Ibu Kota Segera Dipindahkan dari Jakarta

Ilustrasi/setkab.go.id

Koran Sulindo – Presiden Joko Widodo mengatakan gagasan pemindahan ibu kota negara sudah dinyatakan sejak zaman Presiden Soekarno tapi wacana tersebut timbul tenggelam karena tidak pernah diputuskan. Menurut Presiden Jokowi, jika semua sepakat akan menuju negara maju pertanyaan pertama terutama yang harus dijawab adalah apakah di masa yang akan datang DKI Jakarta sebagai ibu kota negara mampu memikul 2 beban sekaligus, yaitu sebagai pusat pemerintahan dan layanan publik dan sekaligus sekaligus pusat bisnis.

“Sekali lagi, kita ingin kita berpikir visioner untuk kemajuan negara ini. Kita harus berbicara tentang kepentingan yang lebih besar untuk bangsa, negara, dan kepentingan visioner dalam jangka yang panjang sebagai negara besar dalam menyongsong kompetisi global,” kata Jokowi, pada Rapat Terbatas tentang tentang Tindak Lanjut Rencana Pemindahan Ibu Kota, di Kantor Presiden, di Jakarta, Senin (29/4/2019), seperti dikutip setkab.go.id.

Beberapa negara mengantisipasi perkembangan negaranya memindahkan pusat pemerintahannya, antara lain Malaysia, Korea Selatan, Brazil, Kazakhstan, dan Myanmar. Namun memindahkan ibu kota memerlukan persiapan yang matang, persiapan yang detail, baik dari sisi pilihan lokasi yang tepat termasuk dengan memperhatikan aspek geopolitik, geostrategis, kesiapan infrastruktur pendukungnya, dan pembiayaannya.

“Tapi saya meyakini insyaallah kalau dari awal kita persiapkan dengan baik, maka gagasan besar ini akan bisa kita wujudkan,” kata Jokowi.

Luar Jawa di Wilayah Tengah Indonesia

Sementara itu Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, mengatakan terdapat 3 alternatif dalam kajian rencana pemindahan Ibu kota negara dari Jakarta itu.

Alternatif pertama adalah ibu kota tetap di Jakarta tetapi dibuat government district atau distrik khusus untuk pemerintahan, yaitu daerah di seputaran istana dan Monas dan sekitarnya itu akan dibuat khusus hanya untuk kantor pemerintahan, khususnya kementerian lembaga.

“Itu adalah alternatif pertama yang berarti harus tentunya mengubah peruntukan di wilayah seputaran Istana dan Monas,” kata Bambang, di Istana Negara Jakarta, Senin (29/4/2019), seperti dikutip setkab.go.id.

Kerugian alternatif pertama ini adalah hanya akan menguatkan Jakarta sebagai pusat segalanya di Indonesia dan dikhawatirkan dampak urbanisasi terhadap pertumbuhan ekonomi tidak optimal.

Untuk alternatif pertama ini harus dibuat konektivitas dengan LRT atau monorel sehingga mudah untuk bergerak di antara kantor kementerian/lembaga di seputaran istana dan Monas.

Alternatif kedua, seperti dilakukan Malaysia dengan memindahkan pusat pemerintahan ke wilayah dekat Jakarta, misalnya di seputaran Jabodetabek, tentunya dengan ketersediaan lahan. Kelemahannya adalah tetap membuat perekonomian Indonesia terpusat di daerah Jakarta dan sekitarnya atau wilayah Metropolitan Jakarta.

Untuk alternatif kedua, alternatifnya radius 50 sampai 70 km dari Jakarta, misalkan daerah yang pernah dibahas zaman Presiden Soeharto yaitu Jonggol-Jawa Barat maupun daerah Maja yang ada di Banten.

