Konferensi Bretton Woods untuk membentuk IMF dan Bank Dunia [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Krisis ekonomi yang terjadi di Argentina terus memburuk. Inflasi meningkat tajam, nilai tukar peso terhadap dolar Amerika Serikat (AS) anjlok hingga mencapai sekitar 50 persen sepanjang tahun ini. Fakta itu mengingatkan kita pada situasi serupa yang dihadapi Indonesia pada 1997/1998. Solusinya pun sama: mengajukan pinjaman kepada Dana Moneter Internasional (IMF).

Akan tetapi, sebelum pinjaman itu disetujui, IMF umumnya selalu memberikan syarat kepada negara yang akan menerima dana. Celakanya syarat itu selalu pula sama: mencabut subsidi, privatisasi dan pengetatan anggaran. Bahasa “ajimat” yang kerap dipakai IMF adalah program penyesuaian struktural (SAP). Itulah yang ditawarkan Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde ketika Menteri Keuangan Argentina Nicolas Dujovne mengunjunginya ke AS beberapa waktu lalu.

Yang perlu diketahui publik, apa yang dilakukan pemerintah Argentina itu bukan sesuatu yang baru. Pasalnya, pemerintahan Argentina di bawah Mauricio Macri selama ini telah menjalankan skema kebijakan sesuai neoliberalisme. Dan di Argentina hanya Macri pula yang mampu menjalankannya dengan baik. Kebijakan yang ditempuh Macri karena itu setelah menyetujui tawaran IMF justru melipatgandakan skema neoliberalisme.

Itu sebabnya, dalam 2 tahun terakhir, terjadi peningkatan tarif listrik dan gas secara tajam; merevisi kebijakan pensiun; pemecatan pegawai negeri secara massal; mencabut subsidi pendidikan, kesehatan dan riset ilmu pengetahuan; serta menerapkan politik upah murah dan membatasi hak-hak kaum buruh. Dan itu semua tentu saja itu berdampak besar bagi masyarakat.

Setelah semuanya, Macri lantas berpidato di hadapan rakyatnya dan menyampaikan apa yang ditawarkan IMF itu. Sebuah pernyataan yang tidak asing bagi negara-negara yang pernah menjadi pasien lembaga keuangan di bawah kendali kapitalis monopoli asing (imperialis) Amerika Serikat itu. Seperti di Indonesia pada 1997/1998, pernyataan serupa bisa kita jumpai di Portugal dan Yunani pada 2010. Program pengetatan anggaran yang menjadi ciri khas IMF dan Bank Dunia itu juga diterapkan Yunani dan Portugal demi mendapatkan utang baru.

Lalu mengapa IMF begitu berkuasa dan mengapa pula negara-negara yang disebut sebagai pasar yang sedang berkembang (emerging market) begitu membutuhkan lembaga ini? Dan untuk kepentingan siapa IMF bekerja dan siapa yang diuntungkan dari semua itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, tampaknya kita perlu mengetahui bagaimana awal mula lembaga ini berdiri dan untuk apa ia didirikan.

Sementara Perang Dunia II masih berkecamuk di Eropa, pada suatu Juli 1944, Amerika Serikat mengundang delegasi dari 44 negara untuk datang ke Bretton Woods, sebuah kota kecil di New Hampshire. Tujuannya adalah mengadakan konferensi resmi yang digelar selama 3 pekan di Hotel Mount Washington. Mereka akan membahas tentang tatanan ekonomi baru selepas Perang Dunia II. Juga untuk membentuk dasar sebuah sistem yang menjaga stabilitas ekonomi dunia.

Konferensi Bretton Woods
Pertemuan yang kelak dikenal sebagai Konferensi Bretton Woods itu juga dimaksudkan untuk mencegah kembalinya situasi Depresi Besar pada periode 1929-an. Situasi yang dipicu karena gelembung properti akibat kemudahan kredit dan rendahnya suku bunga. Kemudian, diikuti gelembung pasar saham yang meledak pada 1929. Depresi Besar itu berlangsung hingga pecahnya Perang Dunia II pada 1939.

Sebelum Konferensi Bretton Woods digelar, Gedung Putih dan pemimpin Inggris kerap bertemu secara rahasia selama beberapa tahun. Mereka mengerjakan dan membahas berbagai rencana untuk tatanan moneter dunia sejak 1940. Dalam konferensi itu, perwakilan Inggris adalah seorang ekonom bernama John Maynard Keynes. Ia sempat berkomentar meremehkan 21 negara peserta yang dinilai tidak berkontribusi dan hanya membebani ekonomi dunia.

Akan tetapi, sikap meremehkan Keynes itu segera berbenturan dengan kenyataannya. Selama berlangsungnya Konferensi Bretton Woods, kekuatan global kian tidak berpihak kepada Inggris. Justru itu mulai merugikan Inggris. Biaya perang yang begitu besar – termasuk Perang Dunia I – telah melemahkan pengaruh Inggris. Negeri ini justru menjadi negara debitur terbesar yang sedang menuju jurang kebangkrutan. Sementara hasil Perang Dunia II justru mendorong bangkitnya gerakan pembebasan di seluruh dunia, termasuk negara-negara yang dulunya bekas koloni Inggris.

Pada akhirnya Inggris harus mengakui pemenang Perang Dunia II adalah Amerika Serikat. Negeri ini juga menjadi negara kreditor terbesar setelah Perang Dunia II. Mereka memegang hampir dua pertiga dari cadangan emas dunia dan menguasai separuh dari seluruh produksi industri global. Berbeda dengan umumnya negara-negara Eropa, kondisi infrastruktur Amerika Serikat setelah Perang Dunia II relatif masih utuh. Sementara delegasi Amerika terlibat dalam Konferensi Bretton Woods, militernya justru merencanakan serangan nuklir ke Hiroshima dan Nagasaki sebagai penegasan penguasa tunggal di dunia.

Karena berubahnya peta kekuatan dunia ini, gagasan Keynes yang disajikan di Konferensi Bretton Woods ditolak mentah-mentah. Ia mengajukan usulan – mewakili negara yang sedang sekarat – adanya alat pembayaran internasional yang memberi kemudahan kepada negara-negara yang sedang mengalami krisis untuk mendapatkan pinjaman. Ia memperkenalkan alat pembayaran itu dengan nama “Bancor” yang berfungsi sebagai mata uang cadangan.

Namun, AS bagaimanapun tidak mau mengambil peran sebagai kreditor utama sebagaimana yang diinginkan Keynes. Oleh sebab itu, perwakilan mereka, ekonom Harry Dexter White mengajukan rencana yang telah mereka susun dan akhirnya disetujui para peserta konferensi. Gagasan AS itu dinamai sebagai “White Plan” dengan pengonsepan sistem mata uang dunia. Dolar AS dijadikan satu-satunya rujukan semua mata uang dengan kurs tetap. Sementara, hubungannya dengan emas ditetapkan US$ 35 per ons emas murni.

Di samping hal yang sudah disebutkan, AS juga mengusulkan pembentukan beberapa lembaga internasional yang berfungsi memantau dan menjaga stabilitas sistem ekonomi baru negara-negara yang menerima kucuran dana. Setelah semua itu, AS karena pertumbuhan ekonominya yang cepat diberikan akses untuk mendapatkan sumber-sumber bahan baku dan juga akses untuk menjual barang dan modal sebagai akibat kelebihan produksi. Ini diperlukan untuk menggantikan posisi poundsterling oleh dolar. Juga memindahkan pasar saham dari London ke Wall Street. Dengan demikian, AS resmi menjadi pusat perdagangan dan keuangan global.

Dalam Pillaging the World. The History and Politics of the IMF disebutkan, dengan mengkonversi emas terhadap dolar sebagai rujukan serta membentuk sistem nilai tukar tetap, sesungguhnya mengingatkan kita pada apa yang pernah terjadi pada periode 1870 hingga pecahnya Perang Dunia I. Walau dalam situasi berbeda, ketika itu, emas menjadi standar dengan menjadikan poundsterling sebagai mata uang cadangan. Dengan tatanan yang baru itu, AS mencabut hak semua negara untuk mengendalikan sistem moneter mereka yang bertujuan melindungi industri dalam negeri.

Di samping menciptakan tatanan baru sistem moneter dunia, IMF yang dibentuk setelah Perang Dunia II itu merupakan lembaga yang anti-komunis. Selain mengawasi rekonstruksi kapitalis Eropa, lembaga ini sejak awal diberikan hak untuk mengintervensi langsung negara-negara lain. IMF karena itu lembaga yang tidak demokratis. Kedudukan negara-negara anggota tidak sama. Porsi yang paling besar dipegang oleh AS karena keunggulan finansialnya. Dengan kenyataan itu, AS memastikan dirinya sebagai pengendali mutlak atas semua keputusan di lembaga tersebut.

Adapun tugas pertama IMF adalah meneliti ekonomi semua negara anggota untuk menentukan tingkat kontribusinya. IMF berdalih itu sebagai bagian dari fungsi pemantauan yang dimilikinya. Namun, informasi yang diperoleh lembaga tersebut dengan sendirinya akan menjadi milik AS karena pemilik suara terbesar di IMF. Mereka karena itu memonopoli semua informasi mengenai kondisi keuangan dan ekonomi negara-negara anggota.

Ketika lembaga ini baru berjalan 6 bulan, Inggris dengan cepat sadar akan situasi tersebut. Mereka karena itu mendesak semua negara anggota untuk memperbaiki aturan yang berlaku di IMF. Upaya Inggris itu akan tetapi membentur tembok batu. AS mengancam tidak akan mengucurkan pinjaman senilai sekitar US$ 3,75 miliar yang sangat dibutuhkan Inggris untuk membayar biaya Perang Dunia II. Tidak lebih dari 2 pekan, Inggris tunduk pada semua syarat yang diajukan AS.

