Indonesia Negara Sosialis- Emir Moeis

Oleh IZEDRIK EMIR MOEIS

Mengapa saya berani berkata demikian? Karena memang demikianlah yang dicita-citakan para founding fathers negara ini.

Mereka semua mencita-citakan sebuah negara sosialis.

Bung Karno, Bung Hatta, mereka semua beraliran sosialis. Demikian juga Sutan Syahrir, Haji Agus Salim, dan masih banyak lagi para fouding fathers yang lain, baik sosialisme kiri maupun sosialisme Islam.

“Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong!” kata Bung Karno dalam pidato hari lahir Pancasila, 1 Juni 1945.

“Pancasila adalah anti-kapitalisme!” kata Bung Karno lagi di sidang kabinet Dwikora pada 1966.

“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.” demikian Bung Hatta merumuskan pasal 33 dan 34 UUD 1945.

Dengan karakter seperti itu, mungkinkah para pendiri negara ini menginginkan Indonesia menjadi negara kapitalis? Tidak mungkin. Bung Karno geram pada kapitalisme. Sebab kapitalisme melahirkan penjajahan. Mengapa dulu Belanda datang ke sini dan menjajah kita? Karena uang. Profit.

“Setiap tahun, kekayaan yang diangkut dari Indonesia sedikitnya 1,5 miliar gulden!” kecam Bung Karno dalam pembelaannya yang terkenal, Indonesia Menggugat (1930), ketika diadili Belanda semasa jadi mahasiswa ITB.

Kapitalisme memang rakus. Demi uang, tidak segan-segan menjajah, melakukan penghisapan manusia atas manusia, exploitation de l’homme par l’homme.

Bahkan, uang seringkali dipandang lebih penting dibanding nyawa. Demi meraup kekayaan alam Indonesia, Belanda tidak segan menciptakan kelaparan massal di Jawa pada akhir abad 18, yang dikutip Bung Karno dalam pembelaannya.

“… orang-orang yang kelaparan itu merangkak sepanjang jalan, tinggal kulit belaka seperti jerangkong… mereka begitu letih sampai tidak bisa lagi memakan makanan yang dikasihkan orang… mereka lantas meninggal,” katanya, sebagaimana dikutip dari Indonesia Menggugat, Pidato Pembelaan Bung Karno Di Muka Hakim Kolonial (Djakarta, S.K Seno: 1956)

Kelaparan massal di Jawa pada abad 18 yang dikutip Bung Karno itu mengacu pada situasi di era tanam paksa. Kebijakan tanam paksa atau cultuur stelsel yang diterapkan selama 30 tahun itu (1840-1870) merupakan salah satu pengalaman terkelam Indonesia dengan kapitalisme.

Belanda melarang petani menanam tanaman pangan seperti padi, dan sebaliknya memaksa mereka menanam tanaman berorientasi ekspor seperti kopi, tebu, nila, dan tembakau. Akibatnya, produksi tanaman pangan pun menurun dan kelaparan merajalela. Ratusan ribu orang tewas, terutama di Jawa.

M.C Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2008) mencatat betapa ganasnya kebijakan tanam paksa itu.

Kabupaten Demak misalnya, yang jumlah penduduknya tercatat mencapai 336 ribu jiwa, menyusut jadi hanya 120 ribu. Sebanyak 216 ribu warga Demak tewas kelaparan, atau setara 35% dari populasi. Ini belum menghitung jumlah korban di kabupaten lain seperti Grobogan, Cirebon, Banten, dan lain-lain.

Tapi bagi Belanda, kebijakan bengis itu menghasilkan keuntungan luar biasa. Jutaan gulden masuk ke kas negara dari penjualan tanaman ekspor. Pelabuhan Rotterdam dibangun megah. Kebijakan yang berarti kematian bagi pihak lain, justru profit bagi pihak satunya.

Itulah kapitalisme, falsafah ekonomi yang berorientasi mengejar keuntungan. Apa pun ongkosnya.

