IDI: Wewenang BPJS Kesehatan Hanya Teknis Pembayaran, Bukan Ranah Medis

Koran Sulindo – Masyarakat resah karena Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menerbitkan tiga peraturan baru pada 25 Juli 2018. Ketiga aturan tersebut adalah Peraturan Dirjen Nomor 2 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Katarak dalam Program Jaminan Kesehatan; Peraturan Dirjen Nomor 3 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Persalinan dengan Bayi Lahir Sehat, serta; Peraturan Dirjen Nomor 5 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik.

Beredar kabar, dengan adanya peraturan-peraturan tersebut, BPJS akan mencabut jaminan untuk penyakit katarak, persalinan bayi lahir sehat, serta rehabilitasi medis. Namun, pada 30 Juli 2018 lalu, pihak BPJS membantah selentingan tersebut.

“Kalau ada yang menyebut BPJS Kesehatan mencabut tiga pelayanan kesehatan itu, berita tersebut hoax,” ujar Deputi Direksi Bidang Jaminan Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan Budi Mohammad Arief dalam keterangan resminya.

Tiga aturan tersebut, tambahnya, hanya untuk memperjelas tata cara agar manfaat pelayanan lebih efektif dan efisien. Peraturan-peraturan itu sesuai dengan tugas BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).

Justru, ketiadaan tiga aturan tersebut akan membuat BPJS membiarkan terjadinya inefisiensi. Selain itu, regulasi tersebut diterbitkan dengan memperhatikan kemampuan keuangan BPJS Kesehatan saat ini.

Dijelaskan Budi, peserta penderita katarak dengan visus (lapang pandang penglihatan) pada kriteria tertentu dengan indikasi medis dan perlu operasi katarak tetap dijamin. Penjaminan akan memperhatikan kapasitas fasilitas kesehatan, seperti jumlah tenaga dan kompetensi dokter mata yang memiliki sertifikasi.

BPJS Kesehatan juga menjamin semua jenis persalinan, baik biasa maupun tindakan bedah caesar. Begitu pula dengan pelayanan untuk bayi baru lahir yang ditagihkan oleh fasilitas kesehatan (faskes) dalam satu paket persalinan dengan ibunya.

Tapi, memang, jika bayi membutuhkan pelayanan atau sumber daya khusus, faskes dapat menagihkan klaim di luar paket persalinan dengan ibunya. “Terkait rehabilitasi medis, pelayanan tersebut tetap dijamin dengan kriteria frekuesi maksimal sesuai Peraturan Dirjen Nomor 5 Tahun 2018,” ujar Budi lagi.

Toh, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tetap meminta pihak BPJS Kesehatan membatalkan tiga peraturan tersebut. IDI menilai, ketiga aturan itu akan merugikan masyarakat karena menurunkan mutu pelayanan yang berkualitas.

“IDI meminta BPJS Kesehatan membatalkan Perdirjampelkes Nomor 2, 3, 5 Tahun 2018 untuk direvisi sesuai dengan kewenangan BPJS Kesehatan yang hanya teknis pembayaran dan tidak memasuki ranah medis,” tutur Ketua Umum PB IDI Ilham Oetamamarsis di kantornya, Jakarta, Kamis (2/8). Karena, sesuai dengan Pasal 22 dan 25 Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013, semua penyakit seharusnya ditanggung oleh BPJS Kesehatan.

Dijelaskan Ilham, kebutaan katarak di Indonesia menjadi salah satu penyakit yang tertinggi di dunia. Ilham menilai adanya kuota pelayanan katarak dalam Perdirjampelkes Nomor 2 Tahun 2018 dapat meningkatkan angka kebutaan tersebut.

Demikian pula Perdirjampelkes Nomor 3 Tahun 2018, dapat membuat pelayanan persalinan tidak optimal. Padahal, kata Ilham, semua persalinan harus mendapatkan penanganan yang optimal. “Karena, bayi baru lahir berisiko tinggi mengalami sakit, cacat, bahkan kematian,” ujarnya.

Ditambahkan Ilham, Perdirjampelkes Nomor 5 Tahun 2018 tak sesuai dengan standard pelayanan rehabilitasi medis. Sebab, dalam aturan tersebut, BPJS Kesehatan hanya menjamin pelayanan rehabilitasi medis dua kali sepekan.

Ia menilai hal tersebut dapat berakibat pada hasil terapi yang tak optimal. “Kondisi disabilitas menjadi sulit teratasi,” kata Ilham.

Bukan cuma pasien, lanjutnya, yang akan dirugikan oleh ketiga aturan itu adalah dokter, yang berpotensi melanggar sumpah dan kode etik. Karena, praktik kedokteran menjadi tak sesuai standard profesi.

Wewenang dokter dalam mengambil tindakan medis juga rawan diintervensi dan direduksi oleh pihak BPJS Kesehatan. Pada gilirannya, ketiga aturan tersebut juga berpotensi meningkatkan konflik antara dokter, pasien, dan penyelenggara fasilitas kesehatan. “Meningkatkan potensi gugatan dan tuntutan terhadap dokter,” tutur Ilham.

Lebih jauh Ilham menilai, ketiga aturan tersebut berpotensi melanggar Pasal 24 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Permenkes Nomor 76 Tahun 2016. Ketiga aturan itu juga tak mengacu pada Peraturan Presiden 19 Tahun 2016 tentang Jaminan Kesehatan.

Memang, disadari Ilham, ketiga aturan tersebut diterbitkan demi efisiensi BPJS Kesehatan. Namun, dia menilai, itu seyogianya tak mengorbankan mutu pelayanan dan membahayakan pelayanan kesehatan. “IDI mendorong terbitnya peraturan presiden tentang iuran atau urun bayar sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang SJSN,” katanya.

Pada Rabu lalu (1/8), Menteri Kesehatan, Nila Djuwita F. Moeloek mengungkapkan, pihaknya tengah menengahi persoalan ini. Nila membenarkan aturan BPJS Kesehatan yang baru meresahkan para dokter dan profesi.

“Kami di Kementerian Kesehatan mencoba menengahi. Memang, BPJS mengeluarkan peraturan yang meresahkan para dokter atau profesi,” kata Nila di Makassar, seperti diberitakan banyak media. Dijelaskan Nila, BPJS saat ini memang dalam kondisi defisit dan diharapkan dapat lebih efisien dengan adanya ketiga aturan tersebut.

Kinerja keuangan BPJS Kesehatan memang sedang ngos-ngosan. Pada 2017 lalu, jumlah pendapatan iuran dari program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) hanya sebesar Rp 74,25 triliun, sementara jumlah klaimnya mencapai Rp 84 triliun. Jadi, ada selisih iuran dan klaim sebesar Rp 9,75 triliun. Tapi, pihak BPJS Kesehatan tak mau mengatakan selisih tersebut sebagai defisit.

Menurut Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris, jika berbasis pada iuran dan klaim, selisihnya akan diperbaiki dengan pendekatan anggaran berimbang. “Jadi, kami menghindari istilah defisit itu,” kata Fachmi, 16 Mei 2018 lalu. [RAF]