Bung Karno dan Megawati

Koran Sulindo – Saya mengenal Megawati Soekarnoputri atau Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri sejak kami masih kecil, masih murid sekolah dasar, sekitar tahun 1957. Kami satu sekolah, di Yayasan Perguruan Cikini, Jakarta.

Namun, karena saya adalah adik kelas, beda tiga kelas, sehingga perbedaan umur kami juga cukup jauh untuk ukuran pergaulan anak-anak pada masa itu, saya hanya pada waktu istirahat saja sering melihat dirinya. Megawati kecil sering bermain engklek gunung  dan juga main samse—sehimpun bunga yang diikat dan kemudian dimainkan dengan cara ditendang-tendang layaknya orang bermain sepak takraw.

Ingatan saya kepada Megawati pada masa sekolah itu berkisar pada kiprahnya sekitar tahun 1961. Ketika itu, ia mendaftar menjadi sukarelawati pembebasan Irian Barat dan berlatih baris-berbaris di lapangan basket sekolah kami. Ia masih remaja.

Seingat saya, ia sukarelawati pertama dan sebelumnya hanya ada para sukarelawan—yang pada saat akhir pendaftarannya mencapai 21 juta rakyat Indonesia yang mendaftar, sekitar 10 kali populasi kaum imperialis dan kolonialis Belanda saat itu.

Setelah ia lulus SMA, sayapun lulus SMP dan saya melanjutkan ke SMA Negeri 3 Teladan Jakarta. Sejak itu, kami tidak pernah bertemu lagi.

Kami baru bertemu lagi tahun 1997, saat hingar-bingar politik dan krisis moneter serta Orde Baru sudah diujung napasnya. Ketika itu, beliau telah menjadi Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Tahun 1999, saya bersama beliau menjadi anggota DPR-RI dari Fraksi PDI Perjuangan. Kami dan kader-kader PDI Perjuangan bahu-membahu untuk mendapatkan kursi Presiden Republik Indonesia. Sayangnya, seperti terekam dalam sejarah, kami“dikerjai” oleh Poros Tengah sehingga Megawati gagal menjadi presiden, walaupun PDI Perjuangan adalah pemenang pemilihan umum dan merupakan fraksi terbesar di parlemen, dengan jumlah mencapai kursi 34% dari keseluruhan anggota parlemen.

Itulah politik. Tapi, jujur saja, hampir seluruh rakyat Indonesia pada masa itu memuja Megawati. Dan, setelah melewati beberapa krisis, akhirnya  Megawati pun naik menjadi presiden, menggantikan posisi Abdurrahman Wahid,tahun 2002.

Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan mulailah beliau menjalankan roda pemerintahan sesuai ideologinya yang nasionalis, dengan politik luar negerinya yang bebas dan aktif, bersahabat dengan semua negara dan menentang penindasan. Misalnya, tatkala dunia Barat secara sepihak dan tidak seimbang mengerjai Presiden Irak Saddam Husein, Megawati termasuk tokoh yang tidak setuju dengan cara-cara tersebut—dan belakangan terbukti, baik Presiden Obama maupun Donald Trump juga tidak setuju dan menyalahkan Presiden George Bush atas kebijakan Amerika Serikat tersebut.

Ternyata sikap Megawati itu punya konsekuensi serius. Sejak saat itu mulailah direkayasa suatu opini untuk “membusukkan” Megawati. Masih jelas ingatan saya seperti apa media massa, baik media cetak maupun elektronik, mem-bully Megawati terus-menerus.

Dulu, sebagian besar orang Indonesia belum menguasai sistem komunikasi massa secara utuh. Tapi, sekarang kita tahu, semua itu direkayasa untuk membusukkan Megawati agar tidak terpilih lagi menjadi presiden.

Kenapa? Tentunya karena ada pihak-pihak yang berkepentingan agar Megawati tidak terpilih dan ideologi negara berubah, kembali seperti zaman Orde Baru, ketika kepentingan asing bisa bebas menggerogoti negara kita.

Rekayasa media dan pembentukan opini tersebut berhasil. Luar biasa memang. Padahal, sebelumnya, pada tahun 1987, tatkala Megawati berkampanye pada Ulang Tahun Ke-14 PDI, sepanjang jalan dari Pasuruan ke Probolinggo sepanjang kurang-lebih 40 kilometer, masyarakat berjejer penuh menyambut dirinya.

Saat kampanye Pemilu 1992, Megawati tanpa mengenal rasa takut akan tentara rezim Orde Baru membuat Jakarta menjadi metal atau merah total. Mereka mendukung PDI Promeg atau Pro-Megawati. Juga di Solo, Surabaya, dan berbagai daerah lain di Indonesia.

