Ilustrasi

Koran Sulindo – Tak banyak yang tahu, George Junus Aditjondro adalah salah seorang pendiri Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) pada awal 1980-an. Ceritanya bermula sejak perubahan politik pada pertengahan 1960-an. Saat itu George menjadi wartawan di harian “Kami”, media berpengaruh terbitan Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI).

Selepas itu ia menjadi wartawan majalah Tempo antara 1971-1979. George di desk ekonomi bisnis di bawah Fikri Jufri, sebelum naik menjadi redaktur teknologi dan lingkungan. Di desk baru itu mulailah pergaulannya dengan aktivis lingkungan.

Keluar dari Tempo ia mendedikasikan diri untuk memberdayakan komunitas pertanian, dengan mendirikan Sekretariat Bina Desa, bersama Bambang Ismawan, Prof. Sayogo, dan Abdullah Sarwani. Tak lama kemudian ia membantu pendirian Walhi. Berkat aktivitasnya melakukan kampanye lingkungan hidup dinilai berhasil pada 1987 George dianugerahi Kalpataru; kelak ia kembalikan karena pemerintahan Soeharto dinilainya tak adil.

Cerita itu kembali muncul dalam acara “Mengenang George” yang diselenggarakan di kantor Walhi, Jalan Tegal Parang, Jakarta Selatan, akhir pekan lalu.

Tak banyak yang tahu juga bahwa George mempunyai saudara angkat bernama Ali Moertopo. Ali yang salah satu orang yang membangun keperkasaan Orde Baru terakhir adalah Menteri Penerangan di zaman Presiden Soeharto dan Kepala Operasi Tertib, lembaga ekstra struktural dengan kekuasaan besar.

Banyak orang hanya tahu George adalah detektif yang tekun dengan misi menyelidiki harta-harta kekayaan Presiden Republik Indonesia sejak Soeharto hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Memang buku-buku risetnya tentang harta karun para presiden itu membuat namanya sering diberitakan.

Karya pertama George dalam ‘genre’ ini terbit pada 1994-1995, Tulisannya yang menyoroti bisnis Keluarga Cendana yang menurutnya sarat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme kemudian dibukukan dan menjadi sumber utama laporan majalah Time Amerika Serikat, ’Soeharto Inc’.

Ia juga aktif juga menulis soal bisnis militer dan lingkungan hidup. Puluhan buku dan seratusan kertas kerja serta banyak lagi tulisan jurnalistik telah dihasilkannya

George lahir pada 27 Mei 1946 dari ayah Jawa dan ibu Belanda. Ayahnya, Harjono Aditjondro, adalah sarjana hukum lulusan Universitas Leiden. Sempat sebentar menjadi advokat partikelir, ayah George lalu memilih menjadi hakim.

George tumbuh berpindah-pindah seperti pekerjaan bapaknya. Ia pernah tinggal di Pekalongan, Pontianak, Banyuwangi, Makassar, Salatiga and Semarang. Ia juga berpindah-pindah universitas, tapi tak satu pun yang diselesaikannya. Namun jebolan Universitas Satya Wacana Salatiga itu menyelesaikan pendidikan master dan doktornya di Univesitas Cornell University di Ithaca, New York, Amerika Serikat, dengan disertasi pembangnan waduk Kedung Ombo Jawa Tengah yang menyengsarakan masyarakat sekitar.

Ia harus meninggalkan Indonesia ke Australia dari tahun 1995 hingga 2002 dan dicekal oleh rezim Soeharto pada Maret 1998. Di Australia ia menjadi pengajar di Universitas Newcastle dalam bidang sosiologi.

Pad 2009, bukunya Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century menggegerkan Indonesia, tak lama setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memasuki periode jabatan lima tahun kedua. Buku itu ditarik dari toko-toko walau tak ada keputusan Jaksa agung melarang peredaran buku itu.

Menurut Aditjondro, setelah SBY menjadi presiden pada tahun 2004 dan terpilih kembali pada Pilpres 2009, ada banyak yayasan membonceng di Cikeas. Dua yayasan itu di antaranya Yayasan Puri Cikeas dan Yayasan Kesetiakawanan Dan Kepedulian (YKDK) yang diketuai Jero Wacik.

Dari penelusuran yayasan-yayasan itu bukan di tangan orang-orang yang punya latar belakang khusus bidang kemanusiaan, tapi terdiri sejumlah menteri, mantan menteri, purnawirawan perwira tinggi yang kebanyakan seangkatan dengan SBY, sejumlah pengusaha dan anggota keluarga besar SBY-Ani Yudhoyono yang terjun ke bisnis.

Dengan melakukan audit pada yayasan seperti Yayasan Puri Cikeas, Yayasan Mutu Manikam Nusantara, Majelis Dzikir SBY, dan Yayasan Kepedulian dan Kesetiakawanan, maka publik bisa tahu berapa besar dana yang masuk serta darimana sumbernya.

Usai Soeharto lengser, sejumlah aktivis, pengacara, dan pegiat sosial lainnya membentuk Solidamor (solidaritas Indonesia untuk penyelesaian damai Timor Leste), pada 14 Juli 1998. Mereka mendaulat tiga tokoh yang cukup dekat dengan isu Timor Leste yaitu Lukman Soetrisno, Romo Mangun Wijaya, dan George J Aditjondro. Bagi aktivis Timor Leste, nama GJA sudah tak asing lagi. Ia bahkan mempunyai nama perang atau samaran “Kamarada Railakan”

Sebelum menikahi Erna, George sudah pernah menikah dengan Bernadetta Esti. Dari istri pertama, George dikaruniai seorang anak lelaki, Enrico Suryo Aditjondro. Setelah bercerai dari Bernadetta, ia menikah dengan Erna Tenge, akademisi perempuan kelahiran 1956 dari Fakultas Ekonomi, Universitas Tadulako.

George terkena stroke setelah serangan jantung kedua pada 2012. Ia sempat dirawat selama dua bulan di Rumah Sakit Bethesda Yogya, sebelum akhirnya pindah ke Rumah Sakit Umum Pusat Sardjito Yogya selama satu bulan.

George adalah pekerja keras yang militan. Oleh teman-temannya ia dikenal bangun paling pagi dan tidur paling larut.

George meninggal dalam perawatan di Rumah Sakit Bala Keselamatan, di Jalan Woodward, Palu

Semasa hidup, George dikenal karena penampilannya yang bohemian: hampir selalu berkaos oblong dan rambut panjang.

George meninggal pada 10 Desember, bertepatan dengan hari hak asasi manusia Internasional. “Ini humor terakhir papa,” kata Enrico. Pemakaman detektif tekun itu diiringi lagu Darah Juang. [Didit Sidarta]