Koran Sulindo – Nilai tukar rupiah kembali melemah dan nyaris menembus Rp 14.900 per dolar. Tidak hanya rupiah, beberapa kurs mata uang di kawasan Asia melemah ketika berhadapan dengan dolar Amerika Serikat (AS) pada Selasa (18/9).
Renminbi Tiongkok, misalnya, melemah hingga 0,31 persen. Demikian pula dengan ringgit Malaysia minus 0,17 persen; dolar Singapura minus 0,13 persen; baht Thailand minus 0,13 persen; won Korea Selatan minus 0,11 persen.
Berbeda dengan peso Filipina yang berada di posisi stagnan. Sedangkan dolar Hong Kong menguat 0,13 persen dan yen Jepang menguat 0,03 persen. Sementara kurs mata uang negara maju seperti rubel Rusia melemah 0,18 persen; dolar Australia minus 0,15 persen; poundsterling Inggris minus 0,11 persen; dolar Kanada minus 0,08 persen; euro Eropa minus 0,05 persen; dan franc Swiss minus 0,01 persen.
Lantas mengapa fenomena fluktuasi nilai tukar mata uang terjadi? Sebuah tulisan Washington’s Silent Weapon for Not-so-quiet Wars. “A World Full of Dollars”, A 2019 Global Economic Crisis yang dimuat Global Research menjelaskan, “senjata” utama Washington ketika ingin memulai “peperangan” tak lagi bergantung kepada Pentagon atau senjata konvensional. “Senjata” pemusnah massal yang mematikan itu benar-benar tak bersuara yaitu kemampuan AS untuk mengendalikan pasokan uang global dalam bentuk dolar.
Konsep ini dirancang Federal Reserve (swasta) bersama kelompok keuangan Wall Street yang berkoordinasi dengan Departemen Keuangan AS. Konsep ini dikembangkan selama beberapa dekade terakhir terutama sejak Nixon melepaskan dolar dari emas pada Agustus 1971. Dolar hari ini menjadi senjata keuangan yang efektif untuk menekan musuh AS.
Sekitar satu dekade yang lalu atau sekitar 2008, Menteri Keuangan AS Henry Paulson yang merupakan mantan bankir Wall Street dengan sengaja menetapkan kebijakan mengizinkan kemudahan pasokan dolar ke pasar global. Bahkan pada waktu itu The Fed menggelontorkan dana talangan ratusan miliar dolar kepada bank-bank sentral Eropa – sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Tujuannya agar bank-bank sentral Uni Eropa itu tidak kekurangan dolar.
Hegemoni Dolar
Sejak itu, dolar menghegemoni dunia. Pasokan dolar dengan mudah masuk ke sistem keuangan global dan telah meningkat ke level yang belum pernah terjadi sebelumnya. Merujuk kepaada data The Institute for International Finance (IIF) berbasis di Washington memperkirakan utang pemerintah, rumah tangga, perusahaan dan sektor keuangan di 30 negara berkembang terbesar naik menjadi 211 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada awal 2018. Sebelumnya hanya 143 persen pada akhir 2008.
Data IIF itu menunjukkan bagaimana mata uang Argentina, Turki hingga di Asia merosot disebabkan jebakan utang. Total utang negara-negara yang disebut sebagai emerging market dalam berbagai bentuk mata uang – tidak termasuk Tiongkok – naik dua kali lipat dari US$ 15 triliun pada 2007 menjadi US$ 27 triliun pada akhir 2017. Sementara utang Tiongkok pada periode yang sama menurut IIF meningkat dari US$ 6 triliun menjadi US$ 36 triliun.
Kemudian, utang kelompok negara-negara emerging market dalam bentuk dolar meningkat menjadi US$ 6,4 triliun dari US$ 2,8 triliun pada 2007. Utang swasta Turki hampir mencapai US$ 300 miliar pada saat ini. Sebagian besar utang itu dalam bentuk dolar. Pasar negara berkembang lebih menyukai dolar karena beberapa alasan. Selama ekonomi negara-negara berkembang itu tumbuh dan menghasilkan dolar dari ekspor, maka utang dapat dikelola. Namun, semuanya itu mulai berubah.
Sejak krisis keuangan 2008, pengaruh dolar dan The Fed semakin meluas ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dan baru kali ini (2018) dunia internasional merasakan untuk pertama kalinya sejak 2008 kekurangan dolar. Dengan kata lain, biaya untuk meminjam dolar hari ini jauh lebih tinggi hanya untuk membayar utang lama yang juga dalam bentuk dolar. Puncak jatuh tempo utang negara-negara dengan pasar yang sedang berkembang terjadi pada 2019 yang nilainya diperkirakan mencapai US$ 1,3 triliun.
Di sinilah jebakan akan hegemoni dolar yang dirancang The Fed bersama kelompok keuangan Wall Street yang berkoordinasi dengan Departemen Keuangn AS itu. Tidak hanya dengan mengendalikan dolar, AS juga memberi tanda melalui The Fed akan menaikkan suku bunga yang lebih agresif pada akhir 2018. Lewat cara ini, fluktuasi atau krisis nilai mata uang global akan terus berlanjut pada 2019. [KRG]