Foto: #SaveOurBorneo
Foto: #SaveOurBorneo

OPINI – Pemerintahan Prabowo Subianto berniat mengembangkan Food Estate (lumbung pangan) skala besar, model pertanian yang sudah terbukti gagal diterapkan pada era pemerintahan Soeharto, Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo.

Pemerintah mengincar lahan hutan untuk dimanfaatkan sebagai cadangan pangan, energi, dan air. Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengungkapkan konsep baru ini akan menjadi dukungan langsung bagi program Kementerian Pertanian dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

“Kami sudah mengidentifikasi 20 juta hektare hutan yang bisa dimanfaatkan untuk cadangan pangan, energi, dan air,” katanya  usai rapat terbatas di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (30/12).

Untuk memenuhi ambisi itu, pemerintah berencana membuka 20 juta hektar hutan (lebih dari tiga kali luas Pulau Bali). Ini luasan yang jauh di luar hitungan nalar. Pemerintah sedang menabur angin untuk menuai bencana di kelak kemudian hari.

Food-estate adalah salah satu bentuk obsesi pada gigantisme, memandang produksi skala besar itu pasti efisien dan karenanya hebat. Pemikiran salah dan sesat.

Gagasan food-estate bertumpu pada prinsip bahwa hanya dengan skala besar, produksi pangan akan efisien dan dapat jumlah banyak. Tapi, orang yang belajar ekonomi akan tahu bahwa efisiensi bisa juga dicapai lewat skala kecil yang terawat dan terintegrasi.

Meski luas lahannya sempit, pertanian yang terintegrasi lebih efisien karena orang bisa memperoleh pupuk gratis, misalnya, dari kandang ternaknyanya sendiri. Lewat kerja sama model koperasi, petani-petani kecil juga bisa mendapatkan bibit serta sarana produksi lain lebih murah. Pertanian besar skala besar justru tidak efisien, banyak lahan yang terbengkelai.

Para ahli  menyarankan agar Negara  memperkuat pertanian keluarga skala kecil untuk mewujudkan swasembada dan ketahanan pangan. Pemerintah disarankan membantu petani-petani kecil meningkatkan produktivitas serta kesejahteraan mereka. Menjaga swasembada pangan mereka. Sehingga petani makin sejahtera, swasembada dan ketahanan pangan bisa lestari (sustainable).

Pertanian skala besar belum tentu efisien, dampak lingkungannya bisa sangat serius. Apalagi jika harus membuka hutan. Makin besar skala pertanian makin besar dampaknya terhadap lingkungan; begitu besar sehingga seringkali tak bisa dipulihkan kembali.

Jejak kegagalan proyek skala besar

Pemerintah harus belajar dari berbagai proyek nasional berskala besar:  mulai dari ‘proyek lahan gambut sejuta hektar’  di era Presiden Soeharto, proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan proyek Food Estate di era Joko Widodo.

Proyek tersebut  berakhir dengan kegagalan. Penyebab kegagalan ‘lahan gambut sejuta hektar’adalah kurangnya studi awal tentang kondisi alam. Lahan gambut terbukti tidak cocok untuk penanaman padi.

Proyek ini dilakukan tanpa adanya konsultasi dan analisa mendalam sehingga berakhir dengan bencana. Setelah lahan dibuka dan padi ditanam baru diketahui kalau tanah gambut terlalu asam dan kekurangan nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan padi.

Hutan terlanjur dihabisi dan kemudian menjadi awal dari bencana lingkungan besar di akhir abad ke-20. Keluarga transmigran yang ditempatkan pada kawasan tersebut meninggalkan lokasi. Selain itu, penduduk setempat mengalami kerugian akibat kerusakan sumber daya alam serta dampak hidrologi dari proyek tersebut.

Yang tersisa dari program ini adalah tanah gambut yang mengering. Ketika musim kemarau lahan gambut ini terbakar. Kebakaran lahan gambut telah menyebabkan polusi udara yang parah dan krisis kesehatan masyarakat di wilayah Kalimantan hingga negara tetangga.

Begitu pula program MIFEE di era SBY. Tujuannya adalah menjamin swasembada Indonesia dalam hal pangan dan energi. Pertentangan awal sudah muncul, proyek ini dikata sebagai program Jawasentris yang berupaya menciptakan lahan pertanian penghasil beras, tebu, jagung dan sawit yang semuanya digunakan untuk penduduk Jawa, bukan rakyat Papua. Alhasil, masyarakat Papua yang sehari-hari makan sagu pun kehilangan sumber pangan utamanya karena lahan sagu diubah jadi persawahan/perkebunan.  Pada akhirnya, proyek ini juga gagal memproduksi tumbuhan pangan dalam jumlah besar.

Proyek MIFEE hampir tidak menghasilkan pangan atau energi. Hutan dan lahan terlanjur dibuka,  dan telah diubah menjadi perkebunan jagung, sawit atau akasia.

Program Food Estate di era Presiden Joko Widodo dalam upaya pengembangan lumbung pangan, sebagai cadangan strategis pangan. Tidak belajar dari kegagalan proyek lahan gambut sejuta hektar,  Food Estate era Jokowi kembali dikembangkan di Kalimantan Tengah dan di Merauke, Papua. Dari kedua wilayah tersebut hingga sekarang tidak tampak hasil seperti yang diharapkan.

Dari contoh tiga era pemerintahan Indonesia yang telah mencoba program ‘lumbung pangan’ dalam skala besar, hasilnya jauh dari harapan. Dan sekarang akan ditiru kembali oleh pemerintahan Prabowo Subianto.

Hutan sebagai penyangga kehidupan

Sekali lagi perlu dipahami, keberadaan hutan tidak boleh dianggap kosong. Hutan adalah lahan yang paling berharga di dunia karena di dalamnya terdapat ratusan bahkan ribuan flora fauna, termasuk juga manusia dalam kelompok masyarakat adat. Penduduk dan masyarakat adat setempat yang bakal terdampak dengan dibabatnya hutan dan diubah jadi lahan pangan/pertanian monokultur. Masyarakat setempat bakal kehilangan sumber utama kehidupan, budaya dan tradisi mereka.

Hutan adalah bagian dasar kehidupan. Menghancurkan hutan adalah menghancurkan kehidupan. Hutan tidak hanya berisi kayu yang bisa ditebang dan dijual. Hutan berisi aneka flora, fauna, ganggang, lumut, jamur dan sekian juta renik serta serangga. Semua itu telah lama menjadi kawan kehidupan manusia.

Dengan menjaga keragaman hayati hutan kita bisa menjaga keberlangsungan hidup. Dan kehidupan adalah “komoditas” paling mahal; lebih mahal dari kayu yang bisa ditebang, pangan yang bisa dipanen dan minyak yang bisa kita peras.

Mengubah hutan menjadi lahan pertanian/perkebunan dalam skala besar bukan ide yang bagus untuk dilakukan. Menjaga kelestarian hutan jauh lebih berharga bagi kehidupan. [KS]