Koran Sulindo – Puluhan tahun lampau, Raja Dangdut Rhoma Irama menulis lagu bertajuk “Indonesia”. Lirik lagunya mengangkat soal adanya jurang yang sangat tinggi antara penduduk yang kaya dan yang miskin. “Jangan dibiarkan adanya jurang pemisah yang makin menganga antara miskin dan kaya. Bukankah cita-cita bangsa mencapai negeri makmur sentosa?” demikian antara lain bunyi lirik lagu itu.
Ternyata, kondisi puluhan tahun lampau itu terjadi lagi sekarang. Seperti diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, ketimpangan ekonomi yang terjadi di Indonesia semakin meningkat. Penyebabnya antara lain risiko ekonomi dalam negeri dan inovasi yang rendah. “Selain itu, juga disebabkan kapasitas produksi terbatas, kesenjangan antara infrastuktur, teknologi, dan keterampilan masyarakat, serta pasar keuangan yang dangkal. Akibatnya, produktivitas dan daya saing menjadi rendah, sehingga kemiskinan dan ketimpangan meningkat,” tutur Sri Mulyani di kampus Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Jawa Timur, 28 Desember 2016 lalu, seperti dikutip beberapa media.
Padahal, tambahnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia justru membaik. Pada rentang waktu 2006-2015, Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 5,7% dan menempati urutan ketiga setelah India dan Cina. Karena itu, Sri Mulyani menekankan, demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi tersebut, ke depan tantangan besar yang dihadapi ialah peningkatan pendidikan, kemampuan, dan skill sumber daya manusia.
Dalam kesempatan tersebut, Sri Mulyani juga menjelaskan situasi perekonomian global sekarang ini yang penuh ketidakpastian. Potensi-potensi risiko global antara lain tingkat permintaan yang lemah, harga komoditas, baik volume maupun harga, isu geopolitik, serta kebijakan ekonomi Amerika Serikat di bawah pemerintahan baru. Namun, situasi ini justru menjadi peluang bagi ekonomi Indonesia untuk matang dan maju.
Dengan begitu, lanjut Sri Mulyani, pemerintah baik pusat maupun daerah harus bisa menjaga momentum pertumbuhan ekonomi untuk memberantas kemiskinan dan kesenjangan. Juga memperluas penciptaan kesempatan kerja. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus dipandang sebagai salah instrumen fiskal untuk mendorong perekonomian.
Sebenarnya, jauh-jauh hari, banyak ekonom juga sudah menyatakan hal yang sama dengan Sri Mulyani. Ekonom Faisal Basri, misalnya, pada 17 Agustus 2015 lampau telah menulis di blog-nya “setelah 70 tahun Proklamasi Kemerdekaan, jumlah dan persentase penduduk miskin Indonesia memang berkurang. Namun, sejak krisis 1998, penurunan kemiskinan kian melambat. Bahkan sempat tiga kali mengalami peningkatan.”
Rekan sealmamater Sri Mulyani di Universitas Indonesia itu juga mengatakan, yang juga perlu dicermati, penurunan jumlah penduduk miskin di Indonesia lebih lambat dibandingkan negara-negara tetangga seperti Tiongkok, Vietnam, dan Kamboja. “Hal itu menunjukkan penduduk miskin sangat rentan terhadap gejolak ekonomi, apalagi mengingat sistem perlindungan sosial di Indonesia sangat buruk. Skor indeks perlindungan sosial Indonesia sangat rendah, hanya 0,044, di urutan ke-27 dari 35 negara di Asia Pasifik. Alokasi dana untuk berbagai macam jaminan sosial hanya 1,2 persen dari produk domestik bruto (PDB), di peringkat ke-28. Posisi Indonesia ini terendah di antara negara ASEAN, bahkan jauh tercecer dibadingkan dengan Timor Leste sekalipun,” tulisnya.
Penduduk miskin itu, katanya lagi, mencerminkan kemiskinan ektrem berdasarkan garis kemiskinan yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik. “Tidak berarti penduduk yang hidup di atas garis kemiskinan kesejahteraannya sudah memadai,” ungkap Faisal.
Kalau kita menggunakan indikator jumlah rumah tangga yang berhak memperoleh beras miskin (raskin) yang pada tahun 2014 sebanyak 15.530.897 dan rata-rata rumah tangga miskin 5 jiwa, penduduk yang hidup di bawah garis kemikinan berjumlah 77,6 juta jiwa. Angka tersebut sama dengan 31% atau hampir sepertiga jumlah penduduk.
