Warga menggunakan smartphone berjalan melewati papan Taman 5G di markas Huawei Technologies Co. di Shenzhen, China - Bloomberg
Warga menggunakan smartphone berjalan melewati papan Taman 5G di markas Huawei Technologies Co. di Shenzhen, China - Bloomberg

RAKSASA TEKNOLOGI China Huawei dan ZTE mungkin telah mengukir peran dominan mereka di pasar telekomunikasi Indonesia yang luas, tetapi para pelaku industri sangat meragukan klaim bahwa pemerintah Jakarta telah membiarkan berkompromi di bidang keamanan siber.

Banyak perusahaan China menghadapi protes atas kekhawatiran pengambilan pekerjaan lokal. Huawei dan (pada tingkat lebih rendah) ZTE tidak mengalami nasib seperti itu. Juga tidak ada koalisi luas dari suara di Indonesia yang menentang penggunaan teknologi China dalam infrastruktur telekomunikasi yang penting.

Dalam sebuah wawancara dengan para peneliti, seorang pejabat senior Indonesia dikutip mengeluh: “Jika kita terus-menerus takut, pembangunan kita akan mandek.”

Menurut salah satu laporan penelitian swasta, di peringkat teratas Huawei memiliki 31,7% dari pasar peralatan operator telekomunikasi Indonesia, dengan Nokia menempati posisi kedua dengan 14%.

Raksasa teknologi China telah melampaui penjualan peralatan sederhana, termasuk dengan peluncuran 5G. Huawei juga telah memulai upaya pengembangan kapasitas besar-besaran untuk mengatasi kurangnya keamanan siber dan teknologi terkini.

“Risiko keamanan siber terbesar dari perspektif Indonesia adalah bahwa lingkungan online-nya tidak cukup kompetitif untuk menciptakan lapangan kerja yang memadai atau bahwa lingkungan keamanan siber terlalu tidak aman bagi rata-rata orang Indonesia untuk mempercayainya,” kata para penulis.

“Masih ada aktivitas dunia maya yang memfitnah China, tetapi risiko tersebut tetap tidak sebanding dengan berbagai tantangan keamanan lain yang jauh lebih mendesak,” lanjut mereka, menunjuk pada jajak pendapat Lowy Institute yang mencantumkan kerusuhan internal, Covid-19, terorisme dan kekurangan pangan hanyalah beberapa dari ancaman yang dirasakan lebih besar.

Namun demikian, Buku Putih Pertahanan 2008 adalah yang pertama mengakui kerentanan keamanan siber Indonesia karena kerentanannya terhadap kejahatan siber, tumbuh seiring dengan jumlah pemakai berbasis internet dan telepon seluler yang berkembang pesat, yang kini mendekati 200 juta pengguna.

Studi tersebut berpendapat bahwa ketergantungan siber dan teknologi mungkin tidak hanya mengubah Indonesia menjadi pasar yang berkembang pesat untuk produk asing, tetapi juga mempersulit pengelolaan “atas potensi ancaman teknologi yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu untuk melemahkan Indonesia.”

Harga yang lebih murah telah memberi Huawei keunggulan signifikan atas persaingannya, tetapi itu hanya sebagian dari cerita. Tercatat bahwa perusahaan tersebut juga telah menawarkan keamanan siber yang “sangat besar” dan program pelatihan terkait lainnya untuk kelompok mulai dari pejabat senior pemerintah hingga pelajar di pedesaan Indonesia.