Hilirisasi Digital di Indonesia, Serius atau Sekedar Wacana?

(foto: istimewa)

HILIRISASI DIGITAL belakangan jadi topik perbincangan yang mengemuka setelah salah satu Cawapres, Gibran Rakabuming Raka mengungkapkannya dalam acara debat Calon Wakil Presiden.

Ada yang coba menerjemahkan maknanya, banyak pula menyatakan bingung arti ungkapan ‘hilirisasi digital’ yang dimaksud Gibran.

Salah satu anggota TKN Prabowo-Gibran yaitu Budiman Sudjatmiko coba memaparkan maksud hilirisasi digital dan maknanya.

Menurut Budiman meski istilah ini terdengar baru bagi sebagian kalangan, tetapi merupakan hal yang penting. Budiman mengatakan, narasi hilirisasi digital yang disampaikan oleh Gibran, memberi makna tekad untuk membangun ekonomi digital dari hulu ke hilir.

Ia mengaku hilirisasi digital memiliki dua makna. Pertama adalah mempersiapkan infrastruktur jaringan atau konektivitas internet serta membangun industri perangkat digital.

Maka dari pada itu, di dalam visi misi dan program tercepat, mereka sudah memastikan untuk memberikan akses internet dan literasi digital untuk masyarakat Indonesia terutama untuk daerah yang sebelumnya tidak terjangkau.

Hal ini diharap akan membuat ombak digitalisasi usaha dan penambahan sumber daya manusia di sektor digital yang dapat diarahkan ke pengembangan blockchain, AI, machine learning, big data analytics.

Kemudian, Budiman menjelaskan hilirisasi digital juga bermaksud untuk melakukan digitalisasi di rantai pasok industri strategis di Indonesia.

“Digitalisasi akan meningkatkan produktivitas dan efisiensi dalam proses industri di semua lini. Contoh di pertanian bisa menggunakan teknologi untuk pengembangan pupuk dan bibit unggul, IOT Smartfarming, atau e-commerce khusus pangan,” kata Budiman.

“Karena data diolah secara digital dengan AI, machine learning, big data, blockchain sehingga cyber security dan cyber defense yang diungkapkan Gibran menjadi sangat penting untuk melindungi komoditas ekonomi kita,” tambah Budiman.

Tidak ada dalam literatur

Sementara itu beberapa tokoh lain menyebut istilah hilirisasi digital tidak atau belum dikenal dalam literatur manapun.

Pengamat ekonomi digital, Nailul Huda mengaku heran dengan istilah hilirisasi digital ala Gibran tersebut. Ia juga secara jujur mengaku tidak mengerti maksud hilirisasi digital yang dikatakan Gibran.

Nailul menjelaskan hilirisasi biasanya proses pengolahan bahan baku atau raw material menjadi barang yang memiliki nilai tambah tinggi. Nah kalau hilirisasi digital katanya, tidak diketahui apa yang mau disasar.

“Apa yang mau dihilirisasi dari digital? Teknologinya, manusianya, atau apa? Ini dari digital apa yang raw material? Nilai tambahnya di mana?,” kata Nailul.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira juga mengatakan hilirisasi yang disampaikan Gibran rancu karena digital merupakan jasa, bukan barang industri atau komoditas.

Menurut Bhima, terminologi hilirisasi biasanya melekat pada penciptaan nilai tambah pada sektor berbasis komoditas atau industri.

“Kalau yang dimaksud Gibran seperti AI kemudian blockchain dan web3 itu lebih tepatnya inovasi digital. Maksudnya mungkin pengembangan digitalisasi karena saat ini sudah sampai pada tahap web4 dimana teknologi internet tidak hanya terdesentralisasi tapi juga tersebar luas,” jelas Bhima.

Industri digital mana hulu dan hilir?

Digitalisasi sangat erat hubungannya dengan kemajuan teknologi komputer yang menggunakan angka atau ‘digits’ untuk memproses serangkaian instruksi dan berkomunikasi dengan perangkat lainnya.

