Koran Sulindo – Pernyataan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi M Nasir berkaitan wacana menempatkan orang asing menjadi rektor untuk peningkatan kualitas pendidikan menuai tanggapan. Salah satunya dari anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, My Esti Wijayanti.
“Secara tegas saya menolak ide dan pemikiran dari Menristekdikti tersebut. Ide tersebut sudah mengingkari semangat dari para pejuang dan pendiri bangsa ini untuk mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka seperti tertuang dalam pembukaan UUD 1945,” kata Esti dalam siaran pers yang dikirim ke redaksi, Senin kemarin (6/6).
Menurut Esti, Menristekdikti terindikasi melakukan simplikasi permasalahan di pendidikan tinggi. Padahal, persoalan pendidikan sangatlah kompleks, berkaitan dengan akses kelembagaan dan tata kelola pendidikan tinggi serta persoalan lainnya. “Tidak ada jaminan, jika rektornya adalah orang asing, pendidikan tinggi akan menjadi lebih baik. Sama halnya yang terjadi pada industri manufaktur, yang mendatangkan perusahaan dan manajer asing ternyata justru sektor industri semakin terpuruk dan mengalami ketergantungan,” tutur Esti.
Dalam pandangan Esti, pendidikan yang berkualitas diharapkan mampu melahirkan manusia-manusia unggul yang berdaya saing serta merancang masa depan bangsa yang maju modern dan mandiri, berkarakter, berjatidiri bangsa yang tangguh, berbudaya, dan beradab berdasarkan Pancasila, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi Nomor 12 Tahun 2012. “Ini berarti tidak bisa kita titipkan arah pendidikan kita kepada orang asing yang tidak memahami budaya, karakter, dan ideologi bangsa,” ujarnya lagi.
Atas rencana tersebut, Esti mengajak seluruh elemen masyarakat untuk menolak rencana Menristekdikti terkait impor rektor itu. Menristekdikti juga harus menghentikan wacana untuk mendatangkan dan menempatkan warga negara asing sebagai rektor. “Kami juga mendesak Menristekdikti untuk menyerahkan blueprint kebijakan politik pendidikan tinggi dan penyelesaian persoalan-persoalan di pendidikan tinggi secara menyeluruh,” kata Esti.
Sementara itu, secara terpisah, Rektor Universitas Gadjah Mada Prof Dr Dwikorita Karnawati menyatakan, kendala utama dalam mewujudkan lompatan kemajuan di perguruan tinggi terletak pada “sistem” yang mengontrol pengelolaan perguruan tinggi. Sistem ini antara lain dikontrol oleh berbagai kebijakan/regulasi pemerintah, yang memengaruhi kemajuan akademis. Misalnya Kemenristek Dikti telah menetapkan beberapa perguruan tinggi nasional yang dipandang unggul sebagai Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH), yang memiliki otonomi akademis ataupun nonakademis.
Namun, lanjut Dwikorita , otonomi ini belum sepenuhnya diakui oleh kementerian lainnya. Dengan begitu, pengelolaan keuangan dan administrasi di PTNBH masih terkendala beberapa regulasi atau birokrasi yang menghambat langkah-langkah inovasi dan terobosan di bidang akademis, riset, ataupun hilirisasi riset. “Jadi, untuk mempercepat lompatan kemajuan pendidikan tinggi/perguruan tinggi lebih tepat yang kita terapkan adalah perlu adanya inovasi dan terobosan dalamĀ memperbaiki sistem pengelolaan perguruan tinggi yang harus didukung oleh seluruh kementerian dan lembaga serta industri, agar otonomi akademis dan nonakademis tidak terhadang oleh berbagai regulasi yang kurang atau tidak tepat,” kata Dwikorita.
Ditambahkan, inovasi atau terobosan ini terutama dalam hal deregulasi atau debirokratisasi agar para dosen dan peneliti bisa secara optimal memanfaatkan waktunya untuk mendidik dan meneliti. Demikian pula laporan administrasi dalam penelitian perlu disederhanakan agar tidak menghambat upaya untuk mencapai keunggulan dalam riset.
Menurut Dwikorita, kegagalan dalam riset adalah hal yang harus bisa diterima, tidakĀ dipandang sebagai kesalahan yang merugikan uang negara. Perlu juga ada peraturan/kebijakan yang cukup fleksibel dalam memberikan penghargaan atau insentif bagi peneliti. “Kebijakan ini agar jangan disalahartikan sebagai kesalahan yang dianggap memperkaya pihak lain. Dengan kekhawatiran akan dipandang memperkaya pihak lain dan merugikan negara, rektor dari negara mana pun tentu akan tidak leluasa dalammembawakan kebijakan inovasi dan lompatan untuk kemajuan,” ujar Dwikorita.
Ia juga mengatakan, tidak sedikit putra-putri Indonesia yang sukses berkarya di bidang pendidikan tinggi dan riset, dengan prestasi unggul di berbagai negara maju yang sistem akademisnya sudah benar-benar otonomi. “Namun, dikhawatirkan sebaliknya, para peneliti unggul ataupun science leader di negara maju belum tentu dapat berprestasi unggul bila bekerja dalam sistem akademis di Indonesia, karena adanya berbagai kendala administrasi atau birokrasi dan kebijakan, yang tidak hanya dikontrol oleh Kemenristek Dikti saja,” tuturnya lagi. [YUK]