Koran Sulindo – Diterpa masalah bertahun-tahun hingga berujung kasus tindak pidana korupsi, pemerintah mengubah nama PT Asuransi Jiwasraya (Persero) menjadi IFG Life. Tak hanya berganti ‘baju’ di bawah manjamen baru, transfromasi bisnis dan tata kelola juga dilakukan. Apakah ini mampu merebut kembali kepercayaan masyarakat Indonesia akan asuransi jiwa pelat merah?
IFG Life merupakan anggota holding perusahaan asuransi dan penjaminan PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) yang namanya juga diubah menjadi Indonesia Financial Group (IFG). Robertus Bilitea yang menakhodai perusahaan holding ini mengatakan, pertumbuhan bisnis yang menjadi tujuan strategis dari anggota holding harus tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian baik dalam tata kelola yang transparan, manajemen risiko yang komprehensif serta tidak kalah penting adalah seluruh anggota holding mempunyai prinsip risk culture yang melekat dalam keseharian bekerja.
Aspek tata kelola dan manajemen risiko ini memang sudah terbukti menjadi problem yang menjerumuskan Jiwasarya ke dalam jurang kehancuran. Setelah pemerintah tidak menyuntikkan modal meski perusahaan ini mengalami ekuitas negatif sejak tahun 2006, pada tahun 2012 muncullah produk JS Saving Plan yang belakangan menjadi masalah. Ketidakhatian-hatian dalam mengelola investasi dana dari polis nasabah akhirnya menyebabkan Jiwasaraya gagal bayar. Tata kelola yang buruk juga menyebabkan direksi lamanya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
Tak mau kembali jatuh ke dalam lubang yang sama, di bawah holding perusahaan asuransi dan penjaminan, kini IFG Life menjadikan tata kelola yang baik (GCG) dan kehatian-hatian (prudent) sebagai isu yang menjadi perhatian serius. Selain aspek tata kelola, IFG juga mentransformasi aspek bisnis IFG Life. Tak ada lagi produk Saving Plan yang akan ditawarkan kepada para nasabah. Direktur Bisnis IFG Pantro Pander Silitonga mengatakan, IFG Life akan memasarkan produk proteksi dan dana pensiun.
Industri asuransi jiwa di Indonesia saat ini memang seperti makin jauh dari tujuan dasar asuransi itu sendiri yaitu sebagai penyedia proteksi baik kesehatan maupun jiwa. Mayoritas produk yang ditawarkan kepada masyarakat sudah digabungkan (bundling) dengan produk investasi. Pantro mengatakan, 90% produk asuransi jiwa di Indonesia saat ini sudah tidak murni proteksi lagi tetapi sudah berbalut investasi di mana 65% adalah produk unitlink dan 25% adalah produk endowment atau anuitas.
“Di sini kami merasa sebagai asuransi milik negara yang diberikan mandat untuk memberi perubahan terhadap industri asuransi. Kami merasa penting untuk mengembalikan marwah asuransi kepada proteksi dan memberikan perlindungan kepada masyarakat,” kata Pantro pada pekan keempat Oktober 2020.
3 Lini Bisnis
IFG Life akan fokus pada tiga lini bisnis. Pertama adalah proteksi baik asuransi jiwa maupun asuransi kesehatan. Kedua, program dana penisun dan ketiga adalah mengelola portofolio eksisting Jiwasaraya yang sudah direstrukturisasi. Untuk bisnis proteksi dan dana pensiun, IFG Life fokus menggarap segmen pasar di lingkungan BUMN.
“Jadi 3 layer yang kami garap di ekosistem BUMN: korporasi, pegawai, dan customer. Kami memulai di ekosistem BUMN sebelum keluar di pasar bebas,” kata Pantro.
Memang tidak mudah bagi IFG Life untuk langsung menggarap segmen masyarakat luas. Masyarakat umumnya masih trauma dengan kasus Jiwasraya. Kasus ini telah meruntuhkan kepercayaan masyarakat akan kemampuan BUMN dalam mengelola asuransi jiwa.
Selain itu, tidak mudah juga bagi IFG Life untuk memasarkan produk asuransi murni proteksi ke masyarakat yang mayoritas masih belum melek asuransi. Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Togar Pasaribu mengatakan, produk asuransi murni tak begitu diminati di masyarakat karena ada anggapan di masyarakat polis yang dibayarkan itu hangus atau hilang begitu saja bila tidak terjadi risiko baik risko kesehatan maupun terkait jiwa. Karena itulah, strategi pemasaran perusahaan asuransi selama ini pun diubah dengan meluncurkan produk yang berbalut investasi seperti unitlink dan saving plan. Embel-embel investasi ini jutsru yang menjadi daya tarik produk asuransi.
Togar mengakui produk asuransi berbalut investasi ini turut mendongkrak industri asuransi di Indonesia. Karena memang tipikal masyarakat Indonesia umumnya tak mau ‘uangnya hangus’ untuk membayar premi asuransi tradisional. “Karena membayangkan ada return atau imbal hasil yang tinggi di kemudian hari,” ujarnya.
Kondisi pasar seperti inilah yang dihadapi oleh IFG Life ke depan. Artinya melawan arus besar yang ada di masyarakat. Tentu tidak mudah. Tetapi bukan berarti pasar tak ada. Meski diakui tingkat melek investasi masyarakat Indonesia masih rendah, tetapi seiring waktu kesadaran masyarakat pasti terus berkembang. Sebagian orang kemudian makin menyadari bahwa tak seharusnya produk asuransi dikawinkan dengan produk investasi. Karena ternyata manafaat yang diperoleh tidak maksimal. Bila ingin mendaptkan proteksi yang maksmial, maka pilihannya memang adalah asuransi proteksi murni seperti yang akan ditawarkan oleh IFG Life. Demikian juga bila ingin mendatpakan keuntungan yang maksimal dari investasi, maka pilihannya adalah instrumen investasi murni seperti saham, obligasi, dan turunannya seperti reksa dana.
Karena itu, sebagai BUMN, pekerjaan besar IFG Life ke depan, selain tentu melakukan pembenahan tata kelola dan bisnis tadi, adalah edukasi pasar. Seperti yang disampaikan oleh Direktur Bisnis IFG Pantro Pander Silitonga, kembalikan asuransi para marwahnya yaitu proteksi, bukan sebagai instrumen investasi. Pekerjaan yang tidak mudah tentunya karena masyarakat selama ini sudah terbiasa dengan produk bundling. [Julian A]