Ibnu Hadjar (Wikipedia)

Sejarah Indonesia dipenuhi dengan kisah-kisah perjuangan yang penuh liku, termasuk tokoh-tokoh yang mengalami perubahan haluan dari pahlawan menjadi pemberontak. Salah satu sosok yang mencerminkan kompleksitas ini adalah Ibnu Hadjar. Dari seorang pejuang gerilya yang mempertahankan kemerdekaan, ia kemudian menjadi pemimpin pemberontakan DI/TII di Kalimantan.

Perjalanannya yang berliku tidak hanya mencerminkan kegigihan seorang prajurit, tetapi juga memperlihatkan bagaimana kebijakan pasca-kemerdekaan dapat mempengaruhi nasib para mantan pejuang. Untuk memahami lebih dalam tentang sosok Ibnu Hadjar, mari kita telusuri perjalanan hidupnya dari awal hingga akhir.

Kehidupan Awal Ibnu Hadjar

Menurut catatan Ensiklopedia Sejarah Indonesia, Ibnu Hadjar, yang memiliki nama asli Haderi, lahir pada April 1920 di Ambutun, Telaga Langsat, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Ia berasal dari keluarga sederhana; ayahnya bernama Umar, sementara ibunya, Siti Hadijah, adalah putri seorang kepala suku Dayak di daerah Tamiang Layang, Kalimantan Tengah. Sejak kecil, Ibnu Hadjar dikenal sebagai sosok yang keras, pemberani, dan religius. Ia mampu membaca dan mengajarkan Al-Qur’an serta kitab Perukunan Melayu karya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Kealimannya dalam beragama membuatnya dihormati di kampungnya.

Sebelum Jepang masuk ke Indonesia, Ibnu Hadjar menghabiskan hari-harinya sebagai petani dan pencari madu lebah pohon. Namun, kehidupannya berubah drastis ketika ia terlibat dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari agresi Belanda. Ia bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan berperan sebagai gerilyawan. Dalam catatan sejarah, ia tercatat sebagai Letnan Dua di Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Divisi IV. Ia aktif memimpin satuan gerilya di sekitar Kandangan, Kalimantan Selatan, dan berjuang bersama Hasan Basry untuk menegaskan bahwa Kalimantan Selatan dan Tenggara adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Namun, karier militernya berakhir pada penghujung tahun 1949 ketika pemerintah melakukan reorganisasi dan rasionalisasi TNI dan ALRI IV. Banyak anggota diberhentikan karena tidak memenuhi persyaratan administratif, termasuk Ibnu Hadjar yang buta huruf aksara Latin. Keputusan ini membuatnya kecewa, terutama karena ia hanya diberi sejumlah uang dan kain, sementara mantan polisi Belanda justru mendapat posisi dalam pemerintahan baru. Kekecewaannya semakin memuncak ketika jabatan strategis di Kalimantan Selatan mulai diisi oleh orang-orang dari luar daerah.

Pemberontakan Ibnu Hadjar dan DI/TII

Kekecewaan mendalam terhadap pemerintah mendorong Ibnu Hadjar untuk membentuk Kesatuan Rakjat jang Tertindas (KRjT) pada Maret 1950. Kelompok ini mulai melakukan serangan terhadap pos-pos TNI. Alih-alih melemah, jumlah pengikutnya justru bertambah hingga mencapai 250 orang, yang sebagian besar adalah mantan pejuang gerilya yang merasa ditinggalkan pemerintah.

Pada tahun 1957, KRjT secara resmi bergabung dengan gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpin oleh Sekarmaji Maridjan Kartosuwiryo. Ibnu Hadjar diangkat sebagai Panglima Angkatan Perang Tentara Islam (APTI) wilayah Kalimantan. Sumber lain menyebutkan bahwa ia baru bergabung pada tahun 1954 setelah mendapat ajakan langsung dari Kartosuwiryo. Dalam struktur Negara Islam Indonesia (NII), ia didapuk sebagai Menteri Negara, bersama Daud Beureu’eh dari Aceh sebagai Wakil Presiden dan Kahar Muzakkar dari Sulawesi sebagai Wakil Menteri Pertahanan.

Perlawanan dan Akhir Pemberontakan

Meskipun telah menyatakan kesetiaan kepada DI/TII, pergerakan Ibnu Hadjar relatif pasif pada awalnya. Bahkan, Pemilu 1955 tetap berlangsung lancar di Kalimantan Selatan meskipun KRjT sempat mengancam akan mengganggu jalannya pemilihan. Baru setelah KRjT membentuk divisi-divisi perlawanan di berbagai daerah, konflik mulai memanas. Taktik ini cukup efektif hingga membuat pemerintah pusat kewalahan.

Pada tahun 1955, Presiden Sukarno dalam pidatonya di Banjarmasin meminta Ibnu Hadjar dan pasukannya untuk menyerah. Namun, Ibnu Hadjar menolak dan justru memperkuat kekuatannya. Pemerintah akhirnya mengerahkan pasukan tambahan untuk menumpas kelompoknya. Pemberontakan ini berlangsung hingga tahun 1963, ketika Ibnu Hadjar akhirnya ditangkap.

Pada 11 Maret 1965, Ibnu Hadjar dijatuhi hukuman mati atas tindakannya melawan pemerintahan yang sah. Ibnu Hadjar meninggal dunia pada 22 Maret 1965, di usia 44 tahun. Kisahnya menjadi salah satu babak kompleks dalam sejarah perlawanan di Indonesia, di mana seorang mantan pejuang kemerdekaan berubah haluan menjadi pemimpin pemberontakan akibat kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah pasca-kemerdekaan.

Ibnu Hadjar adalah figur yang penuh kontradiksi dalam sejarah Indonesia. Ia memulai perjalanan sebagai seorang patriot yang berjuang mempertahankan kemerdekaan, namun kemudian berbalik melawan pemerintah yang ia bela. Keputusannya bergabung dengan DI/TII bukan sekadar bentuk perlawanan ideologis, tetapi juga ekspresi kekecewaan terhadap sistem yang dirasakannya tidak adil bagi para pejuang gerilya di Kalimantan. Kisahnya menjadi refleksi tentang bagaimana kebijakan politik pasca-kemerdekaan dapat membentuk atau bahkan menghancurkan seorang tokoh sejarah. [UN]