Intervensi
Meski terbukti mengintervensi suatu negara, IMF berkali-kali pula membantahnya. Para agennya terdiri atas penasihat keuangan negara-negara kapitalis acap membuat rancangan kebijakan ekonomi makro dan mikro untuk negara-negara peminjam. Bahkan sampai rancangan teknisnya. Semuanya kemudian dimasukkan dalam perjanjian pinjaman. IMF sesungguhnya tidak sendiri. Ia bekerja sama erat dengan Bank Dunia untuk memastikan negara-negara peminjam melaksanakan program penyesuaian struktural (SAP).

Program tersebut berkaitan dengan pengetatan anggaran versi neoliberal, memangkas anggaran sosial, memprivatisasi aset negara, mengucurkan dana kepada bank-bank yang bangkrut, mengurangi tarif masuk, memastikan politik upah murah serta melanjutkan industri yang berorientasi ekspor. Ketika negara peminjam menuruti semua skema yang diajukan IMF ini, maka dalam jangka panjang imbalannya pinjaman akan dikenakan bunga yang relatif rendah.

Lalu, bagaimana mulanya Indonesia menjadi pasien IMF? Menurut sebuah tulisan Awal Mula Indonesia Mengutang Pada IMF yang dimuat situs Historia, Indonesia mengajukan permintaan menjadi anggota IMF dan Bank Dunia pada 1950. Dan secara secara resmi menjadi anggota – setelah petinggi IMF dan Bank Dunia bersidang – pada pertengahan 1953. Secara legal ketika keanggotan itu disahkan lewat UU Nomor 5 tahun 1954. Lalu, pada Agustus 1956, pemerintah Indonesia menerima pinjaman dari IMF senilai US$ 55 juta untuk menekan defisit anggaran dan inflasi yang terus melambung.

Keberadaan Indonesia menjadi anggota IMF dan Bank Dunia bukannya tanpa perdebatan. Setelah mengetahui prinsip dasar IMF yang menganjurkan pengetatan anggaran itu, kelompok Partai Komunis Indonesia (PKI) mengkritik keberadaan Indonesia sebagai anggota IMF dan Bank Dunia. Tidak hanya PKI, kelompok Front Nasional, Nahdlatul Ulama, Partai Katolik, PNI dan sejumlah kelompok mahasiswa punya sikap yang sama dengan PKI. Karena tekanan yang besar itu, Indonesia akhirnya memilih keluar dari IMF pada Agustus 1965.

Dalam Indonesia: How the IMF Feeds Graft and Corruption menceritakan, pemerintah nasionalis di bawah Soekarno pada periode 1945 hingga 1960-an sesungguhnya menolak intervensi IMF dan Bank Dunia di Indonesia. Akibatnya, ekonomi Indonesia diblokade, industri ekspor karet hancur, krisis ekonomi politik terjadi sehingga akhirnya Soekarno dijatuhkan. Indonesia kembali bergabung dengan IMF pada 1967, tak lama setelah Soeharto merebut kekuasaan lewat kudeta berdarah.

Soeharto lantas berpikiran hanya IMF dan Bank Dunia yang bisa membantu menstabilkan perekonomian Indonesia. Dari tahun 1967 hingga 2000, Indonesia telah mendapat pinjaman sekitar US$ 25 miliar. Setelah Soeharto berkuasa lebih dari 30 tahun, krisis ekonomi melanda Indonesia pada 1997. IMF dan Bank Dunia lantas membantu rezim Soeharto untuk mengubah program ekonomi yang berorientasi ekpsor. Karena perubahan program ekonomi itu, malah menghancurkan industri ringan sehingga membuat negara menjadi tergantung pada impor beras dan komoditas dasar lainnya.

Ajaibnya, Indonesia di bawah Soeharto disebut model keberhasilan pembangunan dan namanya dipuji sebagai “Bapak Pembangunan”. Namun, pada saat yang sama, korupsi, kronisme dan nepotisme yang melibatkan para jenderal menyebar secara masif. Dan semuanya seperti tak peduli soal itu termasuk IMF dan Bank Dunia. Bahkan ketika krisis ekonomi sedang berlangsung pada 1998, Bank Dunia justru memprediksi perekonomian Indonesia akan menjadi terbesar ke-5 di dunia pada 2020. Kenyataannya, prediksi itu sama sekali tidak pernah terwujud, justru Indonesia kini menghadapi krisis kurs mata uang terhadap dolar.

Dari sini kita menjadi tahu, program pengetatan anggaran atau disebut sebagai “reformasi struktural” ala IMF itu tidak lain hanya mengalihkan “kekayaan” yang dihasilkan kaum buruh kepada pemilik modal. Denga kata lain, bahwa laba bersifat pribadi, tapi jika terjadi kerugian maka itu harus dibebankan kepada kaum buruh.

Ketika gaji dan pensiun dipotong, ketika anggaran kesehatan dan pendidikan dicabut, ketika layanan publik ditiadakan, ketika ribuan kaum buruh dipecat, itu semata-mata untuk membayar utang, menjaga kepentingan segelintir pemilik modal – tidak peduli apakah mereka kapitalis nasional atau asing. Fakta yang terjadi di Argentina, Yunani, Portugal, Indonesia dan lain-lain sedikit contoh dari banyak negara yang menjadi korban dari ajimat IMF: reformasi struktural! [Kristian Ginting]