Para tokoh nasional yang berkumpul di University Club UGM dalam acara 'Seruan Sesepuh Bangsa untuk Perdamaian Indonesia', Jumat (26/5)/YUK

Koran Sulindo – Akhir-akhir ini kehidupan berbangsa kita sedang menghadapi tantangan yang cukup berat. Proses mengupayakan negara demokrasi yang matang diguncang oleh situasi politik yang tampak jauh dari kesantunan dan adab mulia. Kita disuguhi berbagai manipulasi yang tidak memberikan pendidikan politik yang layak dianut, melainkan sajan drama saling serang antar kubu yang berseberangan. Situasi yang sarat muatan kecurigaan dan ketakutan antar kelompok tersebut tentu tidak boleh terus dilanggengkan.

Demikian yang dirasakan dan diamati 13 tokoh nasional yang berkumpul di University Club  UGM dalam acara ‘Seruan Sesepuh Bangsa untuk Perdamaian Indonesia’, Jumat (26/5). Ke-13 tokoh itu adalah : Buya Syafii Maarif, Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, Kardinal Julius Dharmaatmaja, Bhikkhu Nyana Suryanadi, Pendeta Gomar Gultom, KH Imam Aziz, Ida Bagus Agung, Engkus Rusmana, KH Achmad Mustofa Bisri, M. Sobary, KH Quraish Shihab, Budi Suniarto dan Abdul Munir Mulkan.

Ida Bagus Agung, tokoh dari agama Hindu menyatakan, saat ini Indonesia berada dalam zaman Kaliyuga atau zaman besi. Atau dalam istilah Ki Hadjar Dewantara adalah zaman kebingungan. “Atau menurut  Ronggowarsito zaman Kalabendu. Manusia yang tidak eling lan waspada akan menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan,” ujarnya.

Maka, menurut Ida Bagus Agung, kita tidak boleh melawan dengan cara kekerasan namun harus dengan cara mengembangkan kasih sayang. Kita juga harus membangun persaudaraan yang sejati tanpa sekat-sekat SARA. “Kita bangun kerukunan, kedamaian. Dengan begitu kekerasan tidak akan bisa melawan kita,” ujarnya.

Dalam situasi tak menentu ini, menurut Buya Syafii Maarif, harus  segera diakhiri dan tak boleh dibiarkan begitu . Kita tak boleh menyerah terhadap situasi memprihatinkan ini dan harus bergerak demi menyelamatkan generasi penerus bangsa anak dan cucu kita sampai ratusan bahkan ribuan tahun kedepan,” kata Buya Syafii Maarif.

“Menjaga keutuhan bangsa dari rongrongan suku, agama dan golongan itu kewajiban kita bersama. Kita harus rapatkan barisan untuk melawan kedzoliman dan ketidakadilan di Indonesia,” tambah Shinta Nuriyah.

Sementara Quraish Shihab menegaskan, jika bangsa Indonesia tidak hati-hati maka akan terjadi peperangan seperti di Timur Tengah yang jelas-jelas menyengsarakan rakyat. “Kita harus menjaga kerukunan beragama dan bangsa Indonesia,” ujarnya.

Menurut Quraish Shihab, untuk menyebarkan perdamaian harus dimulai dari diri sendiri, keluarga, masyarakat. Kepada ulama, Quraish Shihab meminta agar tidak terjun ke politik praktis, tetapi justru harus menyebarkan kedamaian di tengah masyarakat.

“Kita harus menyebarkan kedamaian dan kebhinekaan. Jangan jadi setan yang membisu. Sampaikan tapi dengan cara yang damai,” tegas Quraish Shihab lagi.

Sedangkan Abdul Munir Mulkan menegaskan bahwa tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan kepada semua makhluk ciptaan Tuhan. Bahkan, lanjutnya, setiap orang bisa masuk surga menurut agama masing-masing. Hanya jalannya yang berbeda. Maka tidak perlu saling sikut yang justru menghambat jalan masuk surga.

“Saya membayangkan, ada surga bagi umat Islam, surga bagi umat Katolik, Kristen, Hindu, Budha dan lainnya. Bisa nggak? Bisa saja kalau Tuhan berkehendak,” kata Abdul Munir Mulkan.

Pendeta Gomar menilai, keadaan Indonesia seperti ini akibat adanya pembiaran dari pemerintah terhadap tak intensifnya pendidikan Pancasila. Setidaknya, kata Gomar, ada sebanyak 140 juta penduduk Indonesia yang tuna Pancasila dan tak lagi menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. “Pembiaran ini bertemu dengan kemiskinan. Dan ini memudahkan orang bermimpi Khilafiah,” tuturnya.

Rembuk 13 tokoh nasional ini juga mengeluarkan 5 butir seruan kepada seluruh bangsa Indonesia. Pertama, semua elemen bangsa, khususnya Pemerintah, harus melakukan penyadaran bagi semua pihak tentang pentingnya persatuan dalam Indonesia yang bhinneka, dan mendudukkan Pancasila sebagai kepribadian bangsa untuk semua generasi. Kedua, pemerintah harus bersikap tegas dan bijaksana dalam menanggapi situasi yang menjurus pada keretakan persatuan dan segera bertindak mengutamakan keselamatan bangsa dan negara.

Ketiga, pemerintah harus memiliki sikap dan bahasa yang sama dalam menghadapi berbagai tantangan hidup berbangsa dan bernegara. Keempat,  pendidikan politik dan sejarah kebangsaan perlu dikuatkan kembali, baik kepada para politisi maupun semua elemen bangsa, demi keselamatan dan masa depan bangsa. Kelima, perlu dibangun persaudaraan sejati dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, demi terjaganya persatuan dan kesatuan bangsa. Tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan kepada semua makhluk ciptaan Tuhan, bahkan semua agama mewajibkan penerimaan dan penghormatan kepada orang lain.

Pertemuan ke-13 sesepuh bangsa ini digagas oleh Gusdurian. Menurut Allissa Wahid, gagasan ini  berawal dari keprihatinan kondisi bangsa Indonesia yang diambang perpecahan. Para sesepuh dan juga Gusdurian ingin kerukunan umat beragama kembali dirajut. Tujuannya untuk kesatuan dan menjaga kebhinekaan yang sudah ditanamkan oleh para pendiri bangsa.

“Dalam kondisi saat ini, kita membutuhkan percikan kearifan dan inspirasi dari beliau-beliau, agar perjalanan sejarah bangsa kita bisa tetap dijaga pada arahnya,” kata Allisa. [YUK]