Ihwal Istilah Orla dan Orba

Ilustrasi/anri

Koran Sulindo – Di dalam periodisasi sejarah Indonesia, istilah Orde Lama (Orla) digunakan untuk menyebut masa pemerintahan Presiden Soekarno (1945-1965). Istilah ini lumrah digunakan dalam setiap penulisan di media massa, buku, ataupun jurnal.

Jika ditelisik makna Orla cenderung negatif. Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “lama” berarti panjang antaranya (tentang waktu); panjangnya waktu (antara waktu); kuno, sejak dahulu kala, dahulu telah ada; tua (tidak baru); usang.

Istilah ini tak ada semasa pemerintahan Soekarno, baru mulai mengemuka ketika Pemimpin Besar Revolusi tersebut jatuh, selepas peristiwa G30S.

Namun tak tercatat siapa kali pertama memperkenalkan istilah Orla sebagai penyebutan masa pemerintahan Soekarno. Rezim baru usai tragedi 30 September 1965 itu memberikan predikat olok-olok itu untuk menyebut generasi sebelumnya. Sebutan Orde Baru (Orba) sebenarnyapun tak jelas benar apakah diciptakan Soeharto. Ia ada dan terus dilanjutkan pertama melalui media massa lalu menyusup ke buku pelajaran sekolah dan diktat kuliah.

Sebenarnya Bung Karno sudah menyebut istilah Orla dan Orba usai tragedi dalam pidato-pidatonya.

Sejarawan dan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, dalam pengantar buku ”Revolusi Belum Selesai; Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965-Pelengkap Nawaksara”, mengatakan Bung Karno adalah orang pertama yang mengungkapkan istilah “Orba”. Itu tercatat di dalam pidato serah terima jabatan Menteri/Pangal Martadinata kepada Muljadi, pada 25 Februari 1966.

Pidato itu jelas sebelum Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966—yang disebut Soekarno sebagai “satu perintah pengamanan pemerintahan, perintah pengamanan pribadi presiden, perintah pengamanan wibawa presiden, perintah pengamanan ajaran presiden”—dikeluarkan.

“Kira-kira lebih dari setengah tahun yang lalu, tatkala saya melantik Panglima Angkatan Laut yang baru dengan wakilnya yaitu Pak Muljadi dengan Pak Hartono, di situ saya katakan bahwa kewajiban kita ialah membongkar, meniadakan orde lama dan diganti dengan orde baru. Ya, saya yang mengucapkan. Orde lama harus diganti dengan orde baru. Saya ulangi lagi, saya yang mengucapkan itu,” kata Bung Karno, dalam pidato Penutupan Musyawarah Kesenian Nasional di Istana Negara Jakarta, 30 Juni 1966, seperti dikutip dari buku yang disunting Budi Setiyono dan Bonnie Triyana tersebut.

Di situ Bung Karno mengatakan tak termasuk orla atau orba tapi orde asli.

Lalu dalam pidato di hadapan delegasi Angkatan 45 di Istana Merdeka, Jakarta, pada 6 September 1966, Bung Karno malah mengatakan istilah Orba sudah ia cetuskan pada 1928, yang ia sebut sebuah social political system (sistem sosial politik) yang baru.

“Waktu saya melantik Pangal, di sana, di bawah pohon itu, saya pertama kali mengucapkan di Jakarta ini orde lama, orde baru. Dan yang saya maksudkan dengan orde yaitu social political system lama dihantam oleh revolusi kita…” kata Bung Karno.

”Orde kata Saudara Sukarni ialah orde sebelum 1945 itu, itu satu orde, yaitu orde kolonial, orde kapitalis. Kita ini semuanya adalah orde baru…”

Bung Karno menyatakan keheranannya pada 1966 itu ada dua orde. Ia mengatakan, sesungguhnya orde itu adalah social political system, bukan manusia.

“Lo kok sekarang, baru sekarang, ada orang-orang berkata, orde lama, orde baru, orde lama, orde baru…” kata Bung Karno.

Jelas sekali Bung Karno mengklaim sebagai pencetus istilah Orde Baru. Dan, kita, rakyat Indonesia di bawah kepemimpinannya, sesungguhnya sudah masuk era itu setelah lepas dari penjajahan, bukan lagi orde kolonial.

Bahasa Pidato Soeharto

Pada 27 Maret 1968 Soeharto dilantik sebagai presiden kedua Indonesia. Setelah sebelumnya, pada 12 Maret 1967, diangkat sebagai Pejabat Presiden Indonesia melalui Sidang Istimewa Majelis Permusyawarakatan Rakyat Sementara (MPRS).

Sebelumnya, pada 17 Februari 1967, pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno yang berjudul Nawaksara ditolak MPRS.

Sejak tahun itulah istilah Orla kerap digelontorkan dalam pidato-pidato Soeharto.

Sejumlah pidato Soeharto yang memberikan label negatif kepada Orla bisa dibaca dalam buku “Bahasa Negara versus Bahasa Gerakan Mahasiswa; Kajian Semiotik atas Teks-Teks Pidato Presiden Soeharto dan Selebaran Gerakan Mahasiswa”.

“Dalam rangka tindakan-tindakan pengamanan ke dalam tubuhnya sendiri, maka ABRI harus tetap waspada dan melakukan pembersihan-pembersihan ke dalam slagordenya terhadap sisa-sisa pengikut G30S/PKI dan Orde Lama,” kata Soeharto, seperti dikutip dari Amanat Kenegaraan I 1967, di dalam buku karya Muridan S. Widjojo dan Mashudi Noorsalim tersebut.

