Hikayat Siti Aisyah, dari Serang ke Sepang (2)

Ilustrasi: Siti Aisyah 2019/AP

Koran Sulindo – Anak perempuannya itu tidak berpendidikan tinggi, tetapi rajin bekerja dan bertekad keluar dari belenggu kemiskinan sejak ia masih kecil.

“Siang malam kami menangis mengenang nasib anak bungsu kami dan saya sangat-sangat ingin bertemu dengan dia,” kata Asria Nur Hasan (56), ayah Siti Aisyah, di rumahnya di Kampung Rancasumur, Sindangsari Pabuaran, Serang, Provinsi Banten, Februari 2017 lalu.

Senin (11/3/2019) kemarin, Siti Aisyah resmi dicabut sebagai terdakwa salah satu pembunuh Kim Jong-nam. Kejaksaan Agung Malaysia menyatakan pembebasan itu atas permohonan pemerintah Republik Indonesia.

Jaksa penuntut di persidangan, Muhammad Iskandar Ahmad, seperti dikutip Reuters, mengatakan keputusan tersebut berdasar “beberapa hal”, tapi enggan menjelaskan lebih lanjut.

Sebelumnya, Siti dikenai Pasal 302 hukum pidana setempat dan bisa mendapat hukuman mati.

Siti Aisyah adalah salah seorang yang ditangkap polis diraja Malaysia karena pembunuhan Kim Jong Nam, saudara tiri penguasa Korea Utara, Kim Jong-un. Jong-nam dibunuh pada 13 Februari 2017 di Bandara Internasional Kuala Lumpur di Sepang. Pada pukul 9 malam itu, Jong-nam seharusnya terbang ke Makau, ketika mendadak seorang wanita mengelap wajahnya dengan kain, diikuti seorang wanita lain melakukan hal yang sama dari sebelah kanannya. Jong-nam meninggal 20 menit kemudian ketika sedang dibawa menuju RS Putrajaya.

Saat itu polisi menangkap Siti, Doan Thi Huong, seorang Malaysia yang disebut pacar Siti, Muhammad Farid Jalaluddin, dan seorang warga Korut, Ri Jong Chol.

Baca juga: Hikayat Siti Aisyah, dari Serang ke Sepang

Sebelumnya, siang harinya, dalam peradilan tinggi Shah Alam, jaksa penuntut menarik dakwaannya pada Siti. Siti langsung memeluk Doan Thi Huong, perempuan Vietnam yang duduk di kursi pesakitan yang sama dengan dia, dengan tuduhan sama.

Doan Thi Huong tak mendapat keistimewaan seperti itu.

Si Bungsu

Siti Aisyah adalah bungsu dari 3 beradik. Dua kakak laki-lakinya hanya bekerja sebagai buruh; kedua orangtuanya hanya bergantung pada jualan ubi dan kunyit dari kebun yang hanya sedepa.

Sepengetahuan Asria, Siti bekerja sebagai pramuniaga di sebuah toko di Batam sejak 2012 setelah bercerai dari suaminya Gunawan Hasyim dan meninggalkan anak semata wayangnya, Rio, yang saat itu masih 7 tahun.

“Sejak dia ke Batam, kami jarang bertemu, dan kali terakhir dia pulang pada Tahun Baru Cina bulan lalu,” kata Asria, 2 tahun  lalu.

Asria membantah pemberitaan lokal bahwa anaknya itu fasih berbahasa Inggris dan Korea, karena Siti hanya jebolan sekolah agama setingkat SD.

Sejak usia belasan Siti sudah bekerja sebagai pelayan toko di Jakarta. “Ia mandiri dan tak pernah mengeluh,” kata Asria.

Ilustrasi: Foto diri Siti Aisyah di Facebook, dengan nama Ar Shanty Febrinna. Foto terakhir yang diunggah di akunnya pada 18 Desember 2016 lalu ·

Ibunda Siti Aisyah, Benah (50), masih mencoba berharap apa yang dikatakan media itu tidak benar. Benah berkata anaknya tak bersalah dan Pemerintah RI akan membantu anak ragilnya yang berusia 25 tahun itu.

“Ia bukan tipe orang yang seperti yang dituduhkan padanya itu?” kata Benah dengan suara bergetar, 2 tahun lalu.