Alternatif ketiga, memindahkan ibu kota langsung ke luar Jawa, seperti contoh misalkan Brazil yang memindahkan dari Rio de Janeiro ke Brasilia yang jauh di pusat negara itu dekat hutan Amazon, kemudian Canberra di antara Sydney dan Melbourne. Demikian juga Astana-Kazakhstan karena ibu kotanya ini dipindah lebih dekat ke arah tengah dari negaranya dan Naypyidaw yang juga lebih ke dalam negara Myanmar.

“Nah kemudian ketiga, memindahkan ibu kota ke luar Jawa. Intinya kita ingin lebih menyebarkan perekonomian Indonesia, tidak hanya terpusat di Pulau Jawa yang saat ini menyumbang 58% dari PDB tapi juga mulai bergerak untuk membuat kegiatan tambahan di luar Jawa,” katanya.

Syarat utama alternatif ketiga ini adalah ketersediaan lahan yang luas karena pada intinya adalah membangun kota baru, dan tentunya akan dibutuhkan biaya yang tidak sedikit di samping tentunya para pegawai negeri (aparatur sipil negara/ASN) harus juga pindah dari posisi mereka sekarang di Jakarta ke kota baru tersebut.

Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengusulkan memindahkan keluar Pulau Jawa di lokasi yang secara geografis ada di tengah wilayah Indonesia.

“Tengah ini adalah memperhitungkan Barat ke Timur maupun Utara ke Selatan untuk merepresentasikan keadilan dan mendorong percepatan pembangunan khususnya wilayah kawasan Timur Indonesia. Jadi kita dorong ibu  kota yang Indonesiasentris,” katanya.

Pemerintah juga memiliki lahan luas yang bisa langsung dibangun tidak lagi memerlukan biaya pembebasan.

Ibu kota baru itu juga harus bebas bencana gempa bumi, gunung berapi, tsunami, banjir, erosi maupun kebakaran hutan dan lahan gambut. Selain itu, harus tersedia sumber daya air yang cukup dan bebas pencemaran lingkungan.

Untuk efisiensi dalam investasi awal infrastruktur, Menteri PPN/Kepala Bappenas itu mengusulkan lokasi ibu kota baru tersebut dengan kota yang sudah ada (existing), kota kelas menengah yang sudah existing.

“Maksudnya kota yang sudah punya akses mobilitas atau logistik. Misalkan kita tidak perlu membangun bandara baru di kota tersebut, bisa menggunakan bandara yang sudah ada demikian juga pelabuhan dan sebagian jalan connecting,” katanya.

Ibu kota baru itu juga tidak jauh dari pantai karena bagaimanapun Indonesia adalah negara maritim.

Untuk meminimumkan potensi konflik-konflik sosial, masyarakat di sekitar wilayah tersebut mempunyai budaya yang terbuka terhadap pendatang, karena bagaimanapun nanti ASN ini akan berdatangan dari Jakarta ke kota baru tersebut.

“Dan kemudian dari sisi pertahanan keamanan, kita harus memastikan perimeternya sesuai, yaitu untuk meminimumkan vulnerability dari state dan juga untuk menjaga wilayah teritorialnya dan tidak dekat dengan wilayah perbatasan negara,” kata Bambang.

Pusat Bisnis Tetap di Jakarta

Menurut Bambang, Presiden memilih alternatif ketiga, yaitu memindahkan ibu kota ke luar Jawa.

“Jadi ini barangkali salah satu keputusan penting yang dilahirkan hari ini dan tentunya akan dilanjutkan Ratas berikutnya yang akan bicara lebih teknis, bicara desain, dan bicara mengenai masterplan dari kota itu sendiri,” kata Bambang.

Bambang juga mengatakan banyak faktor yang menjadi pertimbangan perlunya memindahkan Ibu kota negara dari DKI Jakarta. Saat ini Jakarta menjadi kota terburuk keempat berdasarkan kondisi lalu lintas saat sibuk dari 390 kota yang disurvei. Peringkat 9 terburuk untuk kepuasan pengemudi, serta kinerja kemacetan terburuk, 33.240 Stop-Start Index serta grid lock yang mengakibatkan komunikasi dan koordinasi antar kementerian lembaga kadang-kadang tidak efektif.