Bung Karno adalah seorang nasionalis, seorang organisatoris, dan tokoh pergerakan. Tapi dia juga intelektual. Bacaannya atas karya-karya filsuf Barat terutama marxisme membuatnya bisa melihat permasalahan penjajahan secara lebih jernih.

Bung Karno bisa melihat bahwa ganasnya penjajahan Belanda bukan karena bangsa Eropa adalah “kaum kafir” yang hendak menghancurkan Indonesia. Tidak sesederhana itu. Bung Karno bisa melihat bahwa penjajahan bermula dari kebutuhan kapitalisme untuk terus memupuk keuntungan.

Awalnya, negara Eropa datang ke Asia untuk berdagang mencari rempah-rempah. Tapi perdagangan hanya berlangsung sesaat. Buat apa berdagang, bila lebih menguntungkan menjajah?

Maka bangsa Eropa yang lebih dulu maju pun beralih ke kolonialisme, menguras sumber daya negara-negara Asia dan Afrika yang ketika itu masih terbelakang.

Gold, Glory, Gospel. Demikian tujuan kaum kolonialis Eropa saat itu.

Imperialisme dan koloniaisme, dengan demikian pada dasarnya adalah turunan, anak dari kapitalisme. Inilah tema yang disinggung Bung Karno dalam pembelaan Indonesia Menggugat, yang kemudian sering diulang dalam berbagai pidatonya.

Bahwa Bung Karno mampu merumuskan sebuah kritik tajam terhadap kapitalisme ketika masih berstatus mahasiswa ITB, memang menunjukkan level intelektualitas para founding fathers kita saat itu. Mereka cerdas, berpendidikan, dan mampu mengakses berbagai literatur asing yang tidak dikenal orang kebanyakan.

Tapi memang demikianlah zaman membentuk pemimpin. The era makes the men. Makin keras suatu zaman, makin bersinar pula pemimpin yang dihasilkan.

Selain melawan kolonialisme dengan pergerakan, Bung Karno pun juga merumuskan ideologi untuk melawan kapitalisme, yaitu marhaenisme. Inilah ideologi sosialisme Indonesia sebagai anti-tesis kapitalisme. “Marhaenisme adalah sosialisme Indonesia dalam praktek,” katanya.

Buku yang sedang Anda baca ini adalah upaya untuk mengenalkan apa itu ideologi marhaenisme, dan mengapa ia tetap relevan hingga kini.

Apa itu marhaenisme?

Saya cukup yakin tidak banyak yang tahu atinya. Untuk yang tahu, paling banyak mereka berkata marhaenisme adalah ideologi yang berawal dari pertemuan Bung Karno dengan seorang petani bernama Marhaen di Bandung.

Dari pertemuan itu, Bung Karno lalu merumuskan ideologi marhaenisme –mengambil nama Pak Marhaen. Isinya pemikiran tentang sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi, dan cukup sampai di situ. Pemahaman itu pun sebagian besar berasal dari generasi baby boomers (kelahiran sebelum 1949) dan sebelumnya, yang kini sudah berusia di atas 70 tahun.

Bagaimana dengan generasi milenial, generasi Z? Sebagian besar tidak tahu, tidak mengerti, bahkan mungkin apatis dengan marhaenisme.

Mengapa? Karena selama era Orde Baru pada 1966-1998, istilah dan ajaran ini dilarang. Marhaenisme tidak diajarkan di sekolah, dilenyapkan dari sejarah. Inilah de-Soekarnoisasi yang dilakukan Orde Baru. Bung Karno hanya diagungkan sebagai Bapak Proklamator, tapi pemikirannya disingkirkan.

Dampak de-Soekarnoisasi ini terus terasa hingga kini. Beberapa survey sederhana yang dilakukan sejumlah kalangan menemukan banyak generasi muda kini tidak lagi terlalu menganggap penting ideologi kebangsaan.