Teknologi digital berbasis komputer telah mulai digunakan pada tahun 1940an ketika perang dunia kedua pihak Jerman mengembangkan komputer Z3 untuk merancang peluru kendali dan pesawat terbang.

Kemudian di tahun 1960an teknologi digital dikembangkan untuk kepentingan bisnis dengan IBM sebagai pionirnya.

Digitalisasi semakin berkembang dengan penciptaan prosesor sebagai otak komputer dan serangkaian chip pendukung berbahan dasar silikon. Kemudian dikenal teknologi prosesor komputer seperti Intel Pentium, Amd Athlon dan Ivy Bridge di tahun 2000an.

Kini teknologi digital mengalami lompatan dengan diciptakannya teknologi chip mikro, mulai berukuran mikron hingga nano yang sangat kecil hingga dapat memuat jutaan prosesor dalam satu chip untuk ditanamkan dalam sebuah perangkat digital.

Teknologi digital canggih kini sudah jadi konsumsi umum termasuk di Indonesia seperti penggunaannya dalam smartphone, jam digital, laptop ataupun smart tv.

Industri digital di sektor hulu mencakup produksi berbagai komponen inti mulai prosesor, mikro chip, periferal, layar atau screen maupun baterai.

Sektor hulu industri digital ini kita kenal sejak dahulu dengan istilah hardware atau perangkat keras.

Selain perangkat keras, dikenal pula yang namanya perangkat lunak atau software. Perangkat lunak paling dasar disebut dengan operating system/ sistem operasi seperti Linux, Windows, Android, iOS, Symbian, yang berfungsi mengontrol hardware agar dapat beroperasi.

Ada pula software yang disebut aplikasi atau program, seperti word untuk mengetik, photoshop untuk desain, aplikasi video editing, chat, email, game dan lain sebagainya.

Bagaimana dengan sektor hilirnya? Sudah tentu sektor hilir industri digital adalah produk berupa barang (nyata dan virtual) ataupun jasa dengan basis teknologi digital. Saat ini kita mudah menjumpai produk digital siap pakai seperti smartphone, smart tv, jam digital, microwave, komputer, laptop dan sebagainya. Produk digital semacam aplikasi komputer atau aplikasi smart phone juga sudah umum digunakan.

Selain sektor hulu dan hilirnya, industri digital juga didukung dengan industri infrastruktur digital seperti satelit, jaringan internet dan sarana komunikasi digital lainnya sehingga perangkat digital dapat saling berkomunikasi atau terhubung secara simultan.

Prospek hilirisasi digital di Indonesia.

Memang benar seperti yang sering disampaikan para politisi ataupun pengamat ekonomi bahwa industri digital punya nilai ribuan triliun rupiah, industri yang sangat besar secara ekonomi.

Namun bicara hilirisasi digital tidak bisa sekedarnya saja. Butuh rencana serius dan kesungguhan mau merevolusi diri. Karena hingga kini sesungguhnya di sektor hulunya saja Indonesia masih sangat lemah.

Perangkat keras komputer, smartphone dan lainnya masih belum buatan dalam negeri alias masih impor. Begitu pula infrastrukturnya mulai dari jaringan satelit hingga menara BTS saja masih bergantung teknologi luar negeri.

Pengguna teknologi digital di Indonesia memang salah satu yang terbesar di dunia, namun teknologi dan produk digital masih didatangkan dari impor.

Jika yang dimaksud dengan hilirisasi digital adalah menguasai penggunaan Artificial Intelligence, teknologi kripto ataupun big data, sebenarnya bisa dimaklumi, karena hal itu terdengar keren ataupun bombastis untuk materi kampanye.

Namun sekali lagi membangun industri digital di Indonesia itu adalah pemikiran yang revolusioner, lompatan jauh kedepan. Dari bangsa pengguna teknologi digital menjadi penguasa industri digital. Pertanyaannya, apakah ada kesungguhan untuk melakukannya, atau sekedar wacana saja? [DES]