhD; anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Dr Tumiran, dan; Dirjen Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka Kementerian Perindustrian Ir Harjanto.
Dalam kesempatan itu, Harjanto mengatakan, kebutuhan gas bumi untuk keperluan industri akan terus meningkat. Namun saat ini neraca pemanfaatan gas bumi untuk kebutuhan industri di dalam negeri masih negatif. Padahal, pasokan gas bumi bisa diarahkan untuk industri petrokimia. “Produk turunan dari gas bumi perlu dikembangkan,” tuturnya.
Akan halnya Hendri Saparini mengungkapkan, pemerintah selalu menjadikan sumber energi sebagai komoditas komersial. Selalu dipandang dari sisi finansial. Namun, dari sisi ekonomi belum. Misalnya gas yang dihasilkan selama ini sekitar 40%-nya diekspor untuk menghasilkan devisa. “Padahal, gas bumi bisa dimanfaatkan sepenuhnya untuk pengembangan industri hulu yang akan memberikan manfaat ekonomi dan manfaat strategis,” ungkapnya.
Hal senada juga disampaikan Tumiran. Menurut dia, sumber daya energi yang kita punyai mestinya diolah. Dengan demikian ada proses nilai tambah, knowledge dan
skill. “Menjadikan minyak, batubara, dan gas bumi sebagai komoditas untuk hasilkan devisa bukanlah keputusan cerdas,” kata Tumiran. [YUK/PUR]