Benah tak kenal 3 orang lain yang ditangkap bersama-sama anaknya. Yang ia tahu, Siti di Batam, bekerja sebagai pelayan toko.

Beda dengan suaminya, menurut Benah anaknya memang lumayan bisa berbahasa Inggris dan Korea. Namun ia menolak berkomentar soal profesi anaknya sekarang, seperti disebut-sebut koran, sebagai pemijat di spa.

Siti sering mengiriminya uang, biasanya Rp 500 ribu.

Sebelum ke Batam, Siti sempat bekerja pabrik pakaian di Tambora, Jakarta Barat, milik orang tua Gunawan Hasyim, yang kelak dinikahinya dan cerai pada 2012. Anak mereka, Rio, sejak itu tinggal bersama mertuanya.

Lian Kiong, ibu Gunawan, mengatakan Siti menengok  Rio setahun sekali. “Terakhir pada 28 Januari lalu. Ia menginap semalam, lalu pergi keesokan harinya,” kata Kiong.

Kali terakhir Benah bertemu anaknya juga sekitar hari-hari itu.

Sebelum pergi lagi ke rantau, Siti sempat meminta doa restu ibunya.

“Ia bilang diajak main film televisi untuk menjaili orang di Malaysia,” kata Benah. “Perasaan saya tak enak, tapi ia ngotot meminta restu saya.”

Cerita Benah ini dikuatkan Kapolri Tito Karnavian, yang mengatakan Siti dimanfaatkan seolah-olah sedang bermain mengusili orang (Prank) seperti misal dalam acara TV Just for Laugh.

“Pernah melihat Just For Laughs? Ada orang yang dijahili, dan biasanya itu bermaksud lucu-lucuan,” kata Tito, 2 tahun lalu.

Mala, saudara Benah, juga  mengatakan Siti akan ikut acara itu, hanya menurutnya acara itu diproduksi orang Jepang. Namun seorang teman yang bertemu Siti waktu itu mengatakan Siti akan main film yang akan shooting di Korea Utara. “Saya tak tau banyak. Tapi itu yang dia bilang,” katanya.

Benah tak bisa menerima anaknya adalah pembunuh. “Saya yakin anakku segera pulang ke rumah, Insya Allah.”

Jaksa Agung Malaysia

Sebelumnya, Polis Diraja Malaysia menolak dugaan Siti hanya melakukan ‘prank’ dalam peristiwa itu. Ketua Polis Negara, Tan Sri Khalid Abu Bakar, mengatakan hasil penyidikan menemui Siti dan Doan pernah menjalani latihan di Pavilion dan KLCC sebelum kejadian sebenarnya.

“Kita percaya bahan cecair yang digunakan adalah toksik beracun dan sudah tentu mereka tahu bahan tersebut berbahaya. Kita juga percaya kedua-dua suspek wanita itu telah bersedia dengan cecair di tangan mereka sebelum menyapu bahan toksik itu ke muka mangsa,” kata Khalid, 2 tahun lalu.

Siti Aisyah/Straitstimes

Memang informasi yang beredar, Siti Aisyah dan Doan Thi Huong direkrut sejak 3 bulan lalu untuk sebuah acara reality show semacam Just for Laugh. Mereka mungkin tak pernah berpikir bahwa apa yang dilakukan merupakan skenario pembunuhan.

Siti ditangkap polisi Malaysia pada 16 Februari 2017 dini hari  di Hotel Flamingo by The Lake, Selangor, Malaysia.

Informasinya memang masih sumir. Apakah Siti Aisyah bener-benar merupakan agen intelijen Korut? Atau hanya korban sampingan yang dilepas sebagai umpan untuk polisi?

Belum jelas. Yang sudah jelas, Siti Aisyah adalah orang biasa yang terpaksa harus mencari nafkah di negeri orang, seperti ratusan ribu saudaranya sesama warga negara Indonesia.

Siti, yang lahir di Serang pada 11 Februari 1992 itu, sempat merayakan ulang tahunnya pada malam sebelum pembunuhan. Maret 2019 ini ia sudah pulang, ke Jakarta, dan pasti segera ke Serang.

“Kami ingin dia bekerja di kampung saja,” kata Asria dan Benah. [DAS]