Kutipan tadi bisa dibaca, generasi Orla disejajarkan dengan pengikut G30S/PKI, yang dianggap pengacau. Pemaknaan ini memberikan ruang dan kesempatan untuk suatu Orba, ordenya Soeharto, melakukan represi membungkam perlawanan-perlawanan politik yang mungkin muncul.

Di dalam Amanat Kenegaraan I 1969, yang menjadi salah satu rujukan buku itu, Soeharto mengulang lagi perihal Orla itu.

“Jangan kita terpengaruh oleh desas-desus. Jangan kita dapat diadudombakan oleh gerpol sisa-sisa bekas G30S/PKI dan Orde Lama […] Orde Lama jelas telah menyelewengkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. PKI dan Orde Lama kedua-duanya jelas menyelewengkan cita-cita perjuangan, menyelewengkan cita-cita kemerdekaan, menyelewengkan kemurnian cita-cita rakyat […],” kata Soeharto.

Dalam pidato itu tersemat permainan semiotis dengan dua sasaran sekaligus. Pertama, mengonstruksikan identitas Orba sebagai jawaban atas semua persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia di masa lalu, yang direpresentasikan dengan PKI dan Orla. Kedua, mengkonstruksi mitos tentang PKI dan Orla sebagai biang keladi persoalan bangsa dan musuh utama Orba khususnya, serta rakyat Indonesia umumnya. Pidato Soeharto pun berlanjut pada 1970-an. Kali ini menyindir mengenai sistem pemerintahan di masa Soekarno.

“Demokrasi Terpimpin yang semula diartikan sebagai demokrasi yang dipimpin oleh semangat Pancasila dan UUD 1945, ternyata dalam pelaksanaannya menjurus kepada arah pemujaan dan pengagung-agungan seseorang, sehingga membiarkan segala kekuasaan dengan melawan konstitusi berpusat di tangan seorang ‘Pemimpin Besar’,” kata Soeharto di dalam Amanat Kenegaraan 1978.

Soeharto menyindir kepemimpinan Bung Karno yang dilihatnya terpusat di satu tangan saja.

Segala pertanda buruk ada pada Orla; Segala yang baik hanya ada pada Orba.

Kikis Habis

Memberi label pemerintahan Soekarno dengan sebutan “lama” adalah upaya yang bersifat fait accompli, supaya rakyat melupakan Soekarno. Seruan itu bersifat implisit sehingga tak disadari efek kognitifnya.

Dalam buku “Politik Bahasa Penguasa” karya Fathur Rokhman dan Surahmat, dinyatakan saat seruan itu direproduksi secara massal oleh alat negara, publik menerima seruan itu sebagai sesuatu yang lumrah. Pesan tersebut ditanamkan terus-menerus, sehingga memengaruhi kesadaran pengguna bahasa.

Dan de-Soekarnoisasi itu dilakukan dengan terstruktur dan tersistematisasi. Nama-nama yang mengandung Bung Karno diganti. Gelanggang Olahraga Bung Karno, yang dibangun pada 1960 dan diresmikan 1962, namanya diubah menjadi Gelora Senayan. Soekarnopura, nama ibu kota provinsi Papua, diganti menjadi Jayapura.

Dalam urusan mempertahankan kekuasaan, Orba menggunakan empat fungsi mendasar bahasa. Pertama, melenyapkan musuh-musuhnya dari ingatan publik. Kedua, membangun citra sebagai pemerintahan yang kuat. Ketiga, membungkam gerakan perlawanan sipil. Dan keempat, membersihkan diri dari dosa.

Di dalam media massa, istilah Orla mengemuka pada akhir 1966 dan 1967. Istilah-istilah tersebut, jelas menampakkan secara vulgar, sisi buruk generasi Orla. Sebuah editorial di majalah Selecta (Nomor 309, 21 Agustus 1967) memberi judul “Orde Baru Mutlak Harus Menang”.

“Kami rasa program penting bagi Pd Presiden pada saat ini adalah strategi yang mutlak harus memenangkan kekuatan-kekuatan Orba, mengingat bulan-bulan menjelang 17 Agustus ini kekuatan Orla makin giat untuk menggerogoti kekuatan-kekuatan Orba dan memporakporandakan program Kabinet Ampera. Selama kekuatan Orla belum terkikis habis, mustahil kita bisa menghirup udara tenang, baik dalam iklim politik maupun ekonomi,” tulis editorial itu.

Artikel tersebut jelas menyudutkan generasi masa pemerintahan Soekarno sebagai mereka yang mengganggu iklim politik dan ekonomi. Maka, generasi Orla harus dikikis habis.

Majalah Selecta (Nomor 113, 18 September 1967)mengangkat berita soal demonstrasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) di Medan. Di dalam artikel berjudul “KAPPI/KAMI Medan Lantjarkan Aksi-Aksi Anti-Korupsi” terdapat subjudul “Pejabat-Pejabat bermental Orla dituntut supaya dibersihkan”.

Di sini, pejabat generasi pemerintahan Soekarno dianggap memiliki mental yang negatif sehingga perlu disingkirkan semua. Orla dijadikan perwujudan mental yang “sakit.”

Konotasi Orla sebagai rezim yang buruk, korup, dan menyeleweng terus ditanamkan saat awal-awal pemerintahan Orba. Padahal, catatan sejarah pun sudah membuktikan, ketika orde Soeharto tumbang, rezim ini jauh lebih buruk.

Karena itu pelekatan istilah Orla sebagai masa pemerintahan Soekarno mestinya harus dikaji ulang. Istilah Orla dalam bagian dari periodisasi sejarah Indonesia mestinya diganti. [Fandy Hutari, penulis dan periset sejarah]