IIham Aidit : Solusi Pelanggaran HAM Berat harus Berorientasi Pada Rasa Keadilan dan Pemulihan Martabat Korban

Ilham Aidit (Foto inews)

koransulindo.com – Ilham Aidit meluangkan waktunya untuk koransulindo.com di tengah-tengah kesibukannya di Bandung. Satu-satunya anak DN Aidit yang berada di Indonesia ini, mengenang sosok ayahnya yang berbeda dengan persepsi orang kebanyakan. Ia juga menceritakan sepenggal kisahnya sebagai anak tokoh nomor satu PKI yang dipenuhi stigma negatif dari orang-orang. Imbasnya, ia dan saudara-saudaranya harus berjuang ekstra keras dalam hidup mereka yang dipenuhi dengan “kesulitan-kesulitan.” Berikut wawancara antara wartawan koransulindo.com Ahmad Gabriel dan Ilham Aidit, terkait kehidupannya sebagai anak tokoh PKI.

Pak Ilham, apa bisa diceritakan sosok ayahanda DN Aidit sejauh yang Anda ingat? Seperti yang diketahui, usia Anda saat itu masih berumur enam tahun.

“Sepanjang yang saya ingat, Aidit adalah contoh orang yang penuh semangat dan penuh percaya diri. Ini terlihat dari gestur, cara berjalan, cara bekerja, dan cara bicaranya. Ia juga contoh orang yang sangat sibuk dengan menulis, membaca, dan mengadakan banyak rapat.”

“Tapi sekaligus juga, ia sosok Ayah yang hangat dan selalu memiliki waktu untuk keluarga di tiap akhir pekan. Saat saya bersamanya, adalah saat Aidit dan partainya sedang di puncak kejayaan.”

Selama ini, menurut Anda, apakah persepsi orang kepada Aidit kurang tepat? Jika kurang tepat, persepsi apa yang salah dari orang-orang terhadap sosok Aidit?

“Banyak sekali orang yang sampai saat ini masih menganggap Aidit adalah musuh bangsa nomor satu. Aidit dan PKI-nya dianggap pelaku (dalang tunggal) kudeta di September 1965. Ini semua akibat propaganda Orde Baru (Orba) selama puluhan tahun.  Propaganda yang penuh kebohongan dan rekayasa tentang peristiwa tersebut.”

“Ditambah lagi, film pesanan ini, adalah film propaganda yang mewajibkan rakyat Indonesia untuk menonton Film Pengkhianatan G30S/PKI sejak tahun 1982, selama belasan tahun.”

“Maka menjadi penting upaya penelaahan, penelitian, dan penulisan ulang peristiwa ini. Agar generasi muda bisa memahami dengan lebih baik tentang sejarah bangsanya.”

Dengan persepsi orang seperti itu terhadap Ayahanda, bagaimana imbasnya terhadap kehidupan Anda? Apa saja ketidakadilan yang Anda terima akibat stigma buruk orang-orang?

“Persepsi yang salah terhadap Aidit dan PKI, disebabkan karena catatan sejarah yang keliru (atau sengaja dikelirukan). Ini tentu sangat merugikan keturunan PKI.”

“Dianggap terlibat tidak langsung pun, sudah bisa menyudutkan dan menyulitkan hidup mereka. Menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) pasti tak mungkin. Perusahaan swasta juga enggan mempekerjakan kami. Tak mungkin jadi tentara, tenaga pengajar, dan lain sebagainya. Ini adalah Peraturan Mentri Dalam Negeri di tahun 1981. Memang sejak reformasi aturan ini sudah dihapuskan, tapi pelaksanaan ”di bawah” sering berbeda.”

Selain itu, bagaimana akibat stigma negatif itu pada keluarga atau teman-teman Anda?

“Tiga kakak saya terpaksa tak bisa kembali ke Tanah Airnya, dan kehilangan kewarganegaraan Indonesia karena peristiwa ini. Akhirnya mereka menjadi Warga Negara Asing (WNA) dan tinggal sepanjang hidupnya di negeri orang.”

“Hal ini juga banyak dialami oleh keluarga PKI lainnya, yang ketika itu menjadi pelajar, delegasi, atau bekerja di negara-negara Blok Timur.”

Bagaimanapun, korban dari peristiwa G30S sudah berjatuhan dan menjadi bagian dari tragedi sejarah yang tak boleh terjadi lagi. Lantas, menurut Anda, bagaimana solusi terbaik bagi kedua belah pihak yang menjadi korban?

“Sudah jelas bahwa kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia haruslah diselesaikan dengan cara yang baik dan benar. Menurut saya, solusi terbaik bagi kedua belah pihak harus selalu berorientasi pada rasa keadilan, dan mengembalikan martabat korban yang sudah terlalu lama terlecehkan dan terabaikan.”

Terakhir ini, sudah diupayakan membentuk UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) tapi dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). Lalu, sekarang muncul lagi keinginan beberapa pihak untuk membuat RUU KKR kembali. Bagaimana menurut Anda sebaiknya solusi yang diambil pemerintah agar terjadi rekonsiliasi?

“Upaya Non Judicial (rekonsiliasi) adalah upaya yang, menurut saya, masih baik. Tapi, lakukanlah dengan benar, jangan digampangkan. Tentu tidak mudah. Tapi, rekonsiliasi yang semu hanyalah akan menghasilkan pemulihan yang juga semu, dan tidak menghasilkan pembelajaran apa-apa.”

Terakhir, menurut Anda, apa pelajaran terbaik yang bisa kita ambil dari peristiwa-peristiwa masa lalu, bagi generasi muda, demi Indonesia di masa depan?

“Menurut saya, pelajaran penting untuk para generasi muda adalah, pertama, tegakkan hukum pada apapun yang berpotensi menjadi Pelanggaran HAM Berat.”

“Kedua, generasi muda juga harus terus meminta dan menagih upaya pelurusan sejarah dan penuntasan Pelanggaran Berat HAM yang pernah terjadi di negeri ini. Sehingga, dari kekeliruan di masa lalu, kita bisa belajar banyak demi melangkah lebih baik ke masa depan.” [Ahmad Gabriel]

Baca juga: