Koran Sulindo – Sri Mulyani Indrawati terlihat cerah ceria ketika memberikan sambutan dalam acara Perayaan “10 Tahun Melantai di Bursa dan satu Dekade transformasi PT Adaro” di Hotel Ritz Carlton, Pacific Place, Jakarta akhir pekan lalu.
“Siang ini BPS mengeluarkan statistik mengenai kemiskinan. Dan saya termasuk yang cukup menyambutnya dengan perasaan yang sangat istimewa. And this is the first time in a history of Indonesia, hari ini BPS mengumumkan tingkat kemiskinan kita di 9,82%. First time in the history of Indonesia kemiskinan itu di bawah 10%,” kata menteri keuangan yang diangkat di tengah jalan dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo tersebut.
Capaian tersebut merupakan angka kemiskinan terendah dalam sejarah Indonesia. Ditambah angka koefisien gini yang juga mengalami penurunan menunjukkan berkurangnya ketimpangan antara yang kaya dengan yang miskin. Kebijakan ekonomi Pemerintah berada di jalan yang benar.
Selama ini capaian terbaik dalam penurunan angka kemiskinan di Indonesia di sekitar angka 10%, dan selalu mentok tak sampai ke bawah satu digit.
Di bawah pemerintahan orde Soeharto, Indonesia memang pernah mendekati di titik 11% mendekati 10 % dan itu dicapai setelah berkuasa selama 25 tahun. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono level hampir mendekati 11% juga tapi secara ajaib berhenti di titik itu padahal harga komoditas Indonesia sedang melonjak tinggi.
“Menurunkan di bawah 10% itu is a quite remarkable achievement. Dan kita masih tidak berhenti disitu. Kita ingin turunkan lebih lanjut,” kata Sri.
Di tengah bahasa inglish (Indonesia Inggris) Ibu Sri itu, perlu dicatat tingkat kemiskinan 9,82% itu jika diterjemahkan ke dalam jumlah penduduk Indonesia berarti ada sekitar 26 juta kepala rakyat Indonesia masih miskin. Jumlah sebesar itu setara dengan 5 kali lipat penduduk Kroasia yang baru saja dikalahkan Prancis dalam final piala dunia sepak bola di Rusia pekan lalu.
Jumlah itu juga lebih besar dari penduduk Belanda yang terakhir tercatat 17 juta orang; atau benua Australia yang hampir 25 juta, atau seluruh rakyat Korea Utara.
Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan garis kemiskinan naik 3,63%, dari Rp 387.160 per kapita pada September 2017 menjadi Rp 401.220 per kapita per Maret 2018. Sekadar perbandingan, garis kemiskinan pada pada pemerintahan SBY pada 2010 sekitar Rp 200 ribu per orang per hari.
Garis kemiskinan dipergunakan sebagai suatu batas untuk mengelompokkan penduduk menjadi miskin atau tidak miskin. Jika masyarakat di Indonesia memiliki pendapatan di atas dari batas yang ada per Maret 2018, maka tidak tergolong sebagai orang miskin. Sebaliknya, jika pendapatannya di bawah batas maka masuk ke dalam golongan orang miskin.
Jadi miskin di sini ukurannya adalah uang yang dibelanjakan setiap bulan. Anda tidak miskin jika sebulan mampu hidup dengan Rp400 ribu.
Standar Hidup Rendah
Pemerintah, siapapun presidennya, sejak dulu kala menggunakan persyaratan yang tidak ketat mengenai definisi garis kemiskinan. Yang tampak kemudian adalah gambaran yang lebih positif dari kenyataannya.
“Standar hidup yang sangat rendah, juga buat pengertian orang Indonesia sendiri,” tulis analisis di indonesia-investments.com (Kemiskinan & Kesenjangan di Indonesia & Rasio Gini).
Jika menggunakan garis kemiskinan yang digunakan Bank Dunia, yang mengklasifikasikan persentase penduduk Indonesia yang hidup dengan penghasilan kurang dari 1,25 dolar AS per hari sebagai miskin, angka dari BPS tadi langsung terlihat tidak akurat. Dengan nilai tukar rupiah saat ini yang sekitar Rp 14.400 per dolar AS, maka orang dianggap miskin jika uangnya di bawah sekitar Rp 18 ribu per hari (atau hampir Rp600 ribu per bulan).
Menurut Bank Dunia, kalau jumlah penduduk Indonesia yang hidup dengan penghasilan kurang dari 2 dolar AS per hari dihitung (sekitar Rp900 ribu per bulan), angka kemiskinan meningkat lebih tajam lagi.
Laporan lebih anyar lagi di media di Indonesia menginformasikan bahwa sekitar seperempat jumlah penduduk Indonesia, sekitar 65 juta jiwa, hidup hanya sedikit saja di atas garis kemiskinan nasional. Laporan Bank Dunia pada Desember 2015 menyatakan hanya 20 persen pendudk Indonesia sejahtera dan sisa terbesarnya tertinggal jauh di belakang.
Ketimpangan di Indonesia pada 1990-1n dan 2000-an ini di dunia hanya punya saingan China.
Belajar dari Ahok
Pemerintah tampaknya perlu belajar dari Basuki Tjahaja Purnama dalam memandang kemiskinan. Mantan Gubernur DKI Jakarta yang kini meringkuk di Mako Brimob Depk Jawa Barat tersebut berani mengatakan tingkat kemiskinan di Ibukota mencapai 17 persen. Angka ini didapat dari hasil pengukuran kebutuhan hidup layak (KHL) yang sebesar Rp 2,4 juta per bulan.
Padahal BPS saat itu menyatakan angka kemiskinan Jakarta hanya sekitar 4 persen. BPS menggunakan ukuran penghasilan Rp510.359 per bulan.
“Kami hitung, penduduk Jakarta ada sekitar 10 juta jiwa. Jadi, ada 1,7 juta penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan,” kata Ahok, di Jakarta, September 2015, seperti dikutip tempo.co.
Menurut Ahok, BPS menggunakan standar garis kemiskinan 2.100 kalori per hari. “Jadi, jika bisa membeli makanan 2.100 kalori per hari sudah di atas garis kemiskinan,” katanya.
Penyebab angka kemiskinan Jakarta membengkak hingga hampir 20 persen itu karena faktor biaya hidup yang mahal, seperti biaya transportasi, perumahan, dan makanan.
“Kalau dengan kalori, standar kemiskinan adalah 2.500 kalori, kalau dihitung itu hanya Rp 400 ribu. Sementara itu kalau pakai komponen hidup layak itu, standarnya naik jadi Rp 2,4 juta. Jadi akan beda,” kata Ahok.
Garis bawah: angka kemiskinan yang digunakan BPS memang masih terlalu rendah.
“Perlu dievaluasi lagi,” kata peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira, pekan lalu, seperti dikutip bbc.com.
Bhima juga menyangsikan semangat Menkeu mampu menekan lagi angka kemiskinan dari titik yang dicapai sekarang. Menurutnya, angka kemiskinan justru bisa naik jika harga energi seperti bahan bakar minyak dan listrik serta harga pangan naik. Orang miskin terutama sensitif terhadap kenaikan yang belakang.
Menurut BPS, makanan yang berpengaruh besar terhadap garis kemiskinan di kota dan desa adalah beras, rokok kretek filter, daging sapi, telur ayam ras, mi instan, dan gula pasir. Selain makanan, kebutuhan yang pengaruhnya besar adalah perumahan, bensin, listrik, pendidikan dan perlengkapan mandi.
“Tantangan kemiskinan paling berat adalah soal stabilitas harga pangan dan energi,” kata Bhima.
Dan dalam dua soal itu, hampir semuanya tak mampu diproduksi di dalam negeri sehingga terpaksa mengimpor. Goncangan sedikit saja membuat harga pangan dan energi naik, dan jumlah si miskin akan bertambah lagi. Hikayat si miskin takkan pernah mati di negeri ini. [Didit Sidarta]