Koran Sulindo – Pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghibahkan barang rampasan dari kasus mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Nazaruddin dan mantan Bupati Bangkala Fuad Amin untuk operasional Kepolisian Republik Indonesia. Pada Kamis pagi ini (8/3) di sebuah hotel di Ancol, Jakarta, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif secara resmi menyerahkan hibah aset barang rampasan KPK kepada Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Ari Dono Sukmanto.
Menurut Kepala Biro Hubungan Masyarakat KPK Febri Diansyah pada Rabu kemarin (7/3), prinsip dasarnya adalah uang atau barang yang diambil oleh pelaku korupsi akan dikembalikan ke negara. “Barang tersebut akan diserahkan dan akan digunakan oleh Bareskrim Polri untuk mendukung pelaksanaan tugas penegakan hukum,” tuturnya.
Barang yang diserahkan tersebut adalah dua bidang tanah dan bangunan seharga Rp 12,4 miliar, yang bertempat di Jalan Wijaya Graha Puri Blok C Nomor 15, Pulo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, yang ditaksir seharga Rp 12,4 miliar, yang merupakan rampasan dari Muhammad Nazaruddin. Akan halnya rampasan dari Fuad Amin yang diserahkan ke polisi adalah satu unit mobil Toyota Kijang Innova XW 43 tahun 2010, yang akan diberikan kepada Polres Tanah Toraja.
Menurut Febri, dasar hukum hibah itu adalah Peraturan Menteri Keuangan. Namun, ia juga mengatakan, kewenangan ini bukan kekhususan bagi pihak KPK. “Tujuan yang paling penting adalah barang rampasan dari koruptor bisa digunakan untuk publik,” katanya.Hibah itu, lanjutnya, merupakan salah satu cara dalam tahap pemulihan atas dana-dana yang telah dirampas.
KPK sebelumnya juga pernah menghibahkan barang rampasan hasil tindak pidana korupsi kepada Kepala Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) Jakarta Utara, Erwan Prasetyo. Barang rampasan yang dihibahkan itu berupa dua buah mobil yang disita KPK dari perkara Tindak Pidana Pencucian Uang Djoko Susilo dan Syahrul Raja Sempurnajaya.
Terkait hibah ke polisi itu, praktisi hukum yang mantan Koordinator Tim Ahli Bidang Reformasi Birokrasi Menteri PANRB 2014-2016 Arman Garuda Nusantara lewat akun Twitter-nya pada Kamis pagi juga mempertanyakannya. Menurut Arman, maksud dan tujuan hibah barang rampasan itu harus transparan dan akuntabel, tidak bisa asal-asalan. Kalau hibah barang rampasan itu dimaksudkan untuk kepentingan negara, kepentingan negara itu harus dijelaskan dalam rangka apa dan apa manfaat yang diperoleh negara.
“Kebijakan itu harus jelas latar belakang dan tujuannya serta harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak boleh asal-asalan. Kemudian harus transparan dan akuntabel,” tulis Arman. Kalau KPK ingin transparan dan akuntabel, lanjutnya, sebaiknya Surat Permohonan Usulan Status Penggunaan Barang Rampasan Negara yang akan dihibahkan ke Polri itu di-upload di website resmi KPK, agar semua masyarakat dapat melihat.
“Ranah kebijakan itu juga harus jelas. Kan selama ini @KPK_RI yg selalu mengajarkan untuk menjunjung tinggi tingkat transparansi dan akuntabilitas dalam setiap kebijakan yg akan diambil,” tulisnya. Kalau KPK mengacu pada Juknis Pasal 15 Ayat (4) huruf a Peraturan Menteri Keuangan No.03/PMK.06/2011, Arman menyarankan KPK membaca pasal 2 ayat (2) peraturan Menteri Keuangan tersebut.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sendiri pada 21 November 2016 lampau pernah mengungkapkan, banyak kalangan selama ini masih berpikir bahwa barang atau uang yang dihasilkan dari tindak pidana korupsi akan dikembalikan dan dapat dinikmati oleh pelaku korupsi. Menurut Sri, anggapan tersebut salah karena seluruh barang dan aset hasil korupsi akan diambil alih oleh negara.
Barang dari hasil tindak kriminal tersebut nantinya akan digunakan untuk kepentingan negara, baik untuk membiayai pembangunan di Tanah Air atau menambah Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). “Ada orang yang mengatakan enakan korupsi yang sebesar-besarnya, nanti dipenjara cuma lima tahun dan hasilnya bisa dinikmati anak-cucunya. Kami katakan, kerugian negara harus diambil alih lagi untuk kepentingan negara sehingga koruptor tidak bisa menikmati hasil korupsinya, plus mereka harus menanggung penjara dan kalau perlu rasa malu atau dignity,” ujar Sri.
Akan halnya Arman berpandangan, “Ini memang lahan subur korupsi dan yang lebih subur lagi aset sitaan dari para terpidana kasus korupsi ini dikelola secara tidak jelas juntrungannya oleh @KPK_RI . Tahu-tahunya nanti kita dengar aset itu sudah main dihibahkan saja oleh KPK.”
Barang-barang pemberian tamu negara atau dari pihak negara sahabat ke pejabat negara ada juga yang diserahkan ke KPK. Misalnya gitar bas yang diberikan pemain bas kelompok musik cadas Metallica ke Jokowi sewaktu menjadi Gubernur DKI Jakarta. Juga kacamata dari pebalap Motor GP asal Spanyol, Jorges Lorenzo. Jokowi juga pernah menerima piringan hitam kelompok musik Metallica yang diberikan oleh Perdana Menteri Denmark, Lars Lokke Rasmussen, pada November 2017 lalu. Namun, yang belakangan ini kemudian pada Februari 2018 lalu “ditebus” oleh Jokowi dengan uang. “Uang pengganti barang berupa Deluxe Box Set Metallica berjudul Master of Puppets senilai Rp 11.079.019 telah diterima KPK,” kata Febri, 20 Februari 2018.
Pada Maret 2017 lampau, Polri yang diwakili Kepala Polri Jenderal Polisi Tito Karnavian menerima cenderamata berupa pedang dari Kerajaan Arab Saudi, yang diserahkan Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia, Osama bin Mohammed Abdullah Al Shuaibi. Tito kemudian melaporkan pemberian tersebut ke KPK. Menurut Tito, dalam prosedur tetap Polri, jika Polri menerima plakat, trofi, atau cenderamata, barang tersebut akan dipajang di Museum Polri ataupun di ruang tamu di Mabes Polri.
Tampaknya, KPK harus meniru Polri dalam hal ini. Barang-barang berupa cenderamata atau hadiah dari tamu negara atau pihak negara sehabat sebaiknya memang jangan pernah dilelang. Selain tak etis, barang-barang itu bisa bermanfaat untuk pembelajaran sejarah bagi generasi mendatang. Karena itu, sudah saatnya Indonesia punya museum khusus untuk menyimpan dan memamerkan koleksi pemberian tersebut. [PUR]