Indonesia Raya tidak hanya lagu kebangsaan, tapi juga slogan yang paling sering dilontarkan Ketua Umum PDIP, yang juga Presiden ke-5 RI ini
Koran Sulindo – Pada 1987 itu nyaris tak ada yang mengenalnya, atau melihatnya langsung, atau melihat melalui siaran televisi satu-satunya saat itu, TVRI. Namun sepanjang jalan yang menghubungkan Pasuruan dengan Probolinggo sepanjang kurang-lebih 40 kilometer itu, warga berjejer menyambutnya.
Saat itu Megawati Soekarnoputri belum lama masuk ke politik. Baru setahun sebelumnya ia menyambut rayuan politisi senior Sabam Sirait masuk ke Partai Demokrasi Indonesia, sebuah fusi partai-partai yang salah satunya Partai Nasional Indonesia (PNI), partai bentukan bapaknya.
Orde pemerintahan Jenderal Soeharto yang menyebut diri Orde baru saat itu sedang kuat-kuatnya, tapi rakyat tampaknya tak hendak kehilangan peluang melihat dan menyambut putri Presiden Pertama RI Soekarno dalam kampanye pada Ulang Tahun Ke-14 PDI itu.
Pada kampanye Pemilihan umum 1992, Megawati membuat Jakarta menjadi metal, merah total. Rakyat turun ke jalan mendukung PDI Pro-Megawati (ProMeg). Juga di Solo, Surabaya, Yogya, dan berbagai daerah lain rakyat memenuhi jalan sepanjang Megawati lewat.
“Megawatilah satu satunya pemimpin partai yang berani secara frontal melawan Orde Baru dan tidak tunduk kepada Soeharto, sehingga akhirnya terjadi Peristiwa Sabtu Kelabu 27 Juli. Kantor DPP PDI diserang, dihancurkan, dibakar,” kata politisi senior Emir Moeis, beberapa waktu lalu.
Menurut Emir, Megawati dan pendukungnya tetap gigih menentang Orde Baru dan menuntut reformasi.
“Apakah reformasi bisa berhasil tanpa keberanian, kegigihan, dan pengorbanan Megawati dan pendukungnya?” tanya Emir.
Belakangan ini muncul isu keinginan Ketua Umum PDI Perjuangan sejak 1999 tersebut pensiun dari dunia politik. Isu ini sebenarnya seperti kaset rusak yang sering diputar ulang, biasanya jelang Pemilu. Isu yang paling kencang adalah Megawati akan mengundurkan diri sebagai Ketum PDI Perjuangan pada konggres tahun 2020 nanti.
Pengajar Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Muradi, mengatakan PDIP memang memiliki sejumlah kader muda yang mumpuni menjaga marwah partai dan relatif berhasil dalam melakukan kaderisasi internal. Namun tetap harus diakui tantangan dan ancaman ideologi bangsa tetap membutuhkan sosok yang mampu menjaga dan mengawal keutuhan NKRI dari ancaman menguatnya semangat sektarian dan politik identitas.
“Dalam konteks inilah sosok Megawati muncul sebagai simbolisasi tokoh politik nasional yang memiliki visi keindonesiaan yang kuat. Sehingga saya pikir masih perlu memimpin dan menjaga marwah partai untuk tetap berada digaris depan penjaga kebhinekaan dan ke-Indonesiaan,” kata Muradi, beberapa waktu lalu.
Menurut Muradi, dalam berpolitik penting sekali adanya patron sebagai penggerak dan penyemangat bagi kader-kader muda untuk tetap fokus pada visi dan misi partai.
“Dan hal tersebut menjadi porsi bagi Megawati sebagai ketua umum. PDI Perjuangan masih menbutuhkan Megawati untuk menjaga marwah partai di tengah serbuan ideologi sektarian yang cenderung menguat,” katanya.
Megawati adalah simbol keteguhan dalam mengambil sikap politik. Sosok megawati juga penting untuk mengawal pemerintahan Joko Widodo tetap berada di garis yang seirama dengan basis politik partai banteng bermoncong putih itu.
