Franky mengatakan, pencapaian ini menunjukan kinerja investasi sudah sesuai dengan target Rp 3.500 triliun selama lima tahun. Begitu pula dengan realiasi investasi, dia optimistis akan terdongkrak. “Kalau tahun lalu rasio realisasi investasi Tiongkok hanya 7%, tahun ini rasionya kami targetkan jadi 50%. Target ini didasarkan atas rata-rata rasio investasi semua negara,” paparnya. Sebagai gambaran, rasio realisasi investasi Tiongkok pada triwulan I 2016 naik sekitar 18% dibandingkan periode sama tahun 2015.
Selain investasi, sektor perdagangan antara kedua negara juga mengalami pertumbuhan. Keterbukaan pasar membuat produk asal Tiongkok makin mendominasi pasar barang konsumsi maupun barang modal di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, sepanjang Januari-April 2016, seperempat impor Indonesia berasal dari Tiongkok, meliputi mesin/pesawat mekanik, mesin/peralatan listrik, besi dan baja, bahan kimia organik/anorganik, plastik dan barang dari plastik, filament buatan, pupuk, serta onderdil kendaraan.
“Impor terbesar (Januari-April 2016) dari Tiongkok, yakni senilai 9,65 miliar dollar AS atau 25,76% dari total impor non migas yang sebesar 37,47 miliar dollar AS,” ungkap Deputi Bidang Statistik, Distribusi, dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo.
Alhasil, hubungan mesra RI-Tiongkok menimbulkan rasa “cemburu” Amerika Serikat dan Jepang. Bahkan bukan tidak mungkin, relasi RI dengan Paman Sam dan Samurai Biru sedang di persimpangan jalan. Hal ini ditenggarai dengan sikap Jepang yang mulai menarik perusahaannya untuk hengkang dari Indonesia, paska kekalahan tender proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Sementara Amerika Serikat melalui Uni Eropa menghentikan hibah kepada Indonesia dan mengalihkan ke negara lain.
Era kepemimpinan Jokowi-Jusuf Kalla menggeser dominasi Amerika Serikat dan Jepang dalam konfigurasi ekonomi politik global Indonesia. Jokowi punya opsi untuk menjalin hubungan ekonomi lebih intens dengan Tiongkok. Tak pelak, banyak kalangan menilai kebijakan Jokowi “bermesraan” dengan Tiongkok seolah-olah menghidupkan kembali poros Jakarta-Pyongyang-Hanoi-Peking yang dicanangkan Presiden Soekarno tahun 1964.
Seperti disampaikan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro di acara “Mandiri Investment Forum (MIF) 2016, Optimizing Private Sector and Local Goverment Contribution,” yang digelar di Jakarta, awal 2016 lalu. “Indonesia harus tetap harus menjaga hubungan baik dengan Tiongkok. Bahkan, sepertinya ke depan harus bisa lebih erat dan mesra, terutama bila Indonesia masih ingin berjuang menjadi negara maju di dunia,” ujarnya.
Selain perdagangan, peluang lainnya adalah investasi. Tiongkok, katanya, memiliki dana yang besar dan sudah menawarkan investasi mereka. Indonesia berpeluang menarik dana tersebut dalam hal investasi. Strategi kita harus bergeser dari trading ke investasi. “Jadi sekarang, merupakan tantangan kita untuk menarik investasi potensi dari Tiongkok untuk ditanam ke Indonesia. Bagaimana kita bisa membuat komitmen investasi dari Tiongkok menjadi realisasi,” tandas Menkeu. [ARS]