Ide Hari Sarung dan Cibiran Fadli Zon

Koran Sulindo – Hadir di acara Festival Sarung Indonesia, Presiden Joko Widodo melontarkan gagasannya untuk membuat Hari Sarung serta rencana penggunaan sarung khas daerah masing-masing sebulan sekali.

Ide Hari Sarung itu bertujuan untuk mengajak masyarakat melestarikan sarung sebagai warisan kekayaan budaya yang tak dimiliki bangsa asing.

“Inilah sebuah kekayaan budaya yang tidak dimiliki bangsa lain, negara lain. Oleh sebab itu, saya akan mengajak nantinya ini baru kita akan tentukan setiap hari tertentu dalam satu bulan kita memakai sarung bersama-sama,” kata Jokowi di Plaza Tenggara, GBK, Jakarta Pusat, Minggu (3/3).

Penetapan ‘Hari Sarung’ tersebut bakal dilakukan jika Jokowi terpilih sebagai presiden Republik Indonesia untuk periode 2019-2024.

“Inilah kekayaan budaya kita yang kita harus tempatkan pada tempat yang paling baik sebagai penghargaan kita atas karya dan produksi setiap provinsi yang berbeda motif berbeda warna memiliki filosofi yang tinggi,” kata Jokowi.

Pada kesempatan tersebut Jokowi terlihat memakai baju kemeja lengan panjang berwarna putih dan kain sarung berwarna merah dari salah satu daerah di Indonesia. “Sore hari ini saya memakai sarung. Yang lain pakai sarung tidak?” kata dia.

Ide menerapkan Hari Sarung seperti yang diusulkan Jokowi itu menuai tanggapan positif Menteri Agama Lukman Hakim. Ia menyebut sangat mendukung rencana presiden yang akan mencanangkan pemakaian sarung dalam satu hari tertentu sebagai bentuk penghargaan terhadap budaya Indonesia.

Bahkan, ia mengusulkan agar pemakaian sarung dilakukan sesering mungkin dan usul tersebut sudah disampaikan kepada Jokowi. “Satu sampai dua minggu sekali sangat ideal,” kata Lukman usai meresmikan Gedung Pendidikan Terpadu IAIN Surakarta, Senin (4/3).

Menurut Lukman, pencanangan penggunaan sarung itu merupakan komitmen pemerintah dalam melestarikan budaya. Lagi pula, selama ini sarung juga banyak dikerjakan oleh usaha kecil dan menengah. “Semakin banyak digunakan, maka UKM juga akan semakin terbantu,” kata dia.

Tentu saja ide penetapan ‘Hari Sarung’ itu serta menuai tanggapan positif dari semua pihak. Salah satunyanya yang mencibir adalah, Wakil Ketua DPR Fadli Zon yang menganggap rencana itu tidak penting.

Ia bahkan menganggap penetapan Hari Sarung tersebut tidak bermutu. “Aduh enggak mutu lah,” kata Fadli di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (4/3).

Menurut Fadli, soal sarung tersebut adalah soal remeh temeh karena mestinya Jokowi berbicara hal-hal yang besar seperti bagaimana menciptakan pertumbuhan ekonomi 7 persen.

“Bagaimana menciptakan lapangan kerja, bukan bikin kartunya, kalau jurus-jurus kartu itu kan menurut saya itu jurus old-lah, jurus mabok itu,” kata Fadli.

Lebih lanjut ia membandingkan Jokowi dengan Prabowo yang setiap hari juga memakai sarung khususnya jika sedang berada di rumah. Namun menurut Fadli, Prabowo tak pencitraan dengan berfoto memakai sarung.

“Jadi, sarungan itu tradisi kita, saya sarungan, itu kaya orang baru jadinya. Padahal kita lakukan sudah banyak, sama kaya orang ngomong bhinneka tunggal ika, itu sudah selesai sejak zaman dulu, jadi kagetan persoalannya,” kata dia.

Perlawanan

Tentu boleh saja Fadli menganggap urusan sarung adalah urusan sepele. Namun bagi sebagian besar  masyarakat Nusantara, khususnya yang tinggal di pedesaaan soal sarung tak seremeh anggapan Fadli.

Di masa penjajahan Belanda, sarung identik dengan perjuangan melawan budaya barat yang dibawa orang-orang Eropa.

Sementara kaum nasionalis abangan hampir meninggalkan sarung, kaum santri merupakan masyarakat yang paling konsisten menggunakan sarung.

Sikap paling konsisten menggunakan sarung itu dijalankan oleh salah seorang pejuang yang juga merupakan tokoh penting pendirian Nahdhatul Ulama yaitu KH Abdul Wahab Hasbullah.

Sebagai seorang pejuang yang sudah berkali-kali terjun langsung bertempur melawan penjajah Belanda dan Jepang, Abdul Wahab tetap konsisten menggunakan sarung sebagai simbol perlawanannya terhadap budaya Barat.

Ia ingin menunjukkan harkat dan martabat bangsanya di hadapan para penjajah.

Bahkan suatu ketika saat ia diundang Presiden Soekarno dan diminta protokol kepresidenan berpakaian lengkap dengan jas dan dasi. Ia mamdukan untuk atasan dan sarung sebagai bawahannya. Padahal di masa itu lazim orang mengenakan jas dilengkapi dengan celana panjang.  [TGU]