“Kerugian ekonomi yang diakibatkan tahun 2013 sebesar 56 triliun per tahun, yang kami perkirakan angkanya sekarang sudah mendekati Rp100 triliun per tahun dengan makin beratnya kemacetan di wilayah Jakarta,” kata Bambang.

Selain masalah kemacetan, masalah lain adalah banjir, yang tidak hanya banjir yang berasal dari hulu, tetapi juga ada penurunan muka tanah di pantai utara Jakarta, dan kenaikan permukaan air laut di mana 50% wilayah Jakarta itu kategorinya rawan bajir atau memiliki tingkat kerawanan banjir di bawah 10 tahunan. Idealnya sebuah kota besar kerawanan banjirnya bisa minimum 50 tahunan.

Jakarta sekarang ini dalam sejarah berasal dari Batavia yang dibangun oleh VOC sebagai kota pelabuhan untuk perdagangan dan perkebunan dan kemudian dikembangkan menjadi pusat pemerintahan dari pemerintahan kolonial Belanda.

“Karenanya kita ingin nantinya ingin punya ibu kota baru. Selain mencerminkan identitas Indonesia juga menjadi kota yang modern, berkelas internasional atau dengan istilah simpelnya smart, green, and beautiful city,” katanya.

Posisi ibu kota baru hanya untuk pusat pemerintahan, yaitu eksekutif, kementerian/lembaga, legislatif parlemen (MPR/DPR/DPD), kemudian yudikatif; kejaksaan, Mahkamah Konstitusi (MK) dan seterusnya, kemudian pertahanan keamanan; Polri-TNI, serta kedutaan besar dan perwakilan organisasi internasional yang ada di Indonesia.

Adapun fungsi jasa keuangan, perdagangan dan industry, menurut Menteri PPN/Kepala Bappenas itu, tetap akan di Jakarta, misalkan Bank Indonesia, OJK (Otoritas Jasa Keuangan), BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal).

“Ini konsep yang kita coba tiru dari beberapa best practice yang sudah dilakukan di negara lain,” katanya.

Tujuan pembangunan ibu kota baru adalah pemisahan pusat bisnis dan pusat pemerintahan.

“Jakarta tetap akan menjadi pusat bisnis bahkan harus sudah menjadi pusat bisnis yang levelnya regional atau level Asia Tenggara,” kata Bambang.

Anggaran Rp323 – Rp466 Triliun

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan biaya yang dibutuhkan untuk memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke kota lain di luar Pulau Jawa ini sekitar Rp323 hingga Rp466 triliun.

Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan sumber pembiayaan bisa berasal dari 4 sumber, yaitu dari APBN khususnya untuk initial infrastructure dan juga fasilitas kantor pemerintahan dan parlemen, kemudian dari BUMN (Badan Usaha Milik Negara) untuk infrastruktur utama dan fasilitas sosial. Kemudian KPBU, Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha untuk beberapa unsur utama dan juga fasilitas sosial, dan swasta murni khususnya yang terkait dengan properti perumahan dan fasilitas commercial.

Untuk merealisasikan pemindahan ibu kota ini harus dibentuk badan otorita yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Nanti badan ini mengelola dana investasi pembangunan kota baru, serta melakukan kerja sama baik dengan BUMN maupun swasta. Selain juga mengelola aset investasi dan menyewakan aset tersebut kepada instansi  pemerintah atau pihak ketiga, serta mengelola proses pengalihan aset pemerintah di Jakarta untuk membiayai investasi pembangunan kota baru.

Badan otorita ini juga harus melakukan persiapan  dan pembangunan dari menyusun struktur pola tata ruang, membangunan infrastrukturnya dan gedung fasilitas pemerintahan, mengendalikan proses pembangunan sarana prasarana, serta mengelola dan memelihara gedung dan fasilitas publik lainnya. [Didit Sidarta]