Situasi dunia yang makin tanpa batas (borderless) menyapu sekat nasionalisme dan akhirnya juga berdampak pada makin terkikisnya rasa cinta pada bangsa. Berpindah kewarganegaraan misalnya, hal yang dulu tidak bisa dibayangkan oleh generasi baby boomers, kini makin dianggap sebagai sesuatu yang wajar oleh generasi muda.

Makin terkikisnya ideologi kebangsaan –inilah salah satu bentuk kemenangan kapitalisme terhadap bangsa-bangsa di dunia ketiga,

Bagi saya pribadi, kecenderungan ini cukup mengkhawatirkan.

Saya termasuk generasi tua yang menyaksikan bagaimana Bung Karno, bahkan setelah Indonesia merdeka, secara konsisten terus menyerukan perlawanan kepada kapitalisme. Saya masih mengalami era ketika Bung Karno berpidato berapi-api tentang marhaenisme. “Revolusi belum selesai!” teriaknya.

Revolusi yang dimaksud adalah perjuangan melawan kapitalisme. Penjajah Belanda memang berhasil diusir, tapi kapitaisme tetap ada.

Inilah marhaenisme, ideologi Bung Karno yang anti-kemiskinan, anti-penghisapan, dan anti-eksploitasi rakyat kecil yang disebabkan oleh kapitalisme. Sebuah ideologi yang berjuang untuk menghilangkan kemiskinan dan penderitaan akibat kapitalisme dari bumi Indonesia.

Bung Karno sangat menentang eksploitasi kapitalisme. “Jangan sampai bangsa Indonesia menjadi bangsa kuli, dan kuli di antara bangsa-bangsa!” teriaknya. A nation of coolies and a coolie among nations.

Karena Bung Karno anti pada kapitalisme, apakah beliau seorang sosialis?

Ya, Bung Karno adalah seorang sosialis. Marhaenisme sendiri adalah perwujudan ideologi sosialisme Indonesia.

Tapi banyak generasi muda kini tidak menyadari hal itu. Mereka tidak mengalami bagaimana Bung Karno berusaha membawa bangsa ini menuju ke era sosialisme, yang diyakini akan membawa tatanan masyarakat yang lebih baik, meski di tengah situasi bangsa yang belum lama merdeka.

Generasi muda kini lebih mengenal Bung Karno sebagai seorang tokoh nasionalis. Padahal beliau lebih dari sekadar itu.

Saya termasuk yang prihatin atas kecenderungan sebagian orang yang “mengurung” Bung Karno semata ke dalam bingkai nasionalisme, dan melupakan sisi sosialismenya. Padahal Bung Karno sendiri, menjadikan revolusi sosialis sebagai tahap berikutnya setelah Indonesia merdeka.

Penjajah memang berhasil diusir, tapi itu hanyalah “anak”. Sumber utamanya, yaitu ideologi kapitalisme, masih eksis hingga kini dan masih terus menyebabkan ketidakadilan, kemiskinan, dan penghisapan.

Jangan mengurung Bung Karno ke dalam nasionalisme, karena Bung Karno sendiri juga membenci pengagungan nasionalisme bila tidak memasukkan unsur keadilan sosialisme di dalamnya.

Nasionalisme tanpa keadilan sosial adalah nihilisme. Bagaimana suatu negeri yang miskin dan sangat buruk seperti negeri kami dapat menganut aliran selain sosialisme?” katanya dalam biografinya yang ditulis Cindy Adams.

Harapan saya, generasi muda mengenal sisi pemikiran Bung Karno, sosoknya sebagai ideolog sosialisme Indonesia, mulai menyadari ideologi kebangsaan Bung Karno dan tumbuh rasa cinta tanah airnya.

Selain itu generasi muda bisa  memahami lebih utuh tentang pemikiran Bung Karno dan negara macam apa yang ia cita-citakan.

Salam Marhaen!

Tetap radikal, dinamis, dan revolusioner!

 

Izedrik Emir Moeis

Ketua Umum Gerakan Pemuda Marhaen (GPM)