Ilustrasi, dataran tinggi Tibet - Wikicommons
Ilustrasi, dataran tinggi Tibet - Wikicommons

PEGUNUNGAN Himalaya di Asia berupa hamparan gunung-gunung tertinggi di dunia merupakan hasil tumbukan dua lempeng tektonik yang terletak persis di bawah kerak bumi dataran tinggi Tibet.

Secara teori, dua lempeng benua yang menyatu ketika saling bertabrakan seharusnya tidak menyebabkan terbelah menjadi dua bagian, melainkan menyebabkan salah satu lempeng tenggelam di bawah lempeng lainnya. Namun, sebuah penelitian baru-baru ini mengidentifikasi bahwa salah satu lempeng di bawah Tibet bisa saja pecah menjadi dua.

Lempeng tektonik terdiri dari dua jenis yaitu benua dengan wujud lebih tebal dan kurang padat, yang kedua samudera dengan wujud lebih tipis tapi lebih padat.

Ketika dua jenis lempeng berbeda bertabrakan, lempeng samudera menyusup ke bawah lempeng benua dalam proses yang disebut subduksi. Namun, ketika dua lempeng benua bertabrakan, tidak ada cara untuk mengetahui lempeng mana yang akan berada di bawah lempeng lainnya, karena keduanya memiliki kepadatan yang sama. Itulah yang terjadi di Tibet selatan, tempat pegunungan Himalaya berada.

Beberapa ahli berpendapat bahwa lempeng Hindia menyusup ke bawah lempeng Eurasia, namun tidak tenggelam ke dalam lapisan bumi. Pendapat lain bahwa bagian paling dangkal dari lempeng India bergelombang seperti karpet dan hanya sisa terdalam yang masuk ke dalam.

Namun ada temuan baru dari tim ahli geologi dari Tiongkok dan Amerika Serikat yang menemukan skenario ketiga yaitu dalam tumbukan kedua lempeng, lempeng India terbelah menjadi dua.

Dalam hal ini, retakan tersebut merupakan retakan horizontal dan bukan retakan vertikal, seperti yang biasa terjadi pada lempeng divergen Afrika dan Islandia. Dengan demikian, bagian paling dangkal menopang Tibet dan bagian terdalam tenggelam ke dalam lapisan sedalam 33 km di kerak benua.

Pecahnya lempeng India

Fragmentasi lempeng India ditemukan setelah menganalisis perjalanan gelombang seismik dari 94 stasiun seismologi di Asia. Stasiun itu mengidentifikasi bahwa sebagian struktur ini memiliki kedalaman sekitar 200 kilometer dan bagian lain hanya memiliki kedalaman beberapa 100 km. .

“Kami tidak tahu bahwa benua bisa seperti ini, bagi ilmu bumi yang solid, hal ini cukup mendasar,” kata Douwe van Hinsbergen, ahli geodinamika di Universitas Utrecht Belanda, salah satu penulis penelitian tersebut.

Temuan ini kemudaian dipresentasikan pada konferensi American Geophysical Union tahun lalu di San Francisco Desember lalu dan dipimpin oleh lembaga-lembaga dari Amerika Serikat dan Tiongkok.

Menurut Simon Klemperer, ahli geofisika di Universitas Stanford dan salah satu penulis studi tersebut, dugaan robekan kerak baru mungkin mempengaruhi risiko gempa bumi di Tibet.

Bahkan, kata dia, retakan dalam di dataran tinggi Asia yang disebut fisura Cona-Sangri merupakan indikasi bahwa gejolak di bagian paling rentan lempeng India bisa meluas hingga ke permukaan. Namun, kaitan langsung dengan gempa bumi masih belum pasti.

Pegunungan Himalaya dan puncak tertingginya, seperti Mount Everest merupakan hasil serangkaian panjang tumbukan dua lempeng benua besar Eurasia dan India. Sebelumnya jutaan tahun lalu merupakan sebuah pulau besar dikelilingi oleh pulau-pulau kecil lainnya.

Tabrakan pertama terjadi pada akhir jaman Jurassic, 140 juta tahun lalu. Waktu itu busur pulau-pulau di India bertabrakan dengan Eurasia selatan dan membentuk Tibet utara.

Tabrakan kedua terjadi 100 juta tahun lalu, yang akhirnya memunculkan Tibet bagian selatan.

Tabrakan terakhir terjadi pada zaman Eosen, 40 juta tahun yang lalu, ketika lempeng India datang dari selatan dan bertabrakan dengan Eurasia, yang terus bergerak ke utara dengan kecepatan 1 hingga 2 milimeter per tahun. [NUR]