Koran Sulindo – Setelah memperingati Hari Tani Nasional (HTN) secara serentak di 18 provinsi pada 25 September lalu, Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) menolak terlibat dalam aksi peringatan HTN oleh Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) pada Rabu (27/9) hari ini. Pasalnya, tuntutan AGRA dan KNPA mengenai reforma agraria secara prinsip berbeda.
Ketua Umum AGRA Rahmat menuturkan, KNPA merupakan aliansi berbagai organisasi petani dan lembaga swadaya masyarakat. Adapun perbedaan tuntutan mengenai reforma agraria itu, AGRA konsisten menolak reforma agraria Joko Widodo – Jusuf Kalla. Tuntutan tersebut telah disampaikan pada aksi 25 September lalu di depan Istana Negara.
“Kami menuntut program ini dihentikan. Sikap AGRA pada dasarnya tidak akan mendorong atau memperkuat rencana dan implementasi skema reforma agraria pemerintah Jokowi bukanlah reforma agraria sejati sebagaimana aspirasi kaum tani dan rakyat Indonesia,” kata Rahmat dalam keterangan resminya pada Rabu (27/9).
Menurut Rahmat, pihaknya menilai program reforma agraria dan Perhutanan Sosial pemerintahan Jokowi-JK sama sekali tidak bertujuan mengurangi atau menghapus monopoli tanah oleh tuan tanah besar dalam berbagai bentuk. Monopoli tanah itu antara lain oleh perkebunan besar milik swasta atau pemerintah sebagai agen dari modal internasional milik kapitalis monopoli (Imperialisme).
Pula penguasaan tanah luas oleh konsesi pertambangan, taman nasional dan perusahaan konservasi sama sekali tidak tersentuh. Sedangkan, reforma agraria sejati adalah aspirasi sejati rakyat yang menghendaki terwujudnya keadilan atas hak kepemilikan tanah dan kebebasan akses atas sumber daya alam di Indonesia, dan terhapusnya setiap bentuk monopoli, baik monopoli atas tanah, monopoli sarana produksi dan produksi pertanian hingga distribusi.
“Sebuah aspirasi objektif yang melekat dalam kaum tani, rakyat dan bangsa Indonesia,” tutur Rahmat.
Lebih lanjut Rahmat menjelaskan, program Jokowi tidak memiliki perhatian atas masalah sewa tanah yang mencekik, sistem bagi hasil yang timpang dan tidak adil bagi tani miskin di pedesaan. Justru reforma agraria Jokowi akan memperdalam dan memperluas peribaan di pedesaan dengan mempromosikan pembagian sertifikat untuk digadaikan.
Dengan syarat produksi input dan output pertanian Indonesia yang sangat buruk, kredit bagi kaum tani adalah petaka terbesar, kata Rahmat. Itu sebabnya, program ini sama sekali tidak menjawab persoalan upah buruh tani yang sangat rendah, monopoli input dan output pertanian sehingga kian meneguhkan negara sebagai tuan tanah melalui program Perhutanan Sosial dengan luas 12,7 juta hektare. Reforma agraria sejati harus mampu menurunkan secara drastis sewa tanah terutama bagi hasil feodal yang timpang dan tidak adil bagi kaum tani.
“Reforma agraria sejati juga menurunkan peribaan secara drastis atau mengusahakan penghapusan peribaan sama sekali, memperbaiki upah buruh tani yang ekstrem rendahnya, menentang monopoli input pertanian yang diimpor dengan harga sangat mahal serta merusak, dan menentang ekspor hasil keringat kaum tani oleh kekuatan monopoli asing dengan harga sangat murah,” kata Rahmat.
Menurut Rahmat, reforma agraria sejati tidak dapat berjalan berdampingan dengan monopoli tanah dan pemberian HGU tanpa batas oleh pemerintah. Reforma agraria tidak akan tercipta dengan perampasan dan penggusuran tanah rakyat oleh pemerintah dengan kekerasan aparat bersenjata. Reforma Agraria sejati tidak akan ada selama suku bangsa minoritas tidak diakui dan tanahnya terus diambil oleh perusahaan besar monopoli.
Karena itu, reforma agraria sejati, kata Rahmat, syarat mutlak dan jalan bagi pembangunan industrialisasi nasional yang tidak saja menjamin kesejahteraan bagi kaum tani, melainkan seluruh rakyat Indonesia. Berkaitan dengan aksi peringatan HTN KNPA yang juga mengusung program reforma agraria, AGRA menghormati sikap tersebut sebagai kebebasan dan kemandirian. Sebagaimana AGRA yang secara independen telah menentukan sikap. [KRG]