Banteng Pulang Kandang
Setelah memenangkan pemilihan pada 2014, presiden terpilih Joko Widodo langsung mengatakan PDIP masih membutuhkan sosok Megawati Soekarnoputri memimpin sampai 2020. Ia menyampaikan usulan tersebut saat memberi paparan Visi Misi Program Aksi Presiden Terpilih dalam kongres tertutup Rakernas IV PDIP di Marina Convention Center, Semarang, September 2014.
Usulan tersebut ditindaklanjuti para Ketua DPP PDIP dari seluruh Indonesia, dengan memberi rekomendasi agar Megawati kembali menjadi Ketua Umum PDIP. Rekomendasi tersebut ditetapkan sebagai hasil keputusan pertama rakernas IV PDIP itu.
“Jokowi berpandangan bahwa partai ini masih perlu figur Ibu Mega sebagai ketua umum, membutuhkan kepemimpinannya,” kata Sekretaris Steering Committee Rakernas IV PDIP Perjuangan, Ahmad Basarah, saat itu.
Ketika Pemilu sudah di ambang pintu seperti sekarang ini, optimistis memang harus selalu ditiupkan. Dan itulah yang selalu dilakukan Megawati.
Seperti saat membuka Rapat Koordinasi Nasional PDIP, awal September lalu, hanya sebagai contoh, Megawati mengatakan optimistis kembali menjadi pemenang pada Pemilu 2019. Keyakinan itu berdasarkan hasil survei sejumlah lembaga yang selalu menempatkan elektabilitas PDI Perjuangan di urutan teratas.
“Kalau lihat survei, enggak turun-turun, sudah di-bully. Ya saya di-bully, ya PDI-P di-bully, enggak turun-turun. Ya karena saya tahu, ternyata rakyat yang menentukan,” kata Megawati
Pada Pemilu tahun depan yang tinggal sekitar 4 bulan lagi, juga baru sekarang ini partai-partai nasionalis kader Soekarnois hanya mempunyai satu kandang. Dalam pemilu-pemilu sebelumnya di era reformasi, masih diikuti begitu banyak Partai Soekarnois seperti PDP, PNI Marhaenisme, PNBK, dan Partai Pelopor.
“Tingginya elektabilitas partai ini merupakan perpaduan kolektif kerja kader partai, efek rembesan elektoral Jokowi, kepeloporan Partai melalui sekolah Partai, dan penegakkan sanksi tegas berupa pemecatan bagi para koruptor. Namun ada satu faktor lagi yang kurang mendapat perhatian, yaitu banyaknya kader Soekarnois yang pulang kandang,” kata Deddy Yevri Sitorus, anggota Badan Pemenangan Pemilu DPP PDI Perjuangan, di Rakerda DPD PDI Perjuangan Bali, akhir Oktober lalu.
Menurut Deddy, survei itu juga menunjukkan posisi PDI Perjuangan masih tetap teratas dengan elektabilitas di kisaran 24,6% diikuti oleh Partai Gerindra dan Partai Golkar.
Dalam koalisi Jokowi-Kiai Ma’ruf, PDI Perjuangan juga paling mendapatkan persepsi positif dari Jokowi mengingat kepemimpinan Jokowi sejak Walikota Surakarta, Gubernur DKI Jakarta, dan kini Presiden Indonesia memang teridentifikasi dengan PDI Perjuangan. Tetapi, PDI Perjuangan tidak menggerus suara partai-partai dalam koalisi sebagaimana terjadi di koalisi pendukung Capres Prabowo.
“PDI Perjuangan menurut hasil survei lebih diuntungkan oleh merapatnya kembali pemilih Soekarno dan tambahan dukungan dari kelompok pemilih pemula atau yang sering disebut dengan kaum milenial dengan angka sekitar 34,8%,” kata calon anggota legislatif DPR RI nomor urut 1 dari Daerah Pemilihan Kalimantan Utara itu.
Untuk Indonesia Raya
Berbagai survei sejak 2 tahun terakhir memang selalu menemukan hasil yang serupa. Misalnya survei Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) persis setahun lalu ini: PDIP disebut adalah satu-satunya partai politik yang menunjukkan peningkatan dukungan suara signifikan dan kemungkinan besar memperoleh suara jauh lebih besar pada Pemilu 2019.
“Bila tidak ada peristiwa besar dalam 1,5 tahun ke depan, misalnya skandal korupsi, krisis ekonomi dan skandal moral,” kata Direktur Utama SMRC, Djayadi Hanan, awal Januari 2018 itu.
Modal lainnya untuk memenangkan pemilihan umum pada 2019 mendatang adalah modal sejarah. Bila ditarik dari akarnya, yang terhubung dengan Proklamator Kemerdekaan sekaligus Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno, PDI Perjuangan adalah partai politik yang kadernya paling banyak menjadi Presiden Republik Indonesia sampai sekarang: Soekarno, Megawati Soekarnoputri, dan Joko Widodo.
Seperti dikatakan Megawati dalam sebuah kesempatan, tugas dan tanggung jawab partai politik yang sesungguhnya adalah berjuang. “Berjuang untuk membebaskan rakyat dan bangsa dari penjajahan dalam bentuk apa pun yang menyebabkan ketertindasan, kemiskinan, dan kebodohan. Bagi kita, partai adalah alat pembebasan,” kata Megawati.
Tak mengherankan jika Adis, demikian panggilan kesayangan kedua orang tuanya kepada Megawati, ketika masih duduk di sekolah dasar sudah bergelora semangat nasionalismenya. Megawati lalu juga “magang” sebagai pasukan pengibar bendera pusaka (paskibraka) untuk Peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 1955.
Megawati juga sering diajak Bung Karno melakukan kunjungan ke negara-negara sahabat. Begitu pula ketika tokoh-tokoh dari negara lain berkunjung ke Indonesia, Megawati diminta mendampingi ayahnya. Pada masa menjadi mahasiswi, ia pun aktif di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).
Hingga memasuki usia 72 pada Januari 2019 nanti, Megawati terus berjuang tanpa kenal lelah untuk menegakkan kehidupan yang demokratis di Indonesia, dengan terjun langsung memimpin partai politik, menjadi anggota parlemen, hingga menjadi pucuk pimpinan negara sebagai Presiden Republik Indonesia.
Dalam segala posisi dan jabatan itu, harapan dan cita-cita Megawati selalu hanya satu: untuk Indonesia Raya.
Seperti nukilan tulisan Sen Tjiauw Gustafsson, kontributor Koran Sulindo di Swedia, pada 15 Mei 2017 yang berjudul ‘Indonesia Raya’ ini:
“Persis setahun lalu di Jakarta, dalam peluncuran buku ”Megawati Soekarnoputri, Menangis dan Tertawa bersama Rakyat”, saya berkesempatan bertemu muka dengan Mbak Mega dan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Ini kesempatan langka, karena saya tidak tinggal di Indonesia…
…Ahok mengundang saya dan teman-teman penulis buku untuk makan siang di Balai Kota. Tapi, sampai saya kembali ke Swedia, kesempatan itu tidak ada. Ahok sangat sibuk, bersamaan dengan ditangkapnya anggota DPRD Mohamad Sanusi oleh KPK dalam kasus reklamasi.
Tapi bukan itu yang ingin saya ceritakan. Saya teringat catatan kecil yang ditulis Mega untuk saya di bukunya. ”Meskipun jauh di mata selalu dekat di hati! Di manapun Anda berada, berjuanglah untuk INDONESIA RAYA tercinta!”
Saya termangu membaca tulisan tangan dari Putri Bung Karno itu. Indonesia Raya tidak hanya lagu kebangsaan, tapi juga slogan yang paling sering dilontarkan Ketua Umum PDIP, yang juga Presiden ke-5 RI ini. Dan hari-hari ini, hakekatnya menjadi begitu penting. ”Di manapun Anda berada, berjuanglah untuk Indonesia Raya tercinta.” [Didit Sidarta]