Jurang antara si kaya dan si miskin yang kian menganga dapat disaksikan dengan kasat mata. “Mudah menjumpai kontras kaya-miskin karena si kaya dengan arogan mempertontonkan kekayaannya: kesombongan perilaku pengguna moge (motor gede), mobil mewah berseliweran di jalan raya dan diparkir di depan pintu gerbang hotel dan mal, penggunaan jet pribadi, acara partai-partai di hotel mewah, mobil-mobil mewah dikawal polisi, pesta perkawinan, dan banyak lagi,” tutur Faisal Basri.
Ia juga memberikan data yang menunjukkan angka ketimpangan di Indonesia semakin memburuk. “Sepanjang sejarah, Indeks Gini mencapai tingkat tertingi,” tulisnya.
INDEKS Gini atau Koefisien Gini adalah indikator yang menunjukkan tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh. Nilainya mulai 0 sampai 1. Jika Koefisien Gini bernilai 0, itu menandakan adanya pemerataan pendapatan yang sempurna atau setiap orang memiliki pendapatan yang sama. Angka di bawah 0,4 masuk dalam kategori baik, angka 0,3 sampai 0,4 masuk kategori sedang, dan angka di atas 0,4 tergolong kategori buruk.
Kendati demikian, dijelaskan lagi oleh Faisal Basri dalam tulisannya yang berbeda di blognya, Koefisien Gini tersebut sebenarnya tidak mencerminkan ketimpangan pendapatan. “Karena, sampai sekarang, kita tidak memiliki data tentang pendapatan rumah tangga. Data yang dikumpulkan Badan Pusat Statistik adalah data pengeluaran yang menjadi proksi pendapatan,” ungkapnya.
Koefisien Gini berdasarkan data pengeluaran, lanjutnya, tentu menghasilkan angka ketimpangan yang lebih baik atau lebih rendah ketimbang data pendapatan. Perbedaannya bisa mencapai 0,2. Menurut dia, perbedaan kaya-miskin dalam hal pengeluaran atau belanja jauh lebih kecil (konvergen) dibandingkan perbedaan kaya-miskin berdasarkan pendapatan.
Kalau Koefisien Gini berdasarkan data pengeluaran menghasilkan angka 0,41 (ketimpangan sedang) selama tiga tahun terakhir. Jika ditambah 0,2, angkanya menjadi 0,61 (ketimpangan buruk).
Lalu, indikator apa lagi yang bisa digunakan untuk memperkuat tanda bahwa kondisi ketimpangan di Indonesia sudah masuk kategori buruk? Faisal Basri memaparkan lima indikator lain. Pertama adalah kajian Thomas Piketty dalam bukunya yang berjudul Capital in the Twenty-First Century. Piketty mengunakan proksi yang lebih dekat dengan pendapatan menunjukkan pola perkembangan ketimpangan Indonesia serupa dengan pola negara-negara maju yang mengalami pemburukan ketimpangan, termasuk Amerika Serikat yang paling buruk itu. “Ketimpangan di Indonesia lebih buruk dari Cina dan India,” katanya.
Indikator kedua dapat dilihat dari struktur kepemilikan simpanan di bank. “Ternyata simpanan senilai 100 juta atau kurang sangat dominan, mencapai 97,78 persen rekening. Jumlah rekening dengan nominal Rp 100 juta sampai Rp 300 juta atau kurang hanya 1,01 persen. Selebihnya hanya ‘nol koma’ dan yang di atas Rp 5 miliar hanya 0,04 persen,” tulis Faisal.
Yang ketiga adalah financial inclusion index Indonesia yang relatif sangat rendah, hanya 36,1%. “Artinya, hanya 36,1 persen penduduk usia dewasa yang memiliki akun di bank, lembaga keuangan lainnya, dan mobile account. Mayoritas orang miskin sudah barang tentu tak pernah menyentuh jasa keuangan formal,.
Selain itu, yang keempat, jumlah investor saham berdasarkan jumlah sub-rekening efek di C-BEST belum sampai setengah juta atau persisnya 448.248 sub-rekening per Mei 2015. Kelima: pemilikan obligasi pemerintah dan korporasi tampaknya juga hampir 100 persen dikuasai orang-orang kaya dan kondisinya lebih buruk ketimbang ketimpangan dalam pemilikan simpanan di bank dan obligasi (surat utang).
Indikator keenam: ketimpangan dalam pemilikan lahan, sebagaimana terlihat dari Koefisien Gini untuk pemilikan tanah sangat tinggi, menembus angka 0,7. Data Sensus Petanian terbaru (2013) menunjukkan perbaikan (kembali ke 0,6), walaupun masih saja dalam kategori buruk.
Faisal Basri berharap, kondisi ini tidak berlanjut karena dapat menimbulkan kecemburuan sosial, yang ujungnya bisa memunculkan kerusuhan sosial. Amit-amit…. [PUR]