Yang lucu, hanya selang lima jam setelah pemilu langsung keluar pengumuman bahwa PDI kalah total. Memang luar biasa sistem “teknologi informatika” Orde Baru. Padahal, teknologi pada masa itu tak secanggih sekarang. Sistem survei belum dikenal, juga quick count belum ada. Hidup Orde Baru!

Kekalahan itu pun sempat diejek seorang jenderal. “PDI katanya metal, tahunya mental,” ujar jenderal itu dengan nada berkelakar. Begitulah kenyataannya

Tahun 2003, lagi-lagi serangan dunia maya menghantam. Megawati pun kalah dalam Pemilihan Presiden 2004 dari Susilo Bambang Yudhoyono—MenkoPolhukam yang dipecat Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur tapi kemudian diangkat kembali oleh Megawati ketika menjadi presiden. Padahal, ketika itu ditemukan data dan fakta yang menyatakan bahwa hasil suara di tempat pemungutan suara dan di Komisi Pemilihan Umum banyak yang menyimpang.

Singkat kata, Megawati berhasil dijatuhkan dan dikorbankan. Namun, apa yang tidak benar dan tidak adil di sini adalah proses pembusukan Megawati lewat opini ternyata tidak berhenti, meski tidak masif lagi. Padahal, begitu banyak prestasi Megawati, mulai dari penuntasan reformasi konsitusi dan perundang-undangan, pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi, pemanfaatan kembali 23 pembangkit listrik tenaga uap yang mangkrak selama pemerintahan Soeharto, Habibbie, dan Gus Dur, pengembalian harga diri bangsa dengan politk bebas-aktifnya sehingga kita tidak menjadi antek neo kolonialisme dan imperialisme lagi, sampai keluar dari supervisi Badan Moneter Internasional (IMF).

Megawati sebagai presiden juga menuntut Inggris dan Amerika Serikat agar menyerahkan pesawat tempur yang Indonesia beli dan telah dibayar lunas, tapi diembargo dan uang kita dikemplang oleh mereka. Itu sebabnya Indonesia membeli pesawat Sukhoi dari Rusia, yang membuat semakin dongkol negara-negara Barat.

Masyarakat seakan lupa, siapa yang begitu berani melawan Orde Baru. Megawatilah satu satunya pemimpin partai yang berani secara frontal melawan Orde Baru dan tidak tunduk kepada Soeharto, sehingga akhirnya terjadi Peristiwa Sabtu Kelabu 27 Juli. Kantor DPP PDI diserang, dihancurkan, dibakar. Massa pendukung Megawati ada yang terbunuh.

Namun, Mega bersama kader PDI serta pendukungnya tetapgigih menentang Orde Baru dan menuntut reformasi. Lupakah masyarakat akan hal ini? Apakah reformasi bisa berhasil tanpa keberanian, kegigihan, dan pengorbanan Megawati dan pendukungnya?

Saya sungguh heran, sampai kini masih ada sebagian anggota masyarakat yang berkometar sinis dan negatif soal Mega. Misalnya, mereka menuding Megawati kurang cerdas, feodal, dingin, serta tidak hangat dengan orang-orang.

Padahal, kecerdasan seseorang hanya bisa dinilai dari hasil perbuatannya. Maka, kalau dilihat hasil dari pekerjaannya selama menjadi presiden, bisa dikatakan Megawati adalah yang paling cerdas daripada presiden-presiden lain.

Terlalu banyak hal pahit yang ia alami: diusir dari istana, diberhentikan dari sekolah,diintimidasi bertahun-tahun oleh Orde Baru, suaminya dicelakakan.Belum lagi ditikam dari belakang oleh kawan kawannya sendiri, bahkan dari mereka ada kawan-kawan perempuannya yang sangat akrab. Dengan latar belakang seperti itu, terlalu naif bagi kita, terutama kaum perempuan, untuk bersikap apriori terhadap Megawati.

Belakangan ini juga sering diembuskan isu, Megawati terlalu turut campur dalam pemerintahan. Orang yang memandang Megawati dari kulitnya saja kemungkinan besar “termakan” oleh isu itu. Padahal, sebagai ketua partai politik yang memberi mandat kepada Joko Widodo untuk maju mencalonkan diri sebagai presiden dan kemudian berhasil menjadi presiden, tentunya Megawati dan partainya ingin agar sang mandataris benar-benar dapat menjalankan cita-cita dan ideologi partai. Jadi, jangan sekali-sekali menganggap Megawati merongrong pemerintahan. Terbukti, ketika terjadi Aksi 411 dan 212, yang berdiri paling depan dan paling berani untuk mendukung pemerintah dan ideologi negara adalah Megawati dan PDI Perjuangan.

Sebagai penutup, dalam rangka memperingati hari ulang tahun Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri, saya mengucapkan selamat ulang tahun yang ke-70. Dirgahayu!

Panjangkanlah umurnya, ya,Tuhan, karena negara ini masih membutuhkan Megawati. [